The Pharmacist Room

HIV/AIDS




A.    DEFINISI
CDC (The Centers for Disease Control and Prevention) mendefinisikan AIDS meliputi orang dengan penyakit simtomatis yang serius dan semua orang yang terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 <200 limfosit/µl atau persentase CD4 limfosit T <14% dari keseluruhan total limfosit. (Wells, et al., 2002)

B.     ETIOLOGI
Disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV adalah grup lentivirinae, sub famili retrovirus. Lentivirus dikarakterisasi oleh sifat indolent infectious Cycle. Terdapat dua tipe HIV yaitu HIV 1 dan HIV 2. HIV 2 ditemukan terutama di Afrika barat, terdiri dari enam filogenetik yang disebut subtype (clades) A sampai F. HIV 1 dibedakan menjadi 3 grup yaitu M(main), N (new or non-M, non-O), dan O (outlier). HIV pada manusia merupakan transmisi antar spesies (zoonosis) dari primata yang terinfeksi oleh simian immunodeficiency virus (SIV) (Fletcher and Kakuda, 2005).

C.    PATOGENESIS
Setelah HIV masuk dalam tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada dalam sel dendritik selama beberapa hari. Kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu (serupa infeksi mononucleosis), disertai viremia hebat dengan keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Pada tubuh, timbul respon imun humoral maupun selular. Sindrom ini akan hilang sendiri setelah 1-3minggu. Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh sistem imun tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan virus baru dan upaya eliminasi oleh respon imun. Titik keseimbangan disebut set point dan amat penting karena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Bila tinggi, perjalanan penyakit menuju acquired immunodeficiency syndrome (sindrom defisiensi imun yang didapat, AIDS) akan berlangsung lebih cepat.
Serokonversi (perubahan antibodi negative mernjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Kemudian pasien akan memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan bertahap jumlah CD4 (jumlah normal 800-1000) yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus relatif konstan. CD4 adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target sel utama HIV. Mula-mula penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60/tahun, tetapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah menjadi lebih cepat, 50-100/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai dibawah 200. (Manssjoer, dkk., 1999)
 

A.    CARA PENULARAN
1.      Hubungan seksual, dengan resiko penularan 0,1-1% tiap hubungan seksual.
2.      Melalui darah, yaitu:
·     Transfusi darah yang mengandung HIV, resiko penularan 90-98%
·     Tertusuk jarum yang mengandung HIV, resiko penularan 0,03%
·     Terpapar mukosa yang mengandung HIV, resiko penularan 0,0051%
3.   Transmisi dari ibu ke anak
·   Selama kehamilan
·   Saat persalinan, resiko penularan 50%
·   Melalui ASI 14%
       (Manssjoer, et al., 1999)

B.     MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik dari infeksi primer HIV dapat beragam, tetapi pasien umumnya mengalami sindrom retroviral akut atau mononucleosis-like illness. Gejala dapat terjadi dalam waktu 2 minggu dan perawatan di rumah sakit diperlukan untuk 15% pasien.  Infeksi primer diasosiasikan dengan tingginya  viral load dan perkembangan respon sistem imun selama periode supresi, akan tetapi tidak mengeliminasi replikasi virus. Kebanyakan anak yang lahir dengan HIV, asimptomatis. Pada pemeriksaan fisik, anak-anak umumnya mengalami tanda fisik seperti lymphadenopathy, hepatomegali, splenomegali, penurunan berat badan dan demam. Data laboratorik meliputi anemia, hipergammaglobulinemia (IgA and IgM), alterasi fungsi sel mononuklear dan alterasi rasio sel T.
Sedangkan pada dewasa presentasi klinik dari infeksi primer HIV meliputi gejala antara lain demam, penurunan BB, sore throat, fatigue, myalgia, morbilliform atau maculopapular rash, diare, mual, muntah, lmphadenopati, night sweats, dan meningitis aseptik mungkin dapat timbul (Fletcher and Kakuda, 2005).
C.    STADIUM KLINIK HIV/AIDS
Tabel 1.  Stadium Klinik HIV/AIDS
Tingkat Infeksi HIV
Gejala
Skala aktivitas
I
Asimptomatik
Asimptomatik, aktivitas normal
Limfadenopati menetap dan menyeluruh
II
Berat badan menurun <10% tanpa sebab
Simptomatik, aktivitas normal
Kelainan kulit dan mukosa ringan
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Infeksi saluran  nafas bagian atas seperti sinusitis bakterialis, tonsilitis, otitis media, pharyngitis
Infeksi jamur pada kuku
III
Berat badan menurun >10%
Pada umumnya lemah, aktivitas di tempat tidur <50%
Diare kronik tanpa sebab >1bulan
Demam berkepanjangan >1bulan
Oral candidiasis
Oral hairy lekoplakia
TBC paru
Infeksi bakteri berat seperti pneumoniae, pyomyositis
Gangguan inflamasi berat pada pelvik
Acute necrotizing ulcerative stomatitis
Trombositopenia kronik (<50 x 109 / l)
IV
HIV wasting syndrome
Pada umumnya sangat lemah, aktivitas di tempat tidur >50%
Pneumocystis carinii Pneumonia
Toksoplasmosis di otak
Kriptosporodiasis dengan diare >1bulan
Krispokokosis ekstraparu termasuk meningitis
Retinitis sitomegalovirus
Infeksi virus herpes symplex pada mukokutan >1bulan
Progressiv multifocal encephalopathy
Mycosis seperti histoplasmosis
Kandidiasis pada esofagus, trakea dan bronki
Mycobakter atipikal pada paru
Salmonella septicaemia non tifoid
TBC ekstraparu
Lymphoma
Kaposi’s sarcoma
Invasive cervical carninoma
(Anonim, 2004)

