The Pharmacist Room: 2011

PATOGENESIS DEMAM BERDARAH


Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.  Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel  manusia  sebagai pejamu  (host)  terutama dalam mencukupi kebutuhan akan  protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan  masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder  (teori secondary heterologous infection)  atau hipotesis  immune enhancement.  Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita D BD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran  sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh  sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.  Dihipotesiskan juga mengenai  antibodi dependent enhancement  (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi  sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis  the secondary heterologous infection  dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex)  yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan  di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar.
Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat),  sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES  (reticulo endothelial system)  sehingga terjadi trombositopenia.  Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP  (fibrinogen degredation product)  sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.


Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit  masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.





PATOFISIOLOGIS
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2 -7 hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun  jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatumole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari d emam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable  sampai 2-4 cm di bawah  arcus costae  kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun pembesar hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok.
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan g angguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3 sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi < 20 mmHg dan hipotensi.
Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna, sehingga memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2 -3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan. Penyulit SSD : penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis, flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati.
Definisi kasus DD/DBD
A. Secara Laboratoris  
1.  Presumtif Positif (Kemungkinan  Demam Dengue)
Apabila ditemukan demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut; nyeri kepala, nyeri belakang mata, miagia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan, leukopenia, uji HI >_ 1.280 dan atau IgM anti dengue  positif, atau pasien berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed dengue infection.
2.  Corfirmed DBD (Pasti DBD)
Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai berikut deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi >  4 kali pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus.
B. Secara Minis

1.  Kasus DBD
1. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.
2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa
      •  uji tourniquet positif
•  petekia, ekimosis, atau purpura
•  Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas      suntikan
•  Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia < 100.00/pl
4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan
•  Peningkatan nilai hematrokrit >_ 20 % dari nilai baku sesuai umur dan jenis kelamin.
• Penurunan nilai hematokrit >_ 20 % setelah pemberian cairan yang adekuat Nilai Ht    normal diasumsikan  sesuai nilai setelah pemberian cairan.
•  Efusi pleura, asites, hipoproteinemi
2. SSD
 Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan :
• Nadi cepat, lemah, tekanan nadi < 20 mmHg, perfusi perifer     menurun
• Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
Derajat 1      : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2      :   Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.
Derajat 3      :  Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4        :  Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur. 
Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.





Assesment for Geriatri

Assesment
geriatri merupakan kegiatan pelayanan kesehatan yang  ditujukan bagi pasien lansia (Geriatri) yang berusia lebih dari 60 tahun. Kegiatan ini dilaksanakan oleh sebuah tim yang disebut dengan TIM Assesment Geriatri.

Tim Assesment geriatri
1)      Dokter spesialis penyakit dalam (Internist).
2)      Dokter spesialis syaraf (Neurologist).
3)      Dokter spesialis penyakit jiwa (Psychiatrist).
4)      Psikolog (Psycologist).
5)      Dokter gigi (Dentist).
6)      Apoteker (Pharmacist).
7)      Ahli Gizi (Dietician).
8)      Ahli fisioterapi (Physioterapist).
9)      Pekerja sosial (Social Worker).
Pelayanan kesehatan bagi pasien geriatri ini berupa pemeriksaan kesehatan general check up plus yang berarti selain pemeriksaan general check up, pasien juga mendapatkan assesment (pemeriksaan lain) yang meliputi penilaian aspek medik, psikososial, dan ekonomi yang terdiri dari riwayat medis, evalulasi fisik, neurologi, mulut/gigi, nutrisi, sosial, pemeriksaan mental ringkas, aktivitas sehari-hari, penggunaan/efek samping obat-obatan, pemeriksaan laboratorium, dan data penunjang lainnya.
 Pasien yang diberikan assesment dapat berasal dari :
1)      Dokter praktek swasta yang merekomendasikan kepada tim geriatri untuk dilaksanakan assesment.
2)      Pasien Poli Geriatri yang disarankan oleh dokter yang memeriksa untuk assesment.
3)      Pasien rawat inap yang menginginkan assesment.
4)       Kemauan pasien sendiri/keluarga pasien.

