The Pharmacist Room: Etiologi
Showing posts with label Etiologi. Show all posts
Showing posts with label Etiologi. Show all posts

Jaundice Pre Hepatik adalah


Jaundice
Definisi
Jaundice adalah kekuningan pada jaringan tubuh termasuk pada kulit dan jaringan didalamnya yang disebabkan oleh jumlah billirubin yang berlebihan di cairan ekstraseluler, baik dalam bentuk bebas, maupun terkonjugasi. Kekuningan pada kulit terjadi pada kadar billirubin 1,5 mg/dl, sedangkan billirubin normal adalah 0,5 mg/dl (Guyton et al, 2006)

Etiologi
Etiologi jaundice adalah (Guyton et al, 2006) :
1.      Peningkatan dekstruksi sel darah merah, dengan pelepasan billirubin yang cepat ke dalam darah (Hemolytic jaundice)
2.      Obstruksi kantung empedu (batu empedu datau kanker) atau kerusakan sel liver (hepatitis) sehingga billirubin tidak dapat diekskresi ke saluran cerna (Obstructive jaundice)

Klasifikasi
Klasifikasi jaundice menurut Sherlock, 2002, sebagai berikut :
  1. Pre hepatic
Peningkatan billirubin disebabkan oleh haemolisis.  Sebagian serum billirubin yang ada pada sirkulasi adalah billirubin tak terkonjugasi, sedangan serum transaminase dan alkalin phospatase dalam batas normal. Billirubin tidak terdapat dalam urin.
  1. Hepatik
Berhubungan dengan kegagalan hepatosit dalam ekskresi billirubin kedalam kantung empedu. Terjadi karena kerusakan hati yang disebabkan oleh ensefalopati, retensi cairan dengan udema dan asites. Pasien mudah lelah dan tidak enak badan.

  1. cholestatik
kegagalan empedu dalam mencapai duodenum, terdapat peningatan serum billirubin terkonjugasi

1.2  Anemia
Definisi
            Kelompok penyakit dengan tanda penurunan Hb atau sel darah merah, mengakibatan penurunan oksigen dalam darah.  Anemia bisa disebabkan oleh ketidakmampuan produksi sel darah merah, peningkatan dekstruksi sel darah merah atau kehilangan darah (Ineck et al, 2008).
            WHO mendefinisikan anemia dengan konsentrasi Hb < 120g/L (<13 g/dL) atau Hct < 39% pada laki-laki dewasa dan Hb < 120 g/L (<12 g/dL) atau Hct < 37% pada wanita dewasa. Anemia dengan defisiensi besi atau masalah sintesis Hb menyebabkan RBC kecil, MCV < 80, sedangkan defisiensi vit B12 dan asam folat menyebabkan RBC besar, MCV > 100 (Braunwald et al, 2005)

Klasifikasi Anemia
            Anemia dapat diklasifiasikan berdasarkan morfologi RBC, Etiologi atau patofisiologinya, seperti berikut ini (Ineck et al, 2008) :
¨      Berdasarkan Morfologi RBC
1.      Macrocytic Anemia : defisiensi vit B12, defisiensi asam folat
2.      Microcytic Anemia : defisiensi besi, kelainan genetik (sel, thalasemia, hemoglobinopati)
3.     Normocytic Anemia : Kehilangan darah, hemolysis, kerusakan sumsum tulang, anemia karena penyakit kronis
¨      Berdasarkan etiologi
1.      Kekurangan besi, vit B12, asam folat, piridoksin
2.      Gangguan fungsi sumsum tulang, anemia karena penyakit kronis
3.      Periferal (perdarahan, hemolisis)
¨      Berdasarkan patofisiologi
1.      Kehilangan darah (hemorage, trauma, peptic ulcer, gastritis, hemoroid)
2.      Hemorage kronik (perdarahan vagina, intestinal, aspirin dan NSAID)
3.      Kerusakan RBC (antibodi RBC, obat, gangguan pada limpa)
4.      Produksi RBC matur yang tinggi (kekurangan B12, asam folat, besi, protein,  defisiensi eritroblast seperti anemia aplastik, antagonis asam folat, antibodi, leukemia, karsinoma, hipotiroid, CKD dan penyakit hati)

1.3. Gagal Ginjal Akut
Definisi
Gagal ginjal akut merupakan keadaan dimana ginjal berhenti berkerja secara tiba-tiba seluruhnya atau hampir seluruhnya, namun bisa kembali mendekati fungsi normalnya (Guyton et al, 2006)
Gagal ginjal akut adalah penurunan GFR (Glomerolus Filtering Rate) yang terjadi beberapa jam dalam sehari, terkadang lebih dari satu minggu. Hal ini berhubungan dengan akumulasi produk sisa, termasuk urea dan kreatinin. Pasien gagal ginjal akut biasanya dikategorian menjadi 3 yaitu anuric (urin< 50 ml/hari), oligouric (urin < 500 ml/hari) dan nonoligouric (urin> 500 ml/hari) (Dager & Spencer, 2008).
Pasien dengan jaundice memiliki resiko yang lebih besar pada perdarahan, infeksi, gagal ginjal dan luka yang sulit sembuh (Serra & Padillo, 2005)