D.    INFEKSI OPORTUNISTIK TERKAIT HIV/AIDS
Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh maupun dalam tubuh manusia yang dalam kondisi normal tidak patogen (Anonim, 2006). Perkembangan infeksi oportunistik terkait secara langsung ataupun tidak langsung dengan harga limfosit CD4.


Tabel 2.          Macam-macam infeksi oportunistik pada AIDS

Jenis IO
Penyebab
Rentang CD4
Terapi
Pneumocystis Carinii Pneumonie (PCP)
Pneumocystis carinii
P.  jiroveci
<150- 200/μL
· Terapi akut:
Trimetoprim (15-20mg) + Sulfametoksazol (75-100mg)kg/hari secara IV selama 21 hari
· Maintenance kronik pilihan   pertama:
Cotrimoksazole PO
·PCP berat alternatif:
Pentamidin 4mg/kg IV infus selama 1 jam
·PCP ringan:
Dapson 100mg PO + Trimetoprim 15mg/kg/hari PO; Klindamisin 300-450mg PO; Primakuin 15-30mg PO dan Klindamisisn 600-900mg IV
Pneumonia

Streptococcus pneumonie dan Hemophilus influenzae
200-350 sel/mm3
·Terapi empirik:
Sefalosporin (sefotaksim, seftriakson), Gatifoksasin, levofloksasin, mosifloksasin
·Terapi empirik untuk infeksi berat:
Sefalosporin, makrolid dan  kuinolon
Septisemia
Bakteri gram negatif dan gram positif, jamur
Dapat terjadi pada jumlah sel CD4 berapapun.
Sefalosporin generasi III
Salmonela bacteremia


Salmonella sp.
Dapat terjadi pada jumlah sel CD4 berapapun.
Siprofloksasin 500-750 mg PO atau 400 mg iv sekiranya dapat digunakan selama 7-14 hari.
Trimetoprim - sulfametoksasol PO atau iv
Sefalosporin generasi III (ceftriakson) iv dan ceftiaxim iv.
Diare kronis
Umumnya disebabkan oleh
-Microsporidia
-Cryptosporidia spp.
-Mycobacterium avium complex
-salmonella spp
-shigella spp
-campylobacter spp.
-Giardia lamblia
< 500 sel/mm3
-Rehidrasi oral
-terapi antibiotik sesuai bakteri penyebab diare.
Kotrimoksazol pada infeksi isospora dan cyclospora, Ciprofloksacin pada infeksi salmonella spp dan shigella spp. Infeksi campylobacter spp digunakan eritromisin atau ciprofloksacin.
Giardia lamblia diterapi dengan metronidazol.
Herpes Simpleks
HSV-1 dan HSV-2
Dapat terjadi pada CD4 berapapun
Famsiklovir 500mg PO atau Valasklovir 1 gram PO sehari 2x atau Asiklovir 400mg PO selama 7-14 hari

Jenis IO
Penyebab
Rentang CD4
Terapi
Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis

















