The Pharmacist Room

COMBUSTIO

Definisi
Luka bakar merupakan bentuk spesifik dari trauma (Rakel&Bope, 2006). Luka bakar secara sederhana dipahami sebagai trauma panas pada kulit. Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering terjadi yang memperlihatkan morbiditas dan derajat yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain (Sjamsuhidajat & Jong, 2004).

Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya luka bakar, yaitu :
   1. Api
   2. Cairan panas
   3. Bahan Kimia
   4. Listrik
   5. Kontak dengan benda panas
   6. Suhu sangat dingin (forst bite)

Patofisiologi
Patofisiologi dari luka bakar dapat dipahami dengan melihat respon tubuh terhadap luka yang terjadi baik secara lokal ataupun sistemik.

Respon secara lokal
Jackson (1947) telah mendeskripsikan 3 zona dari luka bakar, yaitu :
1.Zona Koagulasi
Luka bakar yang sudah mencapai zona ini menandakan sudah terjadi kerusakan paling parah. Pada kondisi ini, jaringan tubuh rusak secara irreversibel akibat dari koagulasi protein.

2. Zona Stasis
Luka bakar yang mencapai zona ini ditandai dengan menurunnya perfusi jaringan. Jaringan pada zona ini masih dapat membelah untuk regenerasi. Oleh karena itu, terapi resusitasi yang diberikan pada pasien luka bakar ditujukan untuk meningkatkan perfusi jaringan dan mencegah terjadinya kerusakan irreversibel.

3. Zona Hiperaremia
Zona ini merupakan zona paling luar dari kulit yang bila terkena luka bakar juga dapat meningkatkan perfusi jaringan.

Respon secara sistemik
Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya pada area luka bakar memiliki efek secara sistemik. Hal ini terjadi pada luka bakar dengan luas 30% dari luas permukaan tubuh total. Efek sistemik yang terjadi adalah :

1.                      Perubahan sistem kardiovaskular, yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat menyebabkan lolosnya cairan dan protein intravaskuler menuju kompartemen interstitial. Selain itu, juga dapat terjadi vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan splanchnic, penurunan kontraktilitas miokard, dan memungkinkan untuk terjadinya pelepasan tumour necrosis factor. Bila terjadi pelepasan tumour necrosis factor yang disertai dengan kehilangan cairan dari daerah luka dapat mengakibatkan hipotensi sistemik dan end organ hypoperfusion.
2.                      Perubahan sistem pernafasan. Adanya mediator inflamasi dapat menyebabkan bronkokonstriksi dan beberapa sindroma distress pernafasan.
3.                      Perubahan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan laju metabolisme basal hingga 3 kali laju normal. Bila hal ini terjadi disertai dengan hipoperfusi splanchnic maka diperlukan nutrisi enteral tambahan untuk menurunkan katabolisme dan menjaga integritas usus.
4.                      Perubahan sistem imun yang ditandai dengan terjadinya down regulation non spesifik yang dapat memberikan efek terhadap sel-sel terkait dan jalur humoral.

Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari luka bakar tergantung dari kedalaman dan luas luka bakar. Kedalaman luka bakar dinyatakan dalam derajat (grade) sedangkan luas luka bakar dinyatakan dalam persentase.
Kedalaman Luka Bakar
Terdapat 4 macam derajat untuk menyatakan kedalaman luka bakar, yaitu:
1.            Derajat satu
Biasanya disebut superficial burn atau epidermal burn. Luka bakar ini hanya mengenai lapisan epidermis dan biasanya sembuh dalam 5-7 hari. Luka berupa eritema dengan keluhan rasa nyeri dan hipersensitivitas setempat. Misalnya : luka tersengat matahari
2.            Derajat dua
Biasa disebut partial thickness burn. Luka ini mencapai lapisan dermis, tetapi masih terdapat eleman epitel sehat yang masih tersisa. Luka ini dapat sembuh dengan sendirinya dalam 2-3 minggu. Luka bakar derajat dua ini dibagi menjadi dua macam, yaitu superficial dermal (luka yang mengenai lapisan dermis bagian atas, biasanya tampak melepuh) dan deep dermal (luka yang mengenai hingga lapisan dermal bagian bawah). Gejala yang timbul biasanya berupa nyeri, gelembung atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh karena permeabilitas dinding pembuluh yang meningkat.

3.            Derajat tiga
Biasanya disebut sebagai full thickness burn. luka ini mengenai hingga seluruh kedalaman kulit dan mungkin sub kutis atau organ yang lebih dalam. Pada luka derajat ini tidak ada elemen epitel hidup yang tersisa yang memungkinkan penyembuhan luka dari dasar luka. Penyembuhan dari luka bakar derajat ini dilakukan dengan pencangkokan kulit (skin grafting). Gejalanya berupa kulit tampak pucat berwarna abu-abu atau hitam dengan permukaan yang lebih rendah dari jaringan sekeliling yang masih sehat, tidak terdapat bula, dan tidak terasa nyeri.