Etiologi
Etiologi gagal  ginjal  akut menurut Serra & Padillo, 2005, sebagai berikut :
1.      Penurunan suplai darah ke ginjal (pre renal acute renal failure), bisa terjadi sebagai konsekuensi dari gagal jantung dengan penurunan cardiac output dan tekanan darah rendah atau kondisi lain yang berhubungan dengan penurunan volume darah dan tekanan darah seperti hemorage
2.      Abnormalitas ginjal, seperti kerusakan glomerolus, pembuluh darah dan tubulus (Intrarenal Acute Renal Failure)
3.      Abnormalitas system pengumpul urinaris (postrenal Acute Renal Failure). Biasanya penyebabnya adalah batu ginjal akibat pengandapan kalsium, urat dan  cystine.


Patofisiologi
Patofisiologi gagal  ginjal  akut dibagi berdasarkan etiologinya sebagai berikut (Dager & Spencer, 2008) :
1.      Prerenal
Gagal ginjal akut prerenal disebabkan oleh hipoperfusi pada parenkim renal, dengan atau tanpa hipotensi arteri sistemik. Hipoperfusi renal dengan hipotensi sistemik bisa disebabkan oleh penurunan volume darah akibat hemoragik, dehidrasi, hipoalbumin atau penggunaan diuretik. Sedangkan hipoperfusi renal tanpa hipotensi sistemik, berhubungan dengan penyumbatan arteri renal, baik pada salah satu atau kedua renal. Penurunan volume darah berakibat pada aktivasi simpatik dan RAAS serta rilis hormon ADH (jika terdapat hipotensi). Hal ini menyebabkan terjadinya vasokonstriksi dan stimulasi rasa haus untuk meningkatkan asupan cairan dan memicu terjadinya retansi air dan natrium. Namun jika mekanisme konpensasi diatas terjadi dalam waktu yang lama, maka gagal ginjal akut akan terjadi. Jika terdapat penyumbatan arteri (arterosklerosis atau emboli), baik pada kedua maupun salah satu ginjal, maka aliran darah ke ginjal berkurang dan mengakibatan penurunan fungsi ginjal.
2.      Intrarenal
Gagal ginjal akut intrarenal terjadi akibat kerusakan ginjal, baik pada vaskularisasi ginjal, glomeroli, tubulus ataupun interstinum.
3.      Postrenal
Gagal ginjal akut postrenal terjadi akibat obstruksi sistem pengumpul urin, mulai dari tubulus hingga uretra. Proses prostatik (hipertrofi, kanker dan infeksi) menyebabkan terhambatnya aliran urin, selain itu penggunaan kateter juga dapat menyebabkan gangguan tersebut. Penyumbatan urin dapat diakibatkan juga oleh batu neurigenik, mediator antiolinergik, gumpalan darah, kristal oksalat dan penggunaan obat yang tidak larut urin dalam dosis besar. Dimanapun lokasi terjadinya obstruksi, urin akan terakumulasi di struktur renal dan menyebabkan peningkatan tekanan ke atas. Keseluruhan proses diatas menyebabkan pembengkakan ureter, pelvis dan calices, jika terjadi  vasokonstrisi maka penurunan GFR akan terjadi.

Contoh Kasus Pasien Komplikasi

Tn.AR adalah pasien rujukan dari Rumah Sakit Kraksan, pasien dirawat di RS krasan selama 9 hari. Pasien datang dengan keluhan sesak dan nyeri perut, batuk dan demam sejak 1 minggu sebelum MRS, batuk menjadi parah pada malam hari. Mata pasien kuning dan tinja pucat, tekanan darah Tn.AR 190/80 mmHg. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa leukosit 32500, Hb 8,9, Hct 26,4%, Ureum 836,7, serum kreatinin 13,19, Albumin 2,74, kalium 5,71, billirubin direct 12,78, indirect 11,4 dan billirubin total 12,78. Tn. AR didiagnosa jaundice, anemia dan gagal ginjal akut. Selain itu pasien juga menderita hipokalemi dan hipertensi krisis.