 Tujuan Assesment geriatri  adalah sebagai berikut :
1)      Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
2)      Menjamin kemanjuran, keamanan, dan efisiensi penggunaan obat.
3)      Meningkatkan kerjasama antar profesi kesehatan lain (dokter, apoteker, ahli gizi, dokter gigi, dll).
4)      Membantu kebijakan obat di rumah sakit dalam rangka meningkatkan penggunaan obat secara rasional.
Bagi pasien geriatri pemeriksaan ini bermanfaat untuk menyusun pengobatan dan pemeliharaan kesehatan yang rasional mengingat kompleksnya masalah kesehatan pada usia lanjut sehingga perlu proses terapi dan pengobatan yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus.
Tahapan pelaksanaan assessment geriatri :
1)      Pengambilan data
Data yang diperlukan oleh apoteker dalam tahap assesment (pemeriksaan) pasien adalah sebagai berikut :
a)      Identifikasi pasien antara lain nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, dan alamat.
b)      Obat yang dipakai saat ini, baik resep dari dokter, tanpa resep dokter, maupun obat tradisional; jenis obat; jumlah; dosis; manfaat; dll.
c)      Sejarah pemakaian obat; baik resep dari dokter, tanpa resep dokter, maupun obat tradisional; jenis; jumlah; dosis; manfaat; dll.
d)     Efek samping obat, alergi.
e)      Data penunjang, baik dari teori, hasil pemeriksaan fisik, laboratorium, dan radiologik.
2)      Penelusuran pustaka, meliputi patofisiologi, penatalaksanaan pengobatan, mekanisme kerja obat-obat yang dikonsumsi, farmakokinetika, ESO, interaksi. Penelusuran pustaka bertujuan untuk mengkaji dan mencari informasi selengkapnya dan menyiapkan usulan kepada tim geriatri antara lain, seperti penggantian obat, pengurangan dosis, atau penghentian obat.
3)      Konferensi/diskusi
Dihadiri oleh semua tim Assesment geriatri. Diskusi ini membahas tentang kasus pasien dari hasil pemeriksaan dan pustaka/informasi yang dikumpulkan. Dalam diskusi dibahas dan disimpulkan tentang penyakit, antara lain :
a)      Diagnosis penyakit yang diderita pasien.
b)      Impairment dan Handicaps, yaitu untuk menilai berbagai tingkat kemunduran, keterbatasan, dan kecacatan yang dialami oleh pasien.
c)      Rekomendasi untuk pelaksanaan terapi, baik terapi dengan obat, diit makanan, cara memelihara kesehatan baik fisik maupun mental serta rehabilitasi.
4)      Rekomendasi
Hasil/kesimpulan dari konferensi diinformasikan kepada pasien oleh masing-masing disiplin ilmu kesehatan yang terdapat dalam tim geriatri. Laporan pemeriksaan apoteker yang diberikan kepada penderita adalah tentang obat-obatan yang dipakai (saat ini dan yang lalu, ditambah atau dikurangi, diganti atau sama sekali tidak diberikan), cara dan lamanya pemakaian obat, dosis, manfaat, ESO, dan alergi.
5)      Monitoring/pemantauan
Monitoring bertujuan untuk mengetahui secara berkesinambungan kondisi pasien.