Estimasi Kedalaman Luka Bakar
Memperkirakan kedalaman luka bakar merupakan suatu hal yang sulit. Keterangan dari pasien dapat memberikan bantuan dan petunjuk untuk menentukan kedalaman luka seperti yang diharapkan.
Adapun faktor–faktor yang dapat diperhatikan untuk memperkirakan kedalaman luka bakar adalah
   1. Pendarahan
   2. Sensasi
   3. Penampakan dan timbulnya pemutihan
Adapun tehnik yang dapat digunakan untuk memperkirakan kedalaman luka bakar adalah
   1. Tusukan jarum
   2. Klinis
   3. Pengecatan dengan “evans blue”.
   4. Termografi inframerah

Luas Luka Bakar
Penentuan luas luka bakar harus dilakukan seobyektif mungkin. Pada saat menghitung luas luka bakar tidak mengikutsertakan eritema.

Ada tiga metode yang dapat digunakan untuk menentukan luas luka bakar, yaitu :
1.      Palmar surface
Dilakukan dengan menghitung area telapak tangan yang terbakar. Area permukaan telapak tangan pasien (termasuk jari-jari) memiliki luas secara kasar sebesar 0,8% dari total luas permukaan tubuh. Permukaan telapak tangan relatif dapat digunakan untuk mengestimasi luas luka bakar ringan (<15% dari total luas tubuh) atau luka bakar yang sangat luas (>85%, bila kulit yang tidak terbakar juga tidak dihitung). Metode ini kurang akurat untuk luas luka bakar sedang.
2.      Wallace rule of nine
Metode ini merupakan metode yang baik dan cepat dalam mengestimasikan luka bakar sedang dan luas pada pasien dewasa. Tubuh pasien dibagi menjadi area 9%. Luas area luka bakar diperoleh dengan cara menjumlah keseluruhan persentase area tubuh yang terbakar. Tetapi metode ini kurang akurat bila dilakukan pada anak-anak.

Lund and Browder’s chart
Jika dapat menggunakan dengan benar, metode ini merupakan metode yang paling akurat. Metode ini menkompensasi variasi bentuk tubuh pada berbagai usia. Metode ini memberikan hasil yang akurat untuk kasus luka bakar pada anak-anak.

 Jenis Luka Bakar
American Burn Association mengklasifikasikan luka bakar menjadi 3 macam, yaitu
1.            Luka Bakar Berat (Major)
Yang termasuk luka bakar tingkat ini adalah luka bakar partial- thickness dengan luas lebih dari 25% pada pasien yang berusia 10-50 tahun; luka bakar partial- thickness dengan luas lebih dari 20% pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun dan dewasa yang berusia diatas 50 tahun; luka bakar full thickness dengan luas lebih dari 10%; luka bakar yang mengenai tangan, wajah, kaki, dan perineum; luka bakar yang sampai mengenai persendian; luka bakar yang mengenai circumferential dari ekstremitas; luka bakar yang memiliki komplikasi pada saluran pernafasan; luka bakar yang terjadi pada pasien anak dan lansia; dan luka bakar yang disertai dengan fraktur atau trauma lain.

2.            Luka Bakar Moderate
Yang termasuk luka bakar tingkat ini adalah luka bakar partial-thickness dengan luas kurang dari 15% pada pasien dengan usia 10-50 tahun; luka bakar partial- thickness dengan luas 10-20% pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun dan dewasa yang berusia diatas 50 tahun; luka bakar full thickness dengan luas kurang dari 10%; dan luka bakar partial-thickness yang tidak mengenai tangan, wajah, kaki, perineum, ataupun circumferential dari ekstremitas.

3.            Luka Bakar Ringan (Minor)
Luka bakar yang termasuk dalam tingkatan ini adalah luka bakar partial-thickness dengan luas kurang dari 15% pada pasien dengan usia 10-50 tahun; luka bakar partial- thickness dengan luas kurang dari 10% pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun dan dewasa yang berusia diatas 50 tahun; luka bakar full thickness dengan luas kurang dari 2% tanpa disertai dengan luka yang lainnya
Terapi
1.      Manajemen pernafasan (airway management)
Pada pasien luka bakar, hal terpenting yang harus diperiksa adalah terjadinya gangguan di bagian pernafasan. Bila terjadi gangguan hingga menimbulkan kesulitan bernafas pada pasien, maka tindakan intubasi dapat dilakukan. intubasi dilakukan dengan segera pada pasien yang tidak sadar dengan riwayat terkena paparan asap ataupun api dalam ruangan tertutup ataupun pada pasien dengan resiko tinggi terkena edema pada saluran pernafasan. Beberapa pasien memerlukan PEEP (positif end-expiratory pressure) untuk menjaga agar jalan nafas bagian distal tetap terbuka. Bila sekresi ataupun partikel inhalasi pada saluran nafas pasien terlalu berlebihan yang dapat mengakibatkan terjadinya bronkospasma, maka pemberian bronkodilator sangat efektif untuk mengatasi hal tersebut.