Peningkatan billirubin yang dialami pasien disebabkan karena anemia hemolitik dan kerusakan sel hati berupa ensefalopati dan ascites. Sehingga jaundice yang dialami Tn.R merupakan jaundice pre hepatik (anemia hemolitik) dan hepatik (kerusakan sel hati). Treatmen yang harus dilakukan adalah mengatasi anemia dan gangguan hati (ensefalopati dan ascites). Selain itu hipertensi krisis, nyeri perut, demam dan sesak juga perlu segera diatasi. 


DAFTAR PUSTAKA

Ajit, C., Munoz, S. 2005. Hepatic Encephalopathy in: Bayless, T.M., Diehl, A.M. Advanced Therapy in Gastroenterology and Liver Disease ed. 5th., London : B.C Decker Inc. p. 661

Anderson P.O., Knoben J.E., Troutman W.G. (Eds), 2002. Handbook of Clinical Drug Data, 10th Edition, New York; McGraw-Hill Medical Publishing Devision.

Anonim, 2009. British National Formulary ed. 57th, London : BMJ Publishing Group ltd.

Anonim, 2007. Martindale 35 : The Complete Drug Reference. Pharmaceutical press.

Brunton, S.A. 2005. Hypertension in: Taylor, R.B., Taylors Cardiovascular desease. New York : Springer Science + Business Media, Inc

Dager, W., Spencer, A., 2008, Acute Renal Failure in : Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M Pharmacotherapy a Phatophysiologic Approach ed.7th, New York : McGraw-Hill Co., inc, p. 723

Guyton,A.C., Hall, J.E. 2006. Textbook of Medical physiology ed.11th,Philadelphia : Elsevier Inc. p. 859-864. p. 404

Kasper, D.L., Braunwald, E., Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, L.J. 2005. Harrison’s Manual of Medicine ed.16th. New York : McGraw-Hill

Pagana, K.D and Pagana, T., 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory test, Ed.2nd, Missouri : Mosby inc

Sease, J.M., Timm, E.G., Stragand, J.J. 2008. Portal Hypertension and Cirrhosis in : Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M Pharmacotherapy a Phatophysiologic Approach ed.7th, New York : McGraw-Hill Co., inc, p.633-648

Serra, A.S., Padillo, J. 2005. Renal Dysfunction in Obstructive Jaundice in : Gines, P., Arroyo, V., Rodes, J., Schrier, R.W. Ascites and Renal Dysfunction in Liver Disease ed.2nd. Australia : Blackwell Publishing Ltd. P. 394

Sherlock, S., Dooley, J., 2002. Diseases of The Liver and Biliary System ed.11th. Milan : Blacwell Science Ltd. P.205-217.



CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE dan PNEUMONIA

COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease)
1.1 Definisi
COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) adalah penyakit yang ditandai adanya hambatan aliran udara yang dapat irreversible (Reilly et al, 2008). Hambatan aliran udara tersebut bersifat progresif dan disertai dengan respon inflamasi abnormal dari paru terhadap partikel atau udara yang masuk ke pernafasan (Bourdet and Williams, 2008). COPD meliputi emfisema dan bronkitis kronik. Emfisema adalah kondisi yang ditandai dengan kerusakan dan membesarnya alveoli paru, sedangkan bronkitis kronik adalah kondisi yang ditandai dengan batuk menahun, berdahak, dan adanya pengecilan bronkialis (Reilly et al, 2008).

1.2 Etiologi
Faktor utama dari perkembangan PPOK adalah merokok. PPOK dapat dihubungkan dengan kombinasi faktor resiko yang lain. Faktor resiko yang dihubungkan dengan PPOK dapat digolongkan menjadi faktor host dan faktor lingkungan. Faktor host yaitu kecenderungan genetik yaitu kekurangan α1 Antitripsin dan faktor lingkungan seperti asap rokok, paparan debu dan paparan bahan kimia (Williams and Bourdet, 2008).

1.3  Klasifikasi COPD (Bourdet, S.V., et al. 2008).
STAGE I MILD                                             STAGE III SEVERE
-          FEV1/FVC < 70%                                          -  FEV1/FVC < 70%
-          FEV1 ≥ 80%                                                   -  30% < FEV1 < 50%
-          Dengan atau tanpa symptom                          - Dengan atau tanpa symptom

STAGE II MODERATE                                STAGE IV VERY SEVERE
-          FEV1/FVC < 70%                                          -  FEV1/FVC < 70%
-          50% < FEV1 < 80%                                       -  FEV1 < 30% atau < 50%
-          Dengan atau tanpa symptom                          - Terdapat gagal nafas kronis