Peran apoteker pada kegiatan assessment geriatri antara lain:
a.       Mengidentifikasi masalah penting yang terkait dengan obat
b.      Melakukan penilaian efek samping obat yang pernah atau sedang dikonsumsi oleh pasien
c.       Memberikan usulan terapi  yang tepat pada dokter
d.      Memberikan informasi obat
e.       Memantau tanggapan pasien terhadap terapi obat
f.       Mengupayakan pendidikan dan meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Apoteker dituntut untuk memiliki kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan terapeutik, mengkorelasi antara kondisi pasien dengan pemilihan obat, menginterprestasikan data laboratorium, mengidentifikasi kontraindikasi obat, mengidentifikasi kemungkinan munculnya efek samping obat yang tidak dikehendaki, membuat keputusan yang terkait dengan formulasi dan stabilitas, merekomendasikan pengaturan dosis, dan berkomunikasi efektif secara verbal dengan pasien ataupun profesi kesehatan lainnya.
Dalam mengikuti kegiatan ini mahasiswa dapat mencermati peran seorang apoteker dalam pelaksanaan kegiatan assessment geriatri. Dalam suatu tim assessment geriatri, seorang apoteker dapat tampil secara profesional, menerapkan dan mengembangkan ilmu farmasi yang dimilikinya, melaksanakan kewajiban moralnya dan berkomunikasi dengan pasien serta membina hubungan profesional dengan tenaga kesehatan lain yang bekerja sama dalam satu tim.
Dalam menunjang pelayanan farmasi klinik yang berorientasi pada pasien terutama pasien geriatri  menyelenggarakan kegiatan assesment geriatri yang bertujuan untuk memberikan pelayanan informasi mengenai segala aspek yang berkaitan dengan tim geriatri yang tidak bias, obyektif, patient oriented, dan aktual kepada pasien. Assesment geriatri didukung oleh tim khusus yang dinamakan tim Assesment Geriatri yang masing-masing anggotanya mempunyai keahlian khusus (dari berbagai disiplin ilmu kesehatan).
Kegiatan Assesment geriatri yang dilakukan oleh apoteker dimulai dari wawancara dengan pasien untuk mengidentifikasi dan mengetahui riwayat penyakit serta riwayat pengobatan yang sudah atau sedang dilakukan oleh pasien, kemudian data yang diperoleh dikaji dengan penelusuran pustaka. Peran utama apoteker pada kegiatan assesment geriatri adalah melakukan penilaian penggunaan/efek samping obat yang pernah atau sedang digunakan oleh pasien dan juga dapat mengusulkan rekomendasi pengobatan yang akan dibahas pada saat konferensi dengan tim geriatri lainnya.
Hasil yang didapat pada tahap konferensi diinformasikan kepada pasien oleh ketua tim Assesment Geriatri. Pasien akan menerima penjelasan tentang penyakit yang diderita, obat yang digunakan, cara pakai, kemungkinan diet yang harus pasien lakukan.
Salah satu cara untuk memastikan bahwa terapi yang diberikan oleh tim geriatri berhasil atau tidak adalah dengan melihat perkembangan pasien. Atas pertimbangan itulah maka dilakukan monitoring pada pasien assessment geriatri. Monitoring yang baik tidak hanya sebatas kondisi kesehatan pasien tetapi juga mengenai kepatuhan pasien untuk minum obat dan menjalani dietnya. Untuk pasien yang datang secara rutin kegiatan monitoring dapat berjalan namun untuk pasien yang hanya datang satu kali kunjungan monitoring tidak akan bisa dilakukan. Untuk itu ada baiknya bila kegiatan ini juga melibatkan pihak keluarga atau teman dekat pasien yang bisa ikut memonitoring kondisi pasien dan kepatuhannya terhadap obat dan dietnya.
Kegiatan assessment geriatri memberikan banyak keuntungan baik dari pihak pasien maupun pihak Rumah Sakit. Melalui kegiatan tersebut, pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang lengkap dari berbagai tenaga kesehatan yang tergabung dalam tim assessment geriatri, sehingga mengurangi kemungkinan terlewatinya penyakit atau gangguan yang diderita pasien. Manfaat lain untuk pasien, dengan ditanganinya pemeriksaan oleh tim assessment geriatri adalah mendapat banyak masukan saran yang dapat membantu meningkatkan kualitas kesehatan dirinya. Bagi Rumah Sakit sendiri, kegiatan assessment geriatri yang dikelola dengan cara yang professional akan memberikan keuntungan dari segi finansial, selain itu dengan diselenggarakannya kegiatan ini juga akan meningkatkan komunikasi dan kerjasama yang baik antar tenaga kesehatan yang bekerja sama dalam rumah sakit. 



SIROSIS HATI DENGAN ASCITES

            Sirosis hepatik adalah fase lanjt penyakit hati kronis yang ditandai proses peradangan, nekrosis sel hati,usaha regenerasi dan penambahan jaringan ikat difus (fibrosis) dengan terbentuknya nodul yang mengganggu susunan lobulus hati (Setiawan, 2007).