2.      Resusitasi cairan (fluid resuscitation)
Suatu konsep yang harus dipegang dalam shock luka bakar adalah terjadinya pergeseran cairan besar-besaran walaupun sisa cairan tubuh total tidak berubah. Oleh karena itu, resusitasi cairan baik yang berupa koloid, protein ataupun kristaloid harus segera diberikan kepada pasien luka bakar. Terapi replacement cairan ini dimodifikasi berdasarkan respon klinik pasien. Resusitasi yang berlebihan dapat menimbulkan respon udema. Volume cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi pada pasien tergantung dari keparahan luka, status psikologis, usia, dan komplikasi lain. Perhitungan kebutuhan cairan dihitung dari lama waktu pasien dari kejadian terkena luka bakar bukan dari waktu pertama kali pasien datang ke UGD. Untuk penanganan luka bakar yang luasnya lebih dari 15 %, kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama biasanya menggunakan rumus Parkland, yaitu: 4 mL RL(Ringer Lactat) x kg BB x %
                                                                                            Luas Permukaan Tubuh

Setengah dari hasil perhitungan diberikan dalam waktu 8 jam pertama dan sisanya diberikan selama 16 jam berikutnya. Pada banyak instansi,rumus ini memberikan output urine yang ideal.
Selain rumus diatas, ada juga rumus modifikasi Brooke yang merekomendasikan bahwa resusitasi untuk shock luka bakar sebaiknya dimulai dengan pemberian 2 cc/kg BB/% pada 24 jam pertama. Penggunaan rumus ini menghasilkan edema yang kecil. Rumus ini sangat sesuai untuk kondisi pasien yang disertai problem seperti penyakit jantung, insufisiensi ginjal, atau pasien yang membutuhkan dialisis. Pada beberapa burn center, seringkali menggunakan larutan salin hipertonik  (RL+50 mEq NaHCO3) dalam 8 jam pertama menggunakan rumus Parkland untuk pasien luka bakar dengan luas lebih dari 40%, pasien pediatrik, dan pasien yang memiliki komplikasi pada saluran pernafasan.
Plasma protein sangat penting peranannya dalam sirkulasi dalam menjaga tekanan onkotik untuk mengimbangi tekanan hidrostatik kapiler. Akan tetapi batasan jumlah optimal dari protein ataupun waktu infus yang dibutuhkan belum jelas. Biasanya bentuk fresh frozen plasma (0,5-1 cc/kgBB/% luka bakar) diberikan pada 24 jam pertama, dimana pada 8-10 jam pertama akan menghasilkan respon edema kecil dan penjagaan yang lebih optimal pada stabilitas hemodinamik pasien tertentu. Terapi ini sesui untuk pasien lansia, pasien dengan luka bakar yang disertai gangguan pernafasan,dan pasien dengan luka bakar yang luasnya lebih dari 50%.
Untuk pasien anak-anak, resusitasi yang dibutuhkan lebih tinggi dari pada pasien dewasa dengan luka yang sama. Rata-rata kebutuhan cairan pada anak-anak adalah 5.8 cc/kg/% luka bakar. Pemberian salin hipertonik dan albumin menjadi terapi standar pada pasien anak-anak. Output urine pada anak dijaga 0,5-1 ml/kg/jam pada pasien dengan berat badan kurang dari 30 kg. Selain itu, pasien dengan gangguan pernafasan membutuhkan cairan kristaloid rata-rata 5.7 cc/kg/% luka bakar.
3.      Pengatasan nyeri (pain management)
Nyeri dapat menjadi parah, terutama pada pasien dengan luka bakar partial-thickness. Biasanya, obat-obatan untuk mengatasi rasa nyeri diberikan secara intravena. Obat-obat yang diberikan biasanya berupa golongan narkotika. Morfin digunakan dengan dosis 0.1 mg/kg pada pasien dewasa atau 0.05 mg/kg pada lansia. Selain itu, juga dapat digunakan fentanil dengan dosis 50-100 mcg IV selama 1-3 menit. Penggunaan fentanil dengan durasi yang pendek (45-90 menit) menimbulkan efek hipotensi yang ringan (sebagai efek vasodilatasi dari golongan narkotik) karena pemberian yang cepat dapat dijadikan pilihan terapi bagi pasien yang intoleransi terhadap morfin. Bila pasien sangat cemas, tidak hipoksia ataupun hipotensi, maka digunakan lorazepam IV dalam dosis kecil. Sedangkan untuk pasien yang stabil dengan nyeri yang parah yang akan dilakukan tindakan seperti hand escharotomies, major debridement atau fracture reductions membutuhkan obat dengan tingkat sedasi sedang sampai dalam.

   4. Pengatasan komplikasi yang potensial ataupun aktual dari luka bakar (Management of Associated Injuries)

Komplikasi dari luka bakar tergantung dari kronologis peristiwa luka bakar yang dialami. Salah satu contoh adalah pasien luka bakar yang pada saat peristiwa disertai dengan paparan CO, maka terapi standarnya adalah dengan cara memberikan oksigen 100% selama 6-12 jam. Terapi oksigen hiperbarik diperlukan ketika pasien yang terpapar CO kondisi level carboxyhemoglobinnya lebih dari  25% disertai status depresi mental. Pasien seperti ini harus stabil secara hemodinamik dahulu sebelum memperoleh resusitasi cairan. Pasien luka bakar dengan luas lebih dari 25% harus dipasang NGT (nasogastric tube) untuk mencegah terjadinya vasokonstriksi splanik.