1.4 Patofisiologi
            Pada keadaan sistem saluran pernafasan yang normal terjadi pergantian O2 dan CO2. O2 dibawa ke darah dan CO2 dipindahkan dari darah. Ketika nilai PaCO2 meningkat, ventilasi distimulasi, menghasilkan peningkatan perpindahan CO2. Terjadinya obstructive pulmonary disease menyebabkan pergantian udara terganggu dan pada saluran pernafasan akan terjadi kontraksi otot halus, inflamasi, edema dan peribronkolar fibrosis. Ketidaknormalan saluran pernafasan menyebabkan perubahan pH arteri dan PaCO2 pada pasien COPD, terjadinya hipoksia berperan besar pada keadaan ini. Terjadinya inflamasi dalam saluran pernafasan perifer dan parenkim paru merupakan proses yang dominan terjadi pada COPD (Goldsmith and Weber, 2000).
            Keadaan eksaserbasi ditandai dengan memburuknya kondisi pasien dibandingan kondisi stabilnya, onsetnya akut dan membutuhkan obat-obatan di luar yang biasanya diberikan. Mediator inflamasi termasuk neutrofil dan eusinofil meningkat pada sputum. Perubahan fisiologis primer yang sering adalah memburuknya arterial gas result yang memperlihatkan buruknya pertukaran gas. Pada pasien eksaserbasi kronis, gejala hipoksemia dan hiperkapnea disertai asidosis respiratori dan gagal napas dapat muncul (Bourdet, S.V., et al. 2008).

1.5  Komplikasi
-          Gangguan Keseimbangan Asam-Basa
Respiratori asidosis sering terjadi pada pasien PPOK. Hipoventilasi pada pasien PPOK merupakan salah satu penyebab terjadinya respiratori asidosis. Pada pasien PPOK sering terjadi peningkatan tekanan karbondioksida di arteri (Paco2) yang kemudian dikompensasikan dengan terjadinya metabolik alkalosis (Schwinghammer, T.L., 2009).
-          Retensi cairan
Retensi cairan sering terjadi pada pasien PPOK khususnya retensi Na oleh ginjal. Mekanisme retensi Na yang terjadi pada pasien PPOK yaitu terjadinya penurunan dari perfusi renal sebagai akibat adanya abnormalitas pertukaran udara yang terjadi pada pasien PPOK khususnya hipoksemia dan hipercapnia.
-          Polisitemia
Polisitemia adalah peningkatan jumlah produksi sel darah merah yang berlebihan. Hipoksia kronik yang terjadi pada pasien PPOK merangsang ginjal untuk memproduksi eritropoietin, yang akan merangsang pembentukan sel darah merah, sehingga terjadi polisitemia sekunder (Wilson, 1992).
-          Hipertensi Pulmonale
Hipertensi pulmonale adalah peningkatan tekanan arteri pulmonal yang disebabkan oleh karena penyakit parenkim paru atau meningkatnya tekanan pengisian jantung bagian ventrikel kiri, ataupun dapat keduanya. Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi mayor pada PPOK dan berhubungan dengan terjadinya Cor Pulmonale.
-          Cor pulmonale
Cor Pulmonale merupakan suatau keadaan dimana timbul hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan; timbul akibat dari penyakit yang menyerang struktur atau fungsi paru-paru atau pembuluh darahnya. Sebelum timbul kor pulmonale biasanya terjadi peningkatan resistensi vaskular paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal yang sering terjadi pada pasien PPOK pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung (Wilson, 1992).

1.6  Penatalaksanaan Terapi
Terapi obat yang diterima pasien PPOK ditujukan untuk mengurangi keluhan, frekuensi kejadian serta komplikasinya. Terapi ini didasarkan pada gejala yang terjadi, faktor resiko, biaya, dan keuntungan terapi. Sedangkan untuk pasien ekserbasi akut antara lain berkurangnya resistensi saluran udara, mengobati infeksinya, memperbaiki saturasi oksigen, dan memperkuat fungsi otot saluran pernafasan.
Penatalaksanaan PPOK  eksaserbasi akut antara lain (PDT, 2005):
·         Oksigen terkontrol
·         Bronkodilator, yaitu  β2-agonis, antikolinergik dan jika terapi inhalasi belum adekuat ditambah derivat  xantin yaitu teofilin
·         Antibiotik
·         Kortikosteroid
·         Cairan dan elektrolit

1.7  Gejala Klinis
Gejala klinis PPOK adalah pasien tidak dapat bernafas, berbicara atau batuk dan marasa seperti dicekik. Agitasi, panik dan nafas tersengal-sengal dan diikuti sianosis. Selanjutnya akan terjadi gagal nafas yang dapat berkembang menjadi obstruksi komplet. Letargi, gagal nafas dan hilangnya kesadaran merupakan tanda akhirnya (Riyanto, 2006).

PNEUMONIA
Definisi
Pneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru yang disebabkan oleh beberapa bakteri yang berbeda, virus, parasit, dan fungi sehingga terjadi peradangan pada parenkim paru ( alveolitis ) dan terakumulasinya eksudat penyebab radang pada jalan nafas  ( McPhee, 2006 ).