ETIOLOGI
a.       Konsumsi alkohol
b.      Virus hepatitis (tipe B, C, D)
c.       Penyakit hati metabolik (Hemochromatosis, Porphyria, Defisiensi α1 antitripsin, Steatohepatitis non alkoholik)
d.      Penyakit hati cholestatic
-          Sirosis bilier primer
-          Sirosis bilier sekunder (penyebab yang mungkin : gallstones, strictures, infeksi parasit)
-          Primary sclerosing cholangitis (terkait dengan kolitis ulseratif dan cholangiocarcinoma)
-          Sindrom Budd-Chiari
-          Gagal jantung kongestif yang berat dan Severe congestive heart failure dan constrictive pericarditis
e.       Obat dan herbal (Isoniazid, metildopa, amiodaron, metotrexat, henothiazine, estrogen, steroid anabolik, black cohosh, jamaican bush tea).
(Sease et al, 2008)

PATOFISIOLOGI
Hati merupakan sistem penyaringan darah dari vena portal dan arteri hepatik. Darah memasuki hati melalui triad portal mengalir melewati lobus hepar yang merupakan unit terkecil dalam sistem ini dan juga ke vena sentral. Lobus hepar berbentuk heksagonal dan terdiri dari cabang-cabang terkecil vena portal dan arteri hepatik. Di lobus hepatik, hepatosit terangkai pada plate dari perifer  sampai vena  sentral. Arteri hepatik mensuplai oksigen ke triad portal. Hepatosit perifer yang lebih banyak menerima oksigen dibandingkan dengan sel didekat vena sentral. Darah arteri dan vena dari portal triad melewati lobus hepatik menuju vena sentral melalui sinusoid hepatik. Setelah melewati lobus hepatik, darah berkumpul di vena sentral, bersatu di vena hepatik kemudian memasuki vena cava inferior.
Pada kelainan hepatoselular, sel stellate yang normalnya menyimpan retinoid seperti vitamin A, menjadi teraktivasi dan melepas retinoidnya serta memacu pembentukan fibroblast. Zat ini kemudian menjadi sumber utama kolagen dan matriks protein lain yang berproliferasi selama fibrosis. Adanya materi fibrosa diantara sinusoid akan mengganggu aliran darah yang melewati lobus hepatik. Apabila kemudian terjadi penumpukan jaringan fibrosa maka tahanan aliran darah portal meningkat. Hasilnya yaitu terjadi pengerasan dan peningkatan tekanan darah portal (PHT). Tekanan normal vena portal adalah 5-10 mmHg. PHT terjadi bila tekanan vena portal lebih besar 10 mmHg daripada tekanan vena kava inferior.
Terdapat juga fakta yang menyebutkan bahwa sirosis terjadi karena adanya perubahan pada mediator vasodilatasi dan vasokonstriksi yang mengatur aliran darah pada sinusoid hepar. Kombinasi antara penurunan produksi (Nitric Oxide) NO sebagai vasodilator dan meningkatnya endotelin sebagai vasokonstriktor yang akan menyebabkan peningkatan tahanan aliran darah dan peningkatan aliran darah pada vaskularisasi limfa (Sease et al, 2008).

MANIFESTASI KLINIS
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki – laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala – gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epitaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih bewarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa,sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma (Sudoyo, 2006).
Kriteria Penyakit Hati Kronik Berdasarkan CHILD PUGH SCORE
Skor
1
2
3
Bilirubin (mg/dl)
1 – 2
2 – 3
> 3
Albumin (mg/dl)
> 3,5
2,8 – 3,5
< 2,8
Asites
-
Ringan
Sedang
Level Ensefalopati
-
1dan 2
3 dan 4
Prothrombin time (seconds prolonged)
1 – 4
4 – 6
> 6
Keterangan : level A/ringan = poin < 7, level B/sedang = poin 7 – 9, level C/berat = poin 10 – 15 (Sease et al, 2008; Setiawan, 2008)