   5. Perawatan luka (wound care)

Pasien dengan luka besar yang akan dibawa ke burn center, lukanya sebaiknya ditutup dengan pembalut atau kasa steril untuk meminimalkan paparan organisme multiresisten diluar rumah sakit. Apabila masih memungkinkan sebaiknya sebelum ditutup, luka dicuci dengan larutan salin steril dan dibersihkan dengan sabun yang lembut. Pada kasus luka bakar, sebagian besar antibiotik topikal yang digunakan adalah silver sulfadiazin (SSD) yang merupakan antibiotik broadspectrum yang non toksik. Tetapi, penggunaan SSD ini dapat menimbulkan alergi dengan kejadian sebesar 5-7%. Antibiotik ini sebaiknya tidak digunakan pada ibu hamil ataupun ibu menyusui serta tidak digunakan pada wajah karena dapat meninggalkan noda. Sebaiknya SSD tidak diberikan pada pasien yang akan dibawa ke burn center, karena dapat mempersulit assessment kondisi luka, selain itu juga SSD akan tercuci sebagai upaya pembersihan luka. Salah satu contoh pembalut yang digunakan untuk perawatan luka adalah duoderm. Duoderm merupakan pembalut steril fleksibel yang memiliki dua lapisan yaitu lapisan terluar berupa polyurethane foam dan lapisan perekat bagian dalam yang berupa hydrocolloid polyurethane complex. Duoderm ini dapat menyembuhkan luka lebih cepat dengan memperbaiki penampilan luka, dan dibutuhkan dalam jumlah sedikit serta tidak begitu mahal. Pemilihan jenis pembalut sebaiknya didasarkan pada beberapa pertimbangan sesuai dengan kondisi luka pasien.


DAFTAR PUSTAKA


Hettiaratchy, S., et.al., 2004. ABC of Burn. An electronic publishing media. London : BMJ 329:504–6

Kurt Z. Long, Teresa Estrada-Garcia, et all. The Effect of Vitamin A Supplementation on the Intestinal Immune Response in Mexican Children Is Modified by Pathogen Infections and Diarrhea. Department of Nutrition, Harvard School of Public Health, Boston MA. J. Nutr. 2006.136: 1365–1370.

Lampiris, H.W and Maddix, D.S., 2001. Clinical Use of Antimicrobial Agent. In: B. Katzung. Basic & Clinical Pharmacology, Ed. 7th, San Fransisco: Appleton & Lange

McEvoy, G.K., 2004. AHFS Drug Information, USA: American Soc Health System

Mehta, D.K. (Ed.), 2008. British National Formulary, Edisi 56, London: BMJ Publishing Group Ltd.

MIMS Indonesia, 2009. MIMS Indonesia, edisi 8 Petunjuk Konsultasi. Jakarta : Info master.

Sazawal S dkk. Zinc supplementation in young children with acute diarrhea in India .N Enggl J Med 1995;333:839-44

SOB (Short of Breathness) atau dyspnea dan Atrial Fibrillation

SOB (Short of Breathness)
atau dyspnea adalah suatu kondisi dimana  paru terasa tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup, penyebabnya dapat karena asma, tekanan darah paru yang tinggi, stress, cairan di paru, dan gangguan jantung (Chest, 2006)
Atrial Fibrillation ialah takiaritmia supraventricular yang bercirikan tidak terkoordinasinya aktivasi atrial sebagai akibat gangguan fungsi mekanik dari atrial. Frekuensi atrium biasanya sangatlah cepat (400 sampai 600 beat/menit), Atrial gagal berkontraksi dan supraventrikular bergerak merangsang konduksi atrioventrikuler (AV) menghasilkan aktivasi ireguler dari ventrikel dengan frekuensi 120-180 beat/menit (Schwinghammer, 2009). Pada ECG, AF dideskripsikan sebagai penggantian secara konsisten gelombang P oleh osilasi yang cepat atau gelombang fibrilasi yang bervariasi baik ukuran, bentuk dan waktu yang berkaitan dengan Rapid Ventricular Respon (RVR) yang irreguler dan frekuen ketika AV teraktivasi (Fuster et al, 2001; Schwinghammer, 2009)

Etiologi dan patofisiologi
Klasifikasi AF berdasarkan durasi timbulnya dan gangguan yang ditimbulkannya: (Bakhshi et al, 2006; Fuster et al, 2001)
  • Paroxysmal AF
AF dikategorikan paroxysmal bila episodenya berhenti dengan sendirinya dalam waktu kurang dari 7 hari dan biasanya kurang dari 24 jam.
  • Persistent AF
AF dikategorikan persisten bila gagal berhenti dengan sendirinya dalam waktu 7 hari. Episodenya dapat berhenti dengan spontan atau dapat berhenti dengan kardioversion.
  • Permanent AF
AF dikategorikan permanen bila aritmia yang terjadi terakhir lebih dari 1 tahun dan kardioversion tidak berhasil.