Etiologi
Penyebab pneumonia antara lain (Glover and Reed, 2005) :
1.      Bakteri penyebab pneumonia pada orang dewasa terutama Streptococcus pneumoniae, bakteri patogen lainnya antara lain bakteri anaerob, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenza, Chlamydia pneumoniae, C. Psittaci, C. Trachomatis, Moraxella (Branhamella) catarrhalis, Legionella pneumophila, Klebsiella pneumoniae dan bakteri gram negatif lainnya. Mycoplasma pneumoniae organisme mirip bakteri menyerang anak dan dewasa muda.
2.      Patogen pulmonar lainnya adalah virus yaitu virus syncytial respiratory, virus influensa A dan B dan virus varicella zoster.
3.      Nocardia dan Actinomycetes sp; mycobacteria, including Mycobacteria tuberculosis dan strains atypical (terutama M. Kansasii dan .avivum-intracellular).
4.      Fungi antara lain Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitis, Cryptococcus neoformans, Aspergillus fuigatus dan Pneumocystis carinii dan rickettsiae terutama Coxiella burnetii (Q fever)
Faktor predisposisisi yang menyebabkan pneumonia antara lain infeksi virus pernafasan atas, alkoholisme, perokok, gagal jantung, penyumbatan saluran nafas kronik, umur, debilitas, pasien immunocompromised seperti diabetes melitus dan gagal ginjal kronik (Glover and Reed, 2005).

Patogenesis
Mikroorganisme masuk alveoli melalui inhalasi dan aspirasi melalui orofaring kemudian masuk pada saluran nafas bawah dan menghambat mukosilier, makrofag alveolar, limfosit bronkial dan neutrofil, Ig G dan Ig A. Penyebaran infeksi terjadi melalui droplet. Organisme bermutiplikasi dalam paru dan jika telah berhasil mengalahkan mekanisme pertahanan paru terjadi pneumonia, kebiasaan merokok juga melemahkan pertahanan lokal karena menekan fungsi silier (Glover and Reed, 2005).

Klasifikasi Pneumonia (PDT Penyakit Paru RSUD Sutomo, 2005)
  1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis
a.       Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia)
b.      Pneumonia nosokomial
c.       Pneumonia aspirasi
d.      Pneumonia pada pasien imunokompromis
  1. Berdasarkan kuman penyebab
a.       Pneumonia tipikal
b.      Pneumonia atipikal
c.       Pneumonia virus
d.      Pneumonia jamur
  1. Berdasarkan prodileksi infeksi
a.       Pneumonia lobaris
b.      Bronkopneumonia
c.       Pneumonia interstisial
Perbedaan gambaran klinis pneumonia atipikal dengan tipikal (PDT, 2005)
Tanda dan gejala
Pneumonia atipikal
Pneumonia tipikal
Onset
Gradual
akut
Suhu
Kurang tinggi
Tinggi, menggigil
Batuk
Nonproduktif
produktif
Dahak
Mukoid
Purulen
Gejala lain
Nyeri kepala, mialgia, sakit tenggorokan
Jarang
Penatalaksanaan Terapi
Prioritas pertama pada pasien dengan pneumonia adalah mengevaluasi fungsi pernapasan dan memeriksa adanya tanda-tanda penyakit sistemik misalnya dehidrasi, sepsis yang mengganggu sirkulasi. Dibutuhkan oksigen atau alat pernapasan mekanis, dan resusitasi cairan terutama dalam keadaan yang lebih berat. Perawatan suportif pada pasien pneumonia termasuk oksigen bila terjadi hipoksia, bronkodilator ketika terjadi bronkospasme, serta pengeluaran cairan bila ada. Terapi pelengkap antara lain cairan, nutrisi, serta pengontrolan demam. Dehidrasi dapat terjadi karena demam, intake makanan kurang, adanya mual muntah. Pemilihan antibiotik memperhatikan perkiraan atau pun hasil tes mikrobiologi, distribusi pada saluran napas, efek samping, serta biaya ( Glover, 2005 )

  

Tabel Terapi Antimikroba Secara Empiris Untuk Pneumonia Pada Dewasa  

Tabel Dosis Antibiotik pada Pnemonia





DAFTAR PUSTAKA



Abramowicz, M., 2005. Handbook of Antimicrobial Therapy, 17th Edition, New York: Treatment Guidelines with updates from  The Medical Letter.

Anonim, 2007. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, edisi 7 2007/2008, Jakarta: PT InfoMaster, lisensi CMPMedica.

Balkissoon, R., 2003. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine, USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

Bourdet, S.V. and Williams, D.M., 2008. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In: DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M. (Eds.), Pharmacotherapy A Pathophysiological Approach, 7th Ed. New York: McGraw-Hill Comp. Inc.