Komplikasi
-    Hipertensi Portal
Hipertensi portal paling sering disebabkan oleh peningkatan resistensi aliran darah portal. Karena sistem vena porta tidak memiliki katup, resistensi di setiap ketinggian antara sisi kanan jantung dan pembuluh splanknikus menyebabkan tekanan yang meninggi disalurkan secara retrograd. Peningkatan resistensi dapat terjadi pada presinusoid, sinusoidal dan postsinusoid (Sudoyo, 2006). Peningkatan tekanan ini menyebabkan aliran darah dikembalikan ke vena portal. Darah dari vena portal tidak dapat masuk kedalam hepar karena terjadi pengerasan sehingga aliran darah tidak terpenetrasi menyebabkan tekanan portal meningkat, kompensasinya terbentuk sistem kolateral menembus aliran lain yang dapat ditembus. Karena sifat vena (termasuk vena porta) yang berbentuk katup dan jarangnya katup maka kenaikan tekanan akan diteruskan kembali ke vascular bed sehingga terjadi shunting portal ke sistemik (McPhee, 1995).
-          Ascites
Ascites adalah terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan dalam rongga peritonium. Akumulasi cairan mengandung protein tersebut terjadi karena adanya gangguan pada struktur hepar dan aliran darah yang disebabkan oleh inflamasi, nekrosis fibrosis atau obstruksi menyebabkan perubahan hemodinamis yang menyebabkan peningkatan tekanan limfatik dalam sinusoid hepar, mengakibatkan transudasi yang berlebihan cairan yang kaya protein ke dalam rongga peritonium. Peningkatan tekanan dalam sinusoid menyebabkan peningkatan volume aliran ke pembuluh limpatik dan akhirnya melebihi kapasitas drainage sehingga tejadi overflow cairan limpatik kedalam rongga peritonium (McPhee, 1995). Ciran asites merupakan cairan plasma yang mengandung protein sehingga baik untuk media pertumbuhan bakteri patogen, diantaranya enterobacteriaceae (E. Coli), bakteri gram negatif, kelompok enterococcus (Sease et al, 2008).
-          Gastroesophageal Varices Bleeding
Terjadinya peningkatan tekanan pada vena portal yang melebihi tekanan dari vena cava menyebabkan pembesaran dari vessel. Pembesaran vessel ini disebut varices. Varices akan melebarkan sistem vena portal karena membawa darah ke sirkulasi sistemik. Varices dapat terjadi  pada semua bagian dari GIT, paling sering terjaid pada vena gastrik sebelah kiri yang menyebabkan varises gastroesofageal. Varises gastroesofageal mudah ruptur (pecah) dan akhirnya menyebabkan massive bleeding (McPhee, 1995).
-          Hepatic Encephalopathy
Hepatic Encephalopathy merupakan sindrom neuropsikiatrik yang terjadi pada pasien dengan severe hepatic insufficiency sehingga menyebabkan terjadinya perubahan status mental ringan sampai berat. Faktor presipitasi dari Hepatik Encephalopathy mulai dari (1) terjadinya perdarahan pada GIT menyebabkan peningkatan produk hemoglobin. sil degradasi ini dalam bentuk heme dan globin. Adanya shunting portal ke sistemik menyebabkan globin dapat menembus SSP. (2) Peningkatan intake protein. Produk akhir protein dalam bentuk amoniak tidak bisa diubah menjadi urea sehingga produk amoniak dalam darah meningkat, karena lemahnya pertahanan dari SSP amoniak ini dapat masuk. (3) Masuknya bermacam-macam toksin diantaranya merkaptan dan glutamin. eningkatan  neurotransmitter GABA dalam otak, masuknya asam amino aromatik kedalam SSP menyebabkan peningkatan sintesa dari false neurotransmitter seperti oktopamin dan penurunan sintesa dari neurotransmitter normal seperti norepinefrin (McPhee, 1995).

PENATALAKSANAAN TERAPI
Pengobatan/ tata laksana sirosis hati dekompensata didasarkan atas gejala/ tanda yang menonjol dan komplikasi yang dialami penderita (Setiawan, 2008).

1.   Hipertensi portal dan perdarahan varises (hematemesis melena)
a.    Profilaksis primer
-    Hindari pemakaian alkohol, aspirin, dan Non Steroid Antiinflammatory Drug (NSAID) lain
-    Propanolol 10 mg  3 x sehari atau nadolol 20 gm 2 x sehari
-    Endoscopic Band Ligation (EBL) untuk pasien yang kontraindikasi atau intoleransi dengan nonselektif β-bloker
b.   Pengobatan perdarahan varises akut
-    Untuk adequat fluid resuscitation : PRC, fresh frozen plsma, dan platelet
-    Untuk koreksi koagulopati dan trombositopenia : infus trombosit, vitamin K sebagai kofaktor pembentuk faktor koagulan
-    Untuk mengontrol perdarahan : somatostatin dan octeotrid
c.    Profilaksis sekunder
-    Kombinasi antara penggunaan nonselektif β-bloker dengan EBL
-    Ketika terapi dengan EBL gagal dapat digunakan Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS) atau shunt surgery
2.   Asites dan Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
a.    Asites
-    Parasentesis
-    Pengurangan intake natrium 2000 mg/hari dan terapi diuretik (spironolakton dan furosemid)
b.   Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
-    Untuk profilaksis : norfloxacin, trimetoprim – sulfametoksazol, dan golongan quinolon
-    Untuk terapi : cefotaxime, ofloxacin
3.   Hepatik ensefalopati (HE)
-       Pertahankan keseimbangan kalori, cairan, dan elektrolit
-       Untuk menurunkan konsentrasi amonia darah : diet rendah protein (usahakan asam amino rantai cabang), lactulosa, antibiotika (neomisin atau metronidazol), L-Ornithin L-Aspartat
-       Untuk menghambat reseptor GABA-Benzodiazepin : flumazenil