Faktor resiko terjadinya AF:
Hipertensi, gagal jantung, IMA, gangguan katup jantung seperti mitral stenosis, mitral regurgitasi, post operasi jantung, chronic lung disease, emphysema, congestive heart dissease
AF juga dapat diiinduksi beberapa keadaan seperti:
  • Alcohol
  • Hipertiroid
AF terjadi pada 13% dari keseluruhan orang dengan overaktif kelenjar tiroid.
  • Obat-obatan
Obat-obatan yang menstimulasi jantung berkontribusi dalam perkembangan dari atrial fibrillation, termasuk didalamnya teofilin (yang digunakan untuk terapi asma atau chronic lung disease) dan juga kafein.

Gejala Klinis
            AF dapat simtomatik atau asimtomatik. Gejalanya sangat bervariasi tergantung dari kecepatan dari ventricular, status fungsional yang mendasari,  durasi AF, dan persepsi pasien secara individual. Kebanyakan pasien AF mengeluhkan palpitasi, nyeri dada, dyspnea, fatigue, sesak, short of breathness (Fuster et al, 2001; Schwinghammer, 2009)

Terapi
           Terapi AF diberikan dengan melihat jenis AF yang dialami pasien. (Bakhshi et al , 2006; Fuster et al, 2001; Khoo dan Lip, 2009)
1.      Paroxysmal AF
Tujuan terapi untuk paroxysmal AF :
a.       mengontrol ritme
Pasien dengan atau tanpa gangguan jantung diterapi dengan beta bloker. Pasien dengan paroxysmal AF tanpa gangguan jantung yang gagal dengan beta bloker, dapat diberikan flecanide, propafenone, solatol atau amiodaron. Bila pasien juga mempunyai gangguan fungsi ventricular atau coronary artery disease dan gagal dengan beta bloker, diberikan amiodaron.
b.      Mencegah terjadinya tromboemboli
Diberikan antitrombus
2.      Persisten AF
Tujuan terapi untuk persisten AF:
a.       Mengontrol kecepatan,ditujukan untuk pasien dengan kondisi:
Umur >65th, dengan coronary artery disease, kontraindikasi terhadap antiaritmia, tidak dapat dilakukan kardiokonversi, tanpa congestive heart failure.
b.      Mengontrol ritme, ditujukan untuk pasien dengan kondisi:
Pasien muda, simtomatik, pertama kali AF dengan AF tunggal, pasien dengan congestive heart failure. Pada pasien persisten AF yang telah berhasil diterapi dengan kardioversi, dan tidak memiliki resiko kekambuhan tidak memerlukan antiaritmia untuk menjaga ritme sinusnya. Pasien persisten AF yang membutuhkan antiaritmia dan memiliki gangguan jantung struktural diterapi dengan beta bloker untuk terapi awal, bila kontraindikasi atau tidak efektif dengan beta bloker diberikan amiodaron. Untuk pasien tanpa gangguan jantung struktural diberikan beta bloker untuk terapi awal dan bila tidak efektif diberikan flecaninide/sotalol, bila masih belum berhasil baru diberikan amiodaron. Antitrombotik yang diberikan walfarin atau heparin (Bakhshi et al, 2006).
3.      Permanen AF
Tujuan terapi untuk permanen AF:
a.        mengontrol rate
Terapi yang digunakan: beta bloker atau Ca antagonis monoterapi sebagai terapi awal. Digoksin diberikan sebagai monoterapi pada pasien dengan AF yang dominan untuk menetap. Bila terapi yang diberikan masih adekuat maka untuk mengontrol heart rate pada aktivitas normal diberikan beta bloker atau Ca antagonis bersama dengan digoksin, sedangkan untuk mengontrol baik pada aktivitas normal ataupun saat latihan ca antagonis dengan digoksin.
b.      Untuk pencegahan tromboemboli dan stroke
Walfarin dengan dosis yang disesuaikan (target INR 2.0-3.0), bila walfarin tidak dapat diberikan maka diberikan aspirin 75-300mg/hari

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, P.O., Knoben, J.E., and  Troutman, W.G., 2002. Handbook of Clinical Drug Data, 10th Ed, New York:  The McGraw-Hill Co., Inc.,pp300-303;718-719;727-729
Bakhshi et al., 2007.The Management of Atrial Fibrillation.National Institute for Health and clinical Excellence.London: NICE clinical
Carbajo, E.V. dan  Deewania, P.C., 2002  Congestive Heart Faiulure. In: Crawford, M.H. Current Diagnosis & Treatment in Cardiology 2nd Ed, Arizona: McGraw-Hill/Appleton & Lange.pp 356-407.
Fuster et al., 2001. ACC/AHA/ESC guidelines for Management of Patients With Atrial Firillation:Excecutive Summary. Circulation.104:2118-2150
Jessup et al.,2009. Focused Update:ACCF/AHA Guidelines for Diagnosis and Management of Heart Failure in Aduls. Circulation. 119:1977-2016
Khoo,C.W. dan Lip, G.Y., 2009. Acute Managemnt of Atrial Fibrillation. CHEST.135:849-859.
Martin, J., 2009. British National Formulary 58. London: Royal Pharmaceutical Society of Great Britain.
Pagana, K.D., Pagana, T.J., 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Test, 2nd edition, New York: Mosby, Inc.
Schwinghammer,T.(Eds) ,2009. Arrhythmias, In: Wells, B.G.,Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L.,Cecily, V.D. Pharmacotherapy Handbook 7th Ed, New York: Mc Graw Hill Companies, Inc., pp.60-73.
Struthers et al, 2007. Management of Chronic Heart Failure. A national clinical guideline.SIGN(Scottish Intercollegiate Guidelines Network), Edinburgh
Sweetman, S.(Eds)., 2007. Martindale : The Complete Drug Reference, 35th Edition, New York : The Pharmaceutical Press.
Tatro, D.S., 2003. A to Z Drug Facts, New York  :  Facts and Comparison