Glover, M. L.; Reed, M. D., 2005. Lower Respiratory Tract Infections-Pneumonia. In Pharmacotherapy A Pathophysiology Approach, 6th Edition, USA : McGraw Hill Companues Inc.

Goldsmith, T.L., Weber, J.J., 2000. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In: Herfindal, E.T. and Gourley, D.R. (Eds.), Textbook of Therapeutics Drug and Disease Management, 7th Edition, Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.

Lacy, C.F., Armstrong, L., Goldman, M., Lance, L., 2006. Drug Information Handbook, 14th Edition, USA: Lexi-Comp’s.

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W.I., dan Setiowulan, W., 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

McEvoy, G.K., 2008. AHFS Drug Information, USA: American Soc Health System.

Mehta, D.K. (Ed.), 2007. British National Formulary, Edisi 54, London: BMJ Publishing Group Ltd.

Mandell, Lionel A., et al., 2007. Clinical Infectious Diseases : IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adults. CID 2007:44 : USA

Pagana, K.D., Pagana, T.J., 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Test, 2nd edition, USA: Mosby, Inc.

Riyanto, B.S. and Hisyam B., 2006. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Reilly, J.J., Silverman, E.K., Shapiro, S.D., 2008. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine, Edisi Internasional ke-17, USA: McGraw-Hill Medical Publishing Division.

RSUD Dr. Soetomo., 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Paru, edisi III. Surabaya

Schwinghammer, T.L., 2009. Chronic Obstructive Lung Disease. In: B.G., Wells, et al (Eds.), Pharmacotherapy Handbook, Edisi ke 7, USA: Mc-Graw Hill Medical Publishing Division.

Stockley’s, S.H., 2008, Drug Interaction, 8th ed., Nottingham : Pharmaceutical Press.

Simon, H.B., 2004. Pulmonary Infections. In: Dale, D.C. (Ed.), Infectious Diseases : The Clinician’s Guides to Diagnosis, Treatment and Prevention, New York: WebMD Professional Publishing.

Tatro, D.S., 2001. Drug Interaction Facts, St. Louis : Facts and Comparisons.

Wilson, L.M., 1992. Pathophysiology : Clinical Concepts of Disease Processes, Edisi keempat, USA: Mosby Year Book, Inc.