(Sease et al, 2008)




DAFTAR PUSTAKA


Lacy, Charles F., et al, 2009, Drug Information Handbook, 18th Edition, Lexi Comp Inc, North America
McPhee, S.J., Lingappa, V.R., Ganong, W.F., and Lange, J.D., 1995. Pathophysiology of Disease, an Introduction to Clinical Medicine, 1st edition, Connecticut : Appleton & Lange
NHS. 2009. National Plasma Product Expert Advisory Group - Clinical Guidelines for Human Albumin Use. Edinburgh
Pagana, K.D. & Pagana, T.J. 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Test. 2nd ed. Missouri: Mosby, Inc.
Sease, J.M., Timm, E.G., and Stragand, J.J. 2008. Portal Hypertension and Cirrhosis. In : DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Ed. 7th, New York : McGrawhill Co
Setiawan, Poernomo Budi.2007. Sirosis Hati. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., and Setiati, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam I, edisi keempat, Jakarta: Balai Penerbit FKUI

RUMAH SAKIT ( Hospital )




Definisi Rumah Sakit
                 Menurut  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, yang dimaksud rumah sakit umum adalah rumah sakit yang  memberikan  pelayanan  kesehatan  pada semua bidang dan jenis penyakit (Anonim, 2009). Rumah sakit ini memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujukan (Siregar dan Amalia, 2004).
Rumah sakit adalah salah satu dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Siregar dan Amalia, 2004).
Di Indonesia, rumah sakit merupakan rujukan pelayanan kesehatan untuk pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), terutama upaya penyembuhan dan pemulihan, sebab rumah sakit mempunyai fungsi utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi penderita, yang berarti bahwa pelayanan rumah sakit untuk penderita rawat jalan dan rawat inap hanya bersifat spesialistik atau subspesialistik, sedang pelayanan yang bersifat non spesialistik atau pelayanan dasar harus dilakukan di Puskesmas. Hal tersebut diperjelas dalam keputusan menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 983/Menkes/SK/XI/1992, tentang pedoman organisasi Rumah Sakit Umum yang menyebutkan bahwa tugas rumah sakit mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan (Siregar dan Amalia, 2004).
Sekarang ini rumah sakit adalah suatu lembaga komunitas yang merupakan instrumen masyarakat yang merupakan titik fokus untuk mengkoordinasi dan menghantarkan pelayanan pasien pada komunitasnya. Atas dasar tersebut maka rumah sakit dapat dipandang sebagai suatu struktur terorganisasi yang menggabungkan bersama-sama semua profesi kesehatan, fasilitas diagnostik dan terapi, alat dan perbekalan serta fasilitas fisik ke dalam suatu sistem terkoordinasi untuk penghantaran pelayanan kesehatan bagi masyarakat (Siregar dan Amalia, 2004).
Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, tugas rumah sakit adalah memberikan  pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Sedangkan fungsi rumah sakit adalah sebagai berikut:
1.         Penyelenggaraan  pelayanan  pengobatan  dan pemulihan  kesehatan  sesuai  dengan  standar pelayanan rumah sakit.
2.         Pemeliharaan  dan  peningkatan  kesehatan perorangan  melalui  pelayanan  kesehatan  yang paripurna  tingkat  kedua  dan  ketiga    sesuai kebutuhan medis.
3.         Penyelenggaraan  pendidikan  dan  pelatihan  sumber daya  manusia  dalam  rangka  peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
4.         Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan  pelayanan  kesehatan  dengan memperhatikan  etika  ilmu  pengetahuan  bidang kesehatan (Anonim, 2009).
Klasifikasi Rumah Sakit