Awal HIV>300/μL
TBC ekstra paru<300/μL
·Fase awal(8 minggu):
INH 5mg/kg PO+Rifampisin 10mg/kg(maks 600mg)PO atau Rifabutin 300mg PO +pirazinamid(tergantung BB) PO +Etambutol PO
·Fase lanjutan(18 minggu):
INH 5mg/kg (maks 300mg) PO+Rifampisin 10mg/kg(maks 60mg) atau Rifabutin 300mg PO; INH 15mg/kg(maks 900mg)PO 2-3xsehari + Rifampisin 10mg/kg(maks 600mg)atau Rifabutin 300 mg PO
·Alternatif:
·  Resistensi INH :
Hentikan pemberian INH dan Streptomisin    
Rifamisin, Pirazinamid dan Etambutol selama 6 bulan
·  Resistensi pada Rifampisin:
INH + Pirazinamid + Etambutol + Florokuinolon(levofloksasin 500mg/hari) selama 2 bulan diteruskan INH + Etambutol + florokuinolon selama 10-16 bulan.
· Terapi alternatif pada penderita disfungsi liver :
Rifampisin + Etambutol + Pirazinamid selama 6 bln; INH + Rifampisin + Etambutol selama 2 bln, seterusny INH + Rifampisin untuk 7 bln; jika disfungsi livernya berat Rifampisin + Etambutol selama 12 bln.

CMV
Cytomegalovirus
< 50/μL
Valgansiklovir 900 mg PO 2xsehari selama 14 - 21 hari; Foskarnet 90 – 120 mg/kg IV; Gansiklovir IV diteruskan sampai gejala hilang
·Pemeliharaan untuk kronik :
Cidofovir 5mg/kg setiap minggu dengan probenesid 2 g PO; Fomivirse 1 vial (300 mg) diulang 2-4 minggu
Kandidiasis
Esofageal, tracheal atau bronchial.

Candida albican (paling banyak), Candida tropicalis,Candida parapsilosis, Candida glabrata, Candida kruseii
<100 sel/mm3
·Orofaring
Flukonazol 100 mg PO
Itrakonazol 200 mg PO
Klotrimazol troches 10 mg PO
Nistatin 4-5 ml
·Esofagus
Flukonazol 100 mg PO atau IV
Itrakonazol 200 mg PO
Vorikonazol 200 mg PO
Kaspofungin 50 mg
· Kandidiasis
Azole topikal (klotrimazole, butokonazol, mikonazol, tikonazol).
Nistatin topikal 100.000 unit/hari sebagai tablet vaginal untuk 14 hari.
Itrakonazol 200 mg sehari 2 kali.
Apabila flukonazol tidak dapat menyembuhkan orofaring kandidiasis maka diberikan :
Itrakonazol > 200 mg PO
Amfoterisin 100 mg PO
Amfoterisin deoksikolat 0,3 mg/kg
Apabila Flukonazol tidak dapat menyembuhkan esofageal kandidiasis maka diberikan :
Kaspofungin 50 mg iv
Vorikonazol 200 mg Po atau iv
Amfoterasin 0,3-0,7 mg/kg iv
Amfoterisin liposoma 3-5 mg/kg
(Anonim, 2006; Nadler, 2006; Hoy and Lewin, 2003)

Tujuan pengobatan terapi antiretroviral adalah (Price S.A, 1995) :
·         Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat,
·         Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV,
·         Memperbaiki kualitas hidup ODHA,
·         Memulihkan dan atau memelihara fungsi kekebalan tubuh,
·         Menekan replikasi virus secara maksimal dan terus-menerus.
 
Terapi antiretroviral
v  Reverse transcriptase inhibitors (RTIs)
a.       Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NsRTIs);
b.      Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs);
c.       Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NtRTIs).
v  Protease inhibitors (PIs).
NsRTIs
NNRTIs
NtRTIs
PIs
Zidovudin (AZT atau ZDV)
Nevirapine (NVP)
Tenofovir
Saquinavir/Ritonavir (SQV/r)
Didanosine (ddI)
Efavirenz (EFV)

Indinavir/Ritonavir (IDV/r)
Stavudine (d4T)
Delavirdine (DLV)

Nelfinavir (NFV)
Lamivudine (3TC)


Lopinavir/Ritonavir (LPV/r)
Abacavir (ABC)


Amprenavir (APV)
Zalcitabine (ddC)


Ritonavir (RTV, r) *
Keterangan : Ritonavir hanya digunakan dalam kombinasi dengan indinavir,
                      lopinavir dan  saquinavir sebagai booster (penguat) dan tidak
                      sebagai obat tersendiri.

Komplikasi yang terjadi pada infeksi HIV berkembang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan level CD4 limfosit. Infeksi oportunistik yang sering terjadi adalah Pneumocystis Carinii Pneumonia (45%), Mycobacterium avium complex (25%), Wasting syndrome (25%), Bacterial pneumonia (24%), Cytomegalovirus (23%) dan Candidiasis (22%).
