Pengobatan Malaria

PARASIT adalah suatu istilah yang diberikan kepada mahluk hidup baik tumbuhan atau binatang yang menumpang pada mahluk hidup lain (induk semang) dan dalam kehidupannya merugikan induk semangnya tersebut.
Untuk hidup dan berkembang biak parasit ini mengambil makanan dari dalam tubuh induk semangnya, sehingga induk semangnya mengalami gangguan bahkan bisa menimbulkan kematian.
Plasmodium yang dikenal sebagai penyebab penyakit (agent) malaria adalah binatang bersel satu (protozoa) yang termasuk genus Plasmodia, famili Plasmodiidae dari ordo Coccidiidae.
Dalam tubuh manusia, untuk kelangsungan hidupnya plasmodium memakan sel darah merah (sdm) tempat ia hidup sehingga induk semangnya (penderita) mengalami anemia dan gangguan lainnya.
Plasmodium sebagai parasit malaria baru ditemukan pada abad ke 19, ketika Laveran melihat “bentuk pisang” dalam darah seorang penderita malaria. Kemudian diketahui oleh Ross pada tahun 1897 bahwa malaria ditularkan oleh nyamuk yang banyak terdapat di rawa-rawa.
Pengertian
            Malaria adalah suatu penyakit infeksi sel darah merah oleh protozoa parasit golongan plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Istilah malaria diambil dari bahasa Italia yang berarti: mal=busuk dan aria=udara. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan wabah yang terjadi di sekitar kota Roma banyak terdapat di sekitar rawa rawa yang berbau busuk.
            Ada empat tipe plasmodium parasit yang dapat menginfeksi manusia, namun yang seringkali ditemui pada kasus penyakit malaria adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Lainnya adalah Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae. Tiap jenis parasit ini menyebabkan jenis malaria yang berbeda.
Sejak tahun 1950 Malaria sudah dapat dibasmi di benua Eropa namun penyakit ini masih menjadi masalah sosial di berbagai Negara tropis karena iklimnya yang hangat memungkinkan nyamuk Anopheles sp untuk berkembang biak dengan bebas. Malaria disebabkan oleh protozoa yang menjadi parasit di nyamuk Anopheles betina. Nyamuk tersebut menghisap darah yang dan bakteri sporozoit akan dibawa ke tubuh manusia melalui ludah nyamuk dan terbawa ke jaringan hati melalui pembuluh darah. Protozoa tersebut akan berkembang di dalam jaringan hati manusia dan juga dapat mengakibatkan hancurnya sel-sel darah. Selain itu penderita juga dapat menderita kekurangan darah dan kerusakan organ-organ tertentu terutama yang membutuhkan suplai darah seperti otak, ginjal, paru, hati dan jantung. Kelenjar hati penderita akan membengkak dan jika terlambat dapat menyebabkan kematian.
Malaria disebarkan melalui:
1.    Gigitan nyamuk betina Anopheles
2.    Transfusi darah yang terkontaminasi
3.    Suntikan dengan jarum yang sebelumnya telah digunakan oleh penderita malaria.
Terdapat 4 jenis malaria yaitu :
1.    Malaria tertiana yang disebabkan oleh bakteri Plasmodium vivax
2.    Malaria Aestivo-Autumnal disebut juga malaria tropica yang disebabkan plasmodium falciparum. Jenis malaria ini diketahui sebagai jenis malaria terberat yang sering menyebabkan kematian.
3.    Malaria Kuartana yang disebabkan oleh bakteri plasmodium malariae
4.    Malaria Pernisiosa yang disebabkan oleh Plasmodium Ovale.
Gejala & pola malaria
1.             Malaria Vivax & Ovale.
Suatu serangan bisa dimulai secara samar-samar dengan menggigil, diiukuti berkeringat dan demam yang hilang-timbul. Dalam 1 minggu, akan terbentuk pola yang khas dari serangan yang hilang timbul. Suatu periode sakita kepala atau rasa tidak enak badan akan diikuti oleh menggigil. Demam berlangsung selama 1-8 jam. Setelah demam reda, penderita merasakan sehat sampai terjadi menggigil berikutnya. Pada malaria vivax, serangan berikutnya cenderung terjadi setiap 48 jam.
2.             Malaria falciparum.
Suatu serangan bisa diawali dengan menggigil. Suhu tubuh naik secara bertahap kemudian tiba-tiba turun. Serangan bisa berlangsung selama 20-36 jam. Penderita tampak lebih sakit dibandingkan dengan malaria vivax dan sakit kepalanya hebat. Diantara serangan (dengan selang waktu 36-72 jam), penderita biasanya merasa tidak enak badan dan mengalami demam ringan.
3.             Malaria malariae.
Suatu serangan seringkali dimulai secara samar-samar.
Serangannya menyerupai malaria vivax dengan selang waktu antara dua serangan adalah 72 jam.
Etiologi
Plasmodium merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat empat spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan manusia dapat dilakukan oleh nyamuk betina dari tribus anopheles. Selain itu juga dapat ditularkan secara langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar serta ibu hamil kepada bayinya 6 (Harijanto, PN. 1999)
P. vivax menyebabkan malaria tertiana, P.malaria merupakan penyebab malaria kuartana. P.ovale menyebabkan malaria ovale, sedangkan P.falciparum menyebabkan malaria tropika. Spesies terkhir ini paling berbahaya karena malaria yang ditimbulkan dapat menjadi berat. Hal ini disebabkan dalam waktu singkat dapat menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di dalam organ-organ tubuh.
Manifestasi umum malaria adalah sebagai berikut:
1.       Masa inkubasi
Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit (terpendek untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya transfuse darah yang mengandung stadium aseksual)
2.      Keluhan-keluhan prodromal
Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa: malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin dipunggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P. falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas(12).
3.       Gejala-gejala umum
Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxym) secara berurutan:
Ø  Periode dingin
Dimulai dengan menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering seluruh badan gemetar, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur(4,11,`2).
Ø  Periode panas
Wajah penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tubuh tetap tinggi, dapat sampai 40oC atau lebih, penderita membuka selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah muntah dan dapat terjadi syok. Periode ini berlangsung lebih lama dari fase dingin dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat


Ø  Periode berkeringat
Penderita berkeringan mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, penderita merasa capek dan sering tertidur. Bial penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa. Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi malaria, dan lebih sering ditemukan pada daerah endemik. Kelainan pada limpa akan terjadi setelah 3 hari dari serangan akut dimana limpa akan membengkak, nyeri dan hiperemis.