SIROSIS HEPATIK

Sirosis adalah proses difus yang ditandai oleh fibrosis dan perubahan struktur hepar yang normal menjadi nodula- nodula yang abnormal. Hasil akhirnya adalah destruksi hepatosit dan digantikan oleh jaringan fibrin serta gangguan atau kerusakan vaskular (Dipiro et al, 2006). Progevisitas sirosis akan mengarah pada kondisi hipertensi portal yang bertanggung jawab terhadap banyak komplikasi dari perkembangan penyakit sirosis ini. Komplikasi ini meliputi spontaneous bacterial peritonitis (SBP), hepatic encephalophaty dan pecahnya varises esophagus yang mengakibatkan perdarahan (hematemesis dan atau melena) (Sease et al, 2008).

Patofisiologi
Pada kondisi normal, hati merupakan sistem filtrasi darah yang menerima darah yang berasal dari vena mesenterika, lambung, limfe, dan pankreas masuk melalui arteri hepatika dan vena porta. Darah masuk ke hati melalui triad porta yang  terdiri dari cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu. Kemudian masuk ke dalam ruang sinusoid lobul hati. Darah yang sudah difilter masuk ke dalam vena sentral kemudian masuk ke vena hepatik yang lebih besar menuju ke vena cava inferior (Sease et al, 2008).
Pada sirosis, adanya jaringan fibrosis dalam sinusoid mengganggu aliran darah normal menuju lobul hati menyebabkan hipertensi portal yang dapat berkembang menjadi varises dan asites. Berkurangnya sel hepatosit normal pada keadaan sirosis menyebabkan berkurangnya fungsi metabolik dan sintetik hati. Hal tersebut dapat memicu terjadinya ensefalopati hepatik dan koagulopati (Sease et al, 2008).

Etiologi
Etiologi sirosis antara lain sebagai berikut (Sease et al, 2008):
  • Konsumsi alkohol jangka panjang
  • Hepatitis kronis yang disebabkan oleh virus (tipe B, C, dan D)
  • Penyakit liver metabolik (hemokromatosis, wilson disease, nonalcoholic steatohepatitis  atau “fatty liver”)
  • Penyakit liver kolestasis
  • Obat-obatan dan bahan alam (Isoniazid, metildopa, methotrexate, estrogen, anabolik steroid, Jamaican bush tea)
Salah satu penyebab terjadinya sirosis hati adalah infeksi kronik virus hepatitis B dan Hepatitis C. Transmisi virus Hepatitis B dan C dapat melalui rute parenteral (transfusi darah, injeksi dari jarum suntik yang terkontaminasi), dan kontak personal (hubungan seksual, kontak tenaga kesehatan dengan pasiennya, hubungan vertikal ibu dengan bayi yang dikandungnya). Hepatitis B merupakan penyebab terbesar berkembangnya penyakit sirosis di dunia secara umum. (Dipiro, 2008; Goldman, 2007). Hepatitis B merupakan virus DNA dengan masa inkubasi dalam tubuh 30-150 hari. Diagnosa hepatitis B melalui HBsAg positif dalam serum pasien. Bila HBsAg dinyatakan positif maka pasien termasuk dalam kelompok hepatitis virus akut atau hepatitis virus kronik bila dinyatakan HBeAg positif (Goldman, 2007). Bila tidak ditangani dengan baik pasien hepatitis B virus akut akan mengarah pada keadaan kronik dan perjalanan penyakit jangka panjang akan berkembang menjadi sirosis dan kanker hati (PDT, 2008).
Manifestasi klinis dari sirosis bersumber dari dua kegagalan fundamental yaitu:
  1. Kegagalan parenkim hati yang ditandai dengan produksi protein yang rendah, gangguan mekanisme pembekuan darah, gangguan keseimbangan hormonal.
  2. Hipertensi portal yang umumnya timbul bila tekanan sistem portal > 10 mmHg (PDT, 2008).
  3. Gambaran klinis sirosis hati dibagi dalam dua stadium:
  4. Sirosis kompesata dengan gejala klinis yang belum tampak dan diagnosis ditegakkan pada saat mengevaluasi faal hati pasien hepatitis kronik
  5. Sirosis dekompesata dengan gejala klinis yang jelas (asites, jaundice, encephalophaty, perdarahan esofagus) (PDT, 2008).
1.4              Komplikasi sirosis
a.      Variceas Esophageal Hemorrhage (Perdarahan varises esofagus)
Komplikasi dari hipertensi portal yang paling penting adalah perkembangan dari varises atau rute alternative aliran darah dari portal ke sirkulasi sistemik, melewati liver. Varises menekan sistem vena portal dan mengembalikandarah ke sirkulasi sistemik. Pasien dengan sirosis memiliki resiko untuk terjadi perdarahan varises ketika tekanan vena portal 12 mmHg lebih besar dari tekanan vena cava. Perdarahan dari varises terjadi pada 25% hingga 40% pasien dengan sirosis, dan setiap episode perdarahan membawa resiko kematian antara 25% hingga 30%. Perdarahan ulang biasanya mengikuti dari setiap kejadian perdarahan awal, terutama 72 jam dari perdarahan awal (Sease et al, 2008).