H. TERAPI ANTI RETROVIRAL VIRUS (ARV)
ARV sampai saat ini merupakan satu-satunya obat yang memberikan manfaat besar dalam pengobatan ODHA. ARV adalah obat yang menghambat replikasi HIV. Tujuan pengobatan ARV adalah mengurangi penularan HIV di masyarakat, memulihkan dan memelihara fungsi imunologis (stabilisasi atau peningkatan sel CD4), menurunkan komplikasi akibat HIV, memperbaiki kualitas hidup ODHA, menekan replikasi virus secara maksimal dan terus-menerus, menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV (Anonim, 2006).
Rekomendasi untuk memulai terapi dengan ARV pada remaja dan dewasa berdasarkan fase klinik dan tanda imunologi :
Fase klinik WHO
Test CD4 tidak tersedia
Test CD4 tersedia
1
Tidak di terapi
Terapi bila CD4 < 200 sel/mm3a
2
Tidak diterapi
3
Terapi
Pertimbangankan terapi bila CD4 < 350 sel/ mm3acd dan terapi bila CD4 turun < 200 sel/mm3e
4
Terapi
Terapi tanpa memperhatikan nilai CD4
Keterangan :
a.       Nilai hitung CD4 yang disarankan untuk membantu menetapkan kebutuhan terapi segera seperti TB pulmonal dan infeksi bakteri berat yang mungkin terjadi pada tiap tingkat CD4
b.      Total limfosit 1200/mm dapat menggantikan hitung CD4 bila nilai CD4 tidak ada atau infeksi HIV ringan. Ini tidak berguna pada pasien tanpa gejala.
c.       Pemberian terapi ARV direkomendasikan untuk perempuan hamil dengan fase klinik 3 da nilai CD4 < 350 sel/mm3.
d.      Pemberian ARV direkomendasikan untuk seluruh pasien HIV dengan nilai CD4 < 350 sel/mm3 dan TBC pulmonal atau infeksi bakteri berat.
e.       Tepatnya nilai CD4 > 200/mm3 pada infeksi HIV belum ditetapkan.



Rekomendasi regimen lini pertama terapi dan perubahan terapi ke lini kedua infeksi HIV pada orang dewasa :
Regimen lini pertama
Regimen lini kedua
RTi
Pi
Standar
AZT atau d4T + 3TC + NVP atau EFV
ddI + ABC atau TDF + ABC atau TDF + 3TC (± AZT)
PI/r
TDF + 3TC + NVP atau EFV
ddI + ABC atau ddI + 3TC (± AZT)
ABC + 3TC + NVP atau EFV
ddI + 3TC (± AZT) atau TDF + 3TC (± AZT)
Alternative
AZT atau d4T + 3TC + TDF atau ABC
EFV atau NVP ± ddI
Keterangan :
·         3TC = lamivudine
·         ABC = abacavir
·         AZT = zidovudine
·         D4T = stavudine
·         DdI = didanosine
·         NFV = nelfinavir
·         NNRTI (non nucleoside reverse transcriptase inhibitor)
·         NRTI = nucleoside reverse trancriptase inhibitor
·         NVP = nevirapine
·         TDF = tenofovir disoproxil fumarate.
Ada tiga golongan utama ARV yang digolongkan berdasarkan mekanisme kerja yaitu :
1).    Penghambat masuknya virus kedalam sel
Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel di hambat.
Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah Enfuvirtid.
2).    Penghambat reverse transcriptase enzyme 
a.       Analog Nukleosida/Nukleotida (NRTI/NtRTI)
·         NRTI diubah secara intraseluler dalam tiga tahap penambahan tiga gugus fosfat dan selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA.
·         Contoh : analog nukleosida, analog thymin (Zidovudin-ZDV/AZT dan Stavudin-d4T), analog adenin (Didanosine-ddI) dan analog guanin (Abacavir-ABC).
·         Analog nukleotida analog adenosin monofosfat mekanisme kerja sama dengan NRTI menghambat replikasi HIV tetapi hanya memerlukan dua tahapan proses fosforilasi, contoh: Tenofovir.
b.      Nonnukleosida (NNRTI)
·         NNRTI bekerja tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural.
·         Aktivitas terhadap HIV-2 tidak kuat.
·         Contoh: Nevirapin (NVP) dan Efavirenz (EFV).
3).    Penghambat enzim protease (PI)
·         PI merupakan terapi ARV yang potensial. Protease inhibitor berikatan secara reversibel dengan enzim protease yang mengkatalisa pembentukkan protein yang dibutuhkan untuk pematangan akhir virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain.
·         Contoh : Saquinavir (SQV), Indinavir (IDV) dan Nelnavir (NFV).
(Anonim, 2006)