Hampir semua kematian akibat malaria disebabkan oleh P. falciparum. Pada infeksi P. falciparum dapat meimbulkan malaria berat dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P. falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut (Safar, Rosdiana. 2003):
  1. Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS kurang dari 11.
  2. Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung parasit >10.000/μl.
  3. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada orang dewasa atau <12 ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, diserta kelainan kreatinin >3mg%.
  4. Edema paru.
  5. Hipoglikemia: gula darah <40 mg%.
  6. Gagal sirkulasi/syok: tekanan sistolik <70 mmHg diserta keringat dingin atau perbedaan temperature kulit-mukosa >1oC.
  7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
  8. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24jam setelah pendinginan pada hipertermis.
  9. Asidemia (Ph<7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat <15mmol/L).
  10. Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria akut bukan karena obat antimalaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
  11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada
pembuluh kapiler jaringan otak.
Pengobatan Malaria
Pengobatan
1). Macam-macam obat antimalaria
Obat antimalaria memiliki beberapa kategori dalam membasmi parasit dan indikasi penggunaannya. Beberapa obat memiliki lebih dari satu mekanisme anti malaria (Godman & Gilman, 2001)

  1. Chloroquin
Chloroquin telah menjadi obat pilihan untuk pengobatan dan kemoprofilaksis malaria sejak tahun 1943 (Katzung, 2004). Chloroquin sangat murah dan, sampai saat ini, sangat efektif yang menjadikannya sebagai obat pilihan antimalaria di sebagian besar belahan dunia. Bagaimanapun, resistensi Plasmodium falciparum terhadap chloroquin telah meluas baru-baru ini dari Asia ke Afrika, membuat obat ini tidak efektif untuk melawan strain Plasmodium yang lebih berbahaya di berbagai belahan dunia (Anonim, 2007). Mekanisme aksi dari chloroquin belum jelas. Dalam bentuk alkaline, obat terdapat di dalam vakuola makanan parasit dengan konsentrasi tinggi dan meningkatkan pH. Hal ini menyebabkan penggumpalan pigmen dengan cepat. Chloroquin menghambat kerja enzim parasit heme polymerase yang mengubah toksik heme menjadi non-toksik hemazoin, yang menghasilkan akumulasi toksik heme di dalam tubuh parasit. Hal inilah yang mungkin mengganggu biosintesis asam nukleat. Mekanisme lain diduga terbentuknya ikatan komplek (Anonim, 2007).
  1. Quinin dan Quinidin
Quinin mempunyai grup quinoline yang terhubung dengan rantai alkohol sekunder menjadi cincin quiniclidin. Quinidin lebih potensial sebagai antimalaria dan lebih toksik jika dibandingkan dengan quinin (Goodman & Gilman, 2001). Quinin bekerja dengan cepat, dan merupakan skizontizida yang sangat efektif terhadap empat spesies parasit malaria pada manusia. Obat tersebut merupakan gametosida terhadap P. vivax dan P. Ovale tetapi tidak pada P. falciparum. Obat ini tidak aktif pada parasit tahap hepatis. Mekanisme kerja dari quinin tidak diketahui (Goodman &Gilman, 2001)
  1. Sulfadoxin dengan Pyrimethamin
Sulfadoxin dengan pyrimethamin merupakan kombinasi obat untuk mengobati malaria. Kombinasi ini digunakan untuk mengobati malaria yang disebabkan oleh P. falciparum dalam kondisi telah resisten terhadap chloroquin dosis tinggi dan untuk pasien yang tidak merespon terhadap chloroquin; penambahan quinin dapat diberikan untuk 3 hari (Anonim, 2004).
  1.  Amodiaquin
Digunakan untuk mengobati malaria tidak terkomplikasi yang disebabkan oleh P. falciparum (Anonim, 2004). Toksisitas yang penting dari amodiaquin adalah agranulositosis, dan sehubungan dengan efek tersebut, maka penggunaannya dibatasi dalam tahun-tahun belakangan ini. Evaluasi ulang yang dilakukan baru-baru ini telah menunjukkan bahwa toksisitas hematologis yang serius dari amodiaquin menjadi jarang dan beberapa pihak yang berwenang saat ini menganjurkan penggunannya sebagai pengganti chloroquin pada wilayah-wilayah dengan tingkat resistensi yang tinggi tetapi dengan sumber daya yang terbatas (Katzung, 2004).
  1. Mefloquin
Mekanisme aksi yang pasti dari mefloquin tidak diketahui. Mefloquin dapat menjadi obat cadangan dalam mencegah dan mengobati malaria yang disebabkan karena adanya resistensi chloroquin dan obat-obat lain yang resisten terhadap P. Falciparum (Goodman & Gilman, 2001).
  1.  Primaquin
Obat ini digunakan untuk menghilangkan bentuk intrahepatic dari P. vivax dan P. ovale (anonim, 2004). Obat ini adalah satusatunya agen aktif yang tersedia terhadap tahap-tahap hipnozoit dorman dari P. vivax dan P. ovale. Primaquin juga merupakan gametosida terhadap empat spesies malaria manusia. Primaquin bekerja terhadap parasit tahap eritrositik, tetapi aktivitas ini terlalu lemah untuk memainkan peran penting. Mekanisme kerja antimalaria tidak diketahui (Katzung, 2004).