b.       Hepatic Encephalophaty
Patofisiologi dari penyakit ini masih belum jelas sampai sekarang, namun ada beberapa teori yang mengatakan bahwa mekanisme perkembangan penyakit sirosis menjadi hepatic encephalopathy adalah :
  1. Metabolisme produk nitrogen di saluran pencernaan menjadi produk metabolit yang toksik bagi SSP. Degradasi urea dan protein ini akan menjadi produk ammonia yang melalui aliran darah akan menembus sawar darah otak dan mengakibatkan perubahan neuropsikiatrik di SSP.
  2. Gamma-aminobutyric-acid (GABA) yang bekerja sebagai inhibitor neurotransmitter yang diproduksi juga di dalam saluran pencernaan terlihat mengalami peningkatan  jumlah dalam darah pada pasien dengan sirosis hati.
  3. Meningkatnya asam amino aromatik yang menembus sawar darah otak, hal ini mengakibatkan meningkatnya sintesis false neurotransmitter  (seperti octopamine dan phenylephrine, dan menurunnya produksi dopamine dan norepinephrine) (Goldman, 2007).
Faktor yang mempengaruhi timbulnya HE adalah:
a.       Faktor endogen yaitu memburuknya fungsi hati misalnya pada hepatitis fulminan akut
b.      Faktor eksogen, antara lain :
  • Protein berlebih dalam usus
  • Perdarahan massif/ syok hipovolemik
  • Sindrom alkalosis hipovolemik akibat diuretik atau parasentesis yang cepat
  • Pengaruh obat-obatan (penenang, anestetik/narkotika)
  • Infeksi yang berat
  • Konstipasi
Pasien dengan hepatic encephalopathy menunjukkan adanya perubahan mental dan status motorik dimana derajat keparahannya meliputi:
  1. Stage I
Euphoria /depresi, kebingungan ringan dan berfluktuasi, gangguan pembicaraan, gangguan ritme tidur.
  1. Stage II
Lambat beraksi, mengantuk, disorientasi, amnesia, gangguan kepribadian, asteriksis, reflex hipoaktif, ataksia
  1. Stage III
Tidur yang dalam, sangat pusing, reflex hiperaktif, flapping tremor.
  1. Stage IV
        Tidak bereaksi pada rangsangan apapun, reflex okuler yang lemah, kekauan otot, kejang menyeluruh.
c.      Hipertensi Portal
Hipertensi portal paling sering disebabkan oleh peningkatan resistensi aliran darah portal. Karena sistem vena porta tidak memiliki katup, resistensi di setiap ketinggian antara sisi kanan jantung dan pembuluh splanknikus menyebabkan tekanan yang meninggi disalurkan secara retrograd. Peningkatan resistensi dapat terjadi pada presinusoid, sinusoidal dan postsinusoid (Sudoyo, 2006). Peningkatan tekanan ini menyebabkan aliran darah dikembalikan ke vena portal. Darah dari vena portal tidak dapat masuk kedalam hepar karena terjadi pengerasan sehingga aliran darah tidak terpenetrasi menyebabkan tekanan portal meningkat, kompensasinya terbentuk sistem kolateral menembus aliran lain yang dapat ditembus. Karena sifat vena (termasuk vena porta) yang berbentuk katup dan jarangnya katup maka kenaikan tekanan akan diteruskan kembali ke vascular bed sehingga terjadi shunting portal ke sistemik (McPhee, 1995).
d.       Asites
Asites adalah terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan dalam rongga peritonium. Akumulasi cairan mengandung protein tersebut terjadi karena adanya gangguan pada struktur hepar dan aliran darah yang disebabkan oleh inflamasi, nekrosis fibrosis atau obstruksi menyebabkan perubahan hemodinamis yang menyebabkan peningkatan tekanan limfatik dalam sinusoid hepar, mengakibatkan transudasi yang berlebihan cairan yang kaya protein ke dalam rongga peritonium. Peningkatan tekanan dalam sinusoid menyebabkan peningkatan volume aliran ke pembuluh limpatik dan akhirnya melebihi kapasitas drainage sehingga tejadi overflow cairan limpatik kedalam rongga peritonium (McPhee, 1995). Ciran asites merupakan cairan plasma yang mengandung protein sehingga baik untuk media pertumbuhan bakteri patogen, diantaranya enterobacteriaceae (E. Coli), bakteri gram negatif, kelompok enterococcus (Sease et al, 2008). 