Tujuan pengklasifikasian rumah sakit agar dapat mengadakan evaluasi yang lebih tepat untuk suatu golongan rumah sakit tertentu. Klasifikasi rumah sakit meliputi:
a.      Klasifikasi Berdasarkan Kepemilikan
Berdasarkan kepemilikannya (ownesrship), rumah sakit digolongkan menjadi :
1)   Rumah Sakit Pemerintah (Government Hospital), yaitu :
a)      Rumah sakit yang langsung dikelola oleh Departemen Kesehatan.
Contoh: RSUP Dr. Sardjito
b)     Rumah sakit pemerintah daerah.
Contoh : RSUD Dr. Soetomo
c)      Rumah sakit militer.
Contoh : RS AL Dr. Ramelan
d)     Rumah sakit BUMN.
Contoh : RS Pusat Pertamina
2)   Rumah Sakit Non Pemerintah (Non Goverment Hospital), merupakan rumah sakit yang dikelola oleh masyarakat. Dibagi menjadi dua yaitu :
a)      Rumah sakit hak milik, merupakan rumah sakit bisnis yang tujuan utamanya adalah mencari laba (profit). 
Contoh : RS Happy land
b)      Rumah sakit nirlaba, adalah rumah sakit yang berafiliasi dengan organisasi keagamaan yang pada umumnya bukan untuk maksud membuat laba tetapi lebih bersifat nirlaba. Rumah sakit ini mencari laba sewajarnya dan laba yang diperoleh oleh rumah sakit digunakan sebagai modal peningkatan sarana fisik, perluasan dan penyempurnaan mutu pelayanan untuk kepentingan pasien.
Contoh : RS PKU Muhammadiyah (Siregar dan Amalia, 2004).
b.      Klasifikasi Berdasarkan Kapasitas Tempat Tidur
Rumah sakit pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan kapasitas tempat tidur sesuai dengan pola sebagai berikut (Siregar dan Amalia, 2004)  :
1)      Dibawah 50 tempat tidur.
2)      50-99 tempat tidur.
3)      100-199 tempat tidur.
4)      200-299 tempat tidur.
5)      300-399 tempat tidur.
6)      400-499 tempat tidur.
7)      500 tempat tidur atau lebih
c.       Klasifikasi Berdasarkan Jenis Pelayanan
Rumah sakit dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis pelayanan yaitu :
1) Rumah sakit umum (General Hospital), merupakan rumah sakit yang memberikan berbagai jenis perawatan untuk berbagai penyakit antara lain penyakit dalam, penyakit kulit, kandungan dan pediatrik.
2)   Rumah sakit khusus (Special Hospital), adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan dan perawatan terhadap penyakit tertentu seperti TBC, kanker, jantung, mata dan Rumah Sakit Jiwa (Siregar dan Amalia, 2004).
d.      Klasifikasi Berdasarkan Afiliasi Pendidikan
Rumah sakit dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan afiliasi pendidikan, yaitu  :
1)     Rumah sakit pendidikan, adalah rumah sakit yang melaksanakan program pelatihan residensi dalam medik, bedah, pediatrik, dan spesialis lain. Dalam rumah sakit ini, residen melakukan pelayanan atau perawatan pasien di bawah pengawasan staf medik rumah sakit.
2)     Rumah sakit non pendidikan, merupakan rumah sakit yang tidak memiliki program pelatihan residensi dan tidak ada afiliasi rumah sakit dengan universitas (Siregar dan Amalia, 2004).
e.       Klasifikasi Berdasarkan Lama Tinggal di Rumah Sakit
Berdasarkan lama tinggal di rumah sakit, rumah sakit dikelompokkan menjadi dua yaitu :
1)   Rumah sakit perawatan jangka pendek, yaitu rumah sakit yang merawat pasien selama rata-rata kurang dari 30 hari, misalnya pasien dengan kondisi penyakit akut dan kasus darurat.
2)      Rumah sakit perawatan jangka panjang, adalah rumah sakit yang merawat pasien dalam waktu rata-rata 30 hari atau lebih (Siregar dan Amalia, 2004).
f.       Klasifikasi berdasarkan status akreditasi
Akreditasi rumah sakit adalah pengakuan yang diberikan kepada rumah sakit oleh pemerintah atau badan yang berwenang karena rumah sakit telah memenuhi standar yang ditentukan.