Cara Mengatasi Cegukan Dengan Sangat Cepat Tanpa Obat

                 Anda pasti pernah merasakan cegukan. Hal itu sangat mengganggu dan cukup menyebalkan. Mau tahu cara mengatasinya? Ini dia!
Cegukan disebabkan karena adanya gangguan di saluran pernapasan. Jika tidak diatasi, cegukan bisa berlangsung lama. Charles Osborne pria asal Amerika Serikat tercatat sebagai orang yang mengalami cegukan paling lama dalam Guinness World Records yaitu 68 tahun. Mau tahu cara mengatasinya?
Coba Anda lakukan beberapa tips berikut :
  1. Saat cekugan makanlah gula satu sendok teh. Sebuah penelitian menyatakan metode ini dapat menghilangkan cegukan. Ulangi sampai 3 kali dalam waktu 2-3 menit jika cegukan tak juga hilang.
  2. Jika cegukan tak juga hilang, Anda bisa coba minum satu gelas air secara perlahan untuk membuat saluran pernafasan kembali normal.
  3. Makan roti dengan perlahan juga bisa mengatasi cegukan. Makan roti itu sedikit demi sedikit.
  4. Ulangi langkah-langkah tadi jika cegukan tak juga bisa hilang.
Empat cara di atas adalah anjuran dari Detikcom.
Cara Alfonso:
Jika cara yang sering saya gunakan adalah: Tarik napas dalam-dalam, kemudian tahan. Jika cegukan muncul lagi, ulangi lagi sekitar 5-6 kali. Ga perlu makan apa-apa, gampang dilakukan di mana saja dan kapan saja.
Cara Jet Li (di film apa saya lupa):
Bersandar di dinding di atas kasur dengan posisi kepala di bawah, kaki di atas. Tapi, cara ini cukup berisiko karena biasanya cegukan terjadi setelah makan. Kalau posisi kepala di bawah, apa yang akan terjadi?
Selamat mencoba!
(Alfonso)
Diambil dari : Detik
NB : Kebiasaan yang dilakukan oleh penulis bila mengalami cegukan adalah,  ambil nafas dalam2 lalu tahan, setelah itu minum air putih biasa beberapa tegukan. Bila masih belum sembuh ulangi lagi, biasanya 2 kali mencoba juga sudah sembuh. Ternyata banyak juga cara mengatasinya ya….., terserah anda mau mencoba yang mana, Selamat mencoba.

TERAPI ANTIBIOTIK PADA SEPSIS FEBRILE NEUTROPENIA



        Sepsis adalah sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) yang dipicu oleh infeksi. Sindrom respon inflamasi sistemik dapat terjadi pada pasien tanpa adanya infeksi, misalnya pada luka bakar, polytrauma atau keadaan awal di pancreatitis dan pneumonitis kimia.
Selain ditandai dengan gejala yang berhubungan dengan infeksi, sepsis ditandai dengan adanya peradangan akut di seluruh tubuh. Karena itu sering dikaitkan dengan demam dan peningkatan sel darah putih (leukositosis) atau penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia). Konsep modern sepsis adalah bahwa respon kekebalan host terhadap infeksi adalah penyebab sebagian besar gejala sepsis yang berakibat pada konsekuensi hemodinamik dan kerusakan organ. Respon host ini disebut sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS). SIRS didefinisikan sebagai dua atau lebih hal berikut :
·    Suhu > 38 ºC atau < 36 ºC
·    Heart Rate (HR) > 90 x/menit
·    Respiratory Rate (RR) > 20x/menit atau PaCO2 < 32mmHg
·    Leukosit < 4000 sel/mm3 atau > 12.000 sel/ mm3
Berikut klasifikasi sepsis yaitu :
1.    Severe sepsis adalah sepsis dengan disfungsi organ, hipotensi, aliran darah tidak cukup (hipoperfusi) untuk satu atau lebih organ menyebabkan misalnya asidosis laktat, penurunan produksi urin, atau status mental berubah.
2.    Septic shock adalah severe sepsis dengan hipotensi responsive terhadap resusitasi cairan.
Febrile neutropenia adalah Kondisi yang ditandai dengan demam dimana jumlah neutrofil yang  lebih rendah dari nilai normal dalam darah, yaitu jumlah neutrofil absolute (ANC) yang kurang dari 1000 sel/mm3 dan suhu tubuhnya lebih besar atau sama dengan 38 º C atau jika pasien secara sistemik tidak sehat dengan klinis kecurigaan sepsis. Neutrofil adalah jenis sel darah putih yang membantu melawan infeksi terutama infeksi