1.4              Gejala Klinik dan Kelainan Laboratorium
Gejala klinik dan kelainan yang ditemukan pada data laboratorium sebagaimana dalam tabel 2.

Tabel 2. Gejala klinik dan Data Laboratorium Pasien Sirosis Hati (Dipiro et al, 2006)
Sign and symptomps (percent patients)
            Fatigue (65%), pruritus (55%)
            Hyperpigmentation (25%), jaundice (10%)
            Hepatomegaly (25%), splenomegaly (15%)
            Palmar erythema, spider angiomegaly, gynecomastia
            Ascites, edema, pleural effusion, and respiratory difficulties
            Malaise, anorexia, and weight loaa
            Encephalopathy
Laboratory test
            Hypoalbuminemia
            Elevated prothrombin time
            Thrombocytopenia
            Elevated alkaline phosphatase
            Elevated aspartase transaminase (AST), alanine transaminase (ALT),
                        And γ-glutamyl transpeptidase (GGT)

1           Penatalaksanaan Terapi (Sease et al, 2008)
1. Hipertensi Portal dan perdarahan varises
a)      Profilaksis primer
Pada pasien diberikan β-blocker seperti propanolol (10 mg 3 kali sehari) dan nadolol (20 mg sehari sekali). Golongan nitrat diberikan apabila pasien kontraindikasi atau intoleran terhadap β-blocker.
b)      Profilaksis Sekunder
Pada pasien diberikan β-blocker seperti propanolol (20 mg 3 kali sehari) dan nadolol (20-40 mg sehari sekali).
Untuk perdarahan varises ditangani dengan pemberian octreotid. Octreotid diberikan IV bolus 50-100 mcg dan diikuti dengan infus kontinyu 25 mcg/jam dan maksimum pemberian 50 mcg/jam. Vasopressin merupakan first line therapy untuk mengatasi perdarahan varises. Untk pengontrol perdarahan maka pada pasien dilakukan prosedur endoskopi (Dipiro, 2006; Dib et. al., 2006).
2.      Asites
a)      Terapi non farmakologi.
Semua pasien dengan asites harus mengurangi asupan Na.
b)      Terapi farmakologi.
Pemberian diuretik, diuretik yang dipilih yaitu spironolakton (5-20 mg per hari, maksimum 400 mg) atau amilorid (5-10 mg per har) serta furosemid (20-40 mg per hari, maksimum 160 mg per hari). Penanganan akhir pasien asites adalah parasintesis (Gines, et al., 2004).
3.      Hepatik Ensefalopati
a)      Terapi non farmakologi
Pasien harus membatasi asupan protein.
b)      Terapi farmakologi
Pada pasien dengan kronik hepatik ensefalopati diberikan laktulosa 30-60 ml/hari. Pada keadaan akut, laktulosa diberikan 45 ml/jam, dosis dapat diturunkan 15-30 ml secara oral 4 kali sehari (Dipiro, 2006). Antibiotika dapat diberikan pada pasien yang tidak merespon makanan dan laktulosa (Metronidazol, Neomisin).


DAFTAR PUSTAKA

Abeysinghe, M.R.N., Almeida, R., Fernandopulle, M., Karunatiluka, H., Ruwanpathirana, S., 2005. Guidlines on Clinical Management of Dengue Fever/Dengue Haemorrhagic Fever. Sri lanka : SLMH, p. 1- 44
Anonim, 2009, MIMS Indnesia Petunjuk Konsultasi, Jakarta: PT Infomaster, lisensi CMPMedia.
Dib, N., Oberti, F., Cales, P., 2006. Current management of the complications of portal hypertension : Variceal bleeding and ascites. CMAJ
Fauci, et al., 2008, Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. United States:The Mcgraw-Hill Companies.
Garcia-Tsao, et al., 2007, Prevention and Management of Gastroesophageal Varices and Variceal Heorrage in Cirrhosis. AASLD Practice Guidelines.
Gines, P., M.D., Cardenas, A., M.D., Arroyo, V., M.D., and Rodes, J., M.D., 2004, Management of Cirrhosis and Ascites. The New England Journal of Medicine.
Goldman, et al., 2007, Cecil Medicine 23rd Edition, Saunders:Elsevier.
Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M.P. and Lance, L.L., 2008, Drug Information Handbook, 17 th ed., Ohio : Lexi-Comp.
McPhee, S.J., Lingappa, V.R., Ganong, W.F. and Lange, J.D. (Eds.), 1995. Pathophysiology of Disease An Introduction to Clinical Medicine, 21st Edition, Stamford: Appleton & Lange.
PMFT RSU Dr.Soetomo, 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF  Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3. Surabaya: RSU Dr. Soetomo.
Schwinghammer, T.L., 2009. In: Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Hamilton, C.W., Pharmacotheraphy Handbook, USA: Mcgraw-Hill Comapanies, Inc.
Sease, J.M., Timm, E.G., and Stragano, J.J., 2008. Portal hypertension and cirrhosis. In: J.T. Dipiro, R.L. Talbert, G.C Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, and L.M. Posey (Eds.). Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Ed. 7th, New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Sudoyo, A. W et all., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tatro, D.S., 2003. A to Z Drug Fact. Books Ovid: Fact&Comparison Copyright