Tujuan akreditasi secara umum adalah untuk meningkat mutu pelayanan rumah sakit dan sarana rumah sakit lainnya. Pelaksanaan rumah sakit dilakukan tiap tiga tahun, dengan aspek yang dinilai dilakukan secara bertahap dimulai dengan struktur, struktur  proses dan kemudian struktur proses dan outcome.
Tahapan pelaksanaan akreditasi rumah sakit terdiri dari 3 tahap :
1.         Tahap I : akreditasi 5 pelayanan disebut akreditasi tingkat dasar yang meliputi : administrasi manajemen, pelayanan medik, gawat darurat, keperawatan dan rekam medik.
2.         Tahap II : akreditasi 12 pelayanan disebut akreditasi tingkat lanjut. Meliputi : lima pelayanan tahap I ditambah 7 pelayanan yaitu : kamar operasi, laboratorium, radiologi, farmasi, K3, pengendalian infkesi, perinatal resiko tinggi.
3.         Tahap III : akreditasi lengkap meliputi 16 pelayanan, meliputi : 12 pelayanan tahap II ditambah 4 paelayanan yaitu : pelayanan rehabilitasi medik, pelayanan gizi, pelayanan intensif dan pelayanan darah.
Penetapan status akreditasi oleh direktur jendral pelayanan medik. Hasil status akreditasi rumah sakit terdiri dari :
1.         Tidak akreditasi (gagal)
2.         Akreditasi bersyarat
3.         Akreditasi penuh
4.         Akreditasi istimewa.
Proses akreditasi berhubungan dengan mutu pelayanan rumah sakit. Untuk melakukan penilaian terhadap mutu, pelayanan rumah sakit diperlukan suatu standar system manajemen mutu, salah satunya adalah ISO. ISO adalah suatu standar sistem manajemen mutu yang di keluarkan oleh organisasi internasional bernama The Internastional Organization For Standarization. Adapun macam-macam ISO adalah :
1.         ISO 9000 : 2000
Berisi dasar dan fundamental dan pembendarahan kata.
2.         ISO 9001 : 2000
Berisi persyaratan sistem manajemen mutu yang dapat diterapkan dalam organisasi atau untuk sertifikasi dan kontraktual.
3.         ISO 9004 : 2000
Berisi pedoman untuk peningkatan berkesinambungan.
g.      Klasifikasi Rumah Sakit Umum Pemerintah
Klasifikasi rumah sakit umum pemerintah didasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik, dan peralatan. RSU pemerintah dibagi dalam empat kelompok yaitu (Siregar dan Amalia, 2004) :
1)      RSU kelas A, yaitu RSU yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan subspesialistik luas. Contoh RSUP Dr. Sardjito, RSU Cipto Mangunkusumo, RSUD Dr. Soetomo, RSU Adam Malik dan RSU Dr. Wahidin.
2)      RSU kelas B, yaitu RSU yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya 11 spesialistik dan subspesialistik terbatas. RSU tipe B dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan fungsinya sebagai tempat pendidikan tenaga medis yaitu RSU Pendidikan dan RSU non pendidikan.
3)      RSU kelas C, yaitu RSU yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar.
4)      RSU kelas D, adalah RSU yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar (Siregar dan Amalia, 2004).
h.   Klasifikasi Rumah Sakit Umum Swasta
Mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.806b/Menkes/SK/XII/1987 tentang klasifikasi RSU swasta sebagai berikut :
1)   Klasifikasi rumah sakit adalah pengelompokan rumah sakit berdasarkan pembedaan bertingkat dan kemampuan pelayanannya.
2)   RSU Swasta adalah RSU yang diselenggarakan oleh pihak swasta.
3)   Klasifikasi RSU swasta, adalah
a)      RSU swasta pratama, yang memberikan pelayanan medik bersifat umum.
b)      RSU swasta madya, yang memberikan pelayanan medik bersifat umum dan spesialistik dalam empat cabang.
c)      RSU swasta utama, yang memberikan pelayanan medik bersifat umum, spesialistik, dan subspesialistik (Anonim, 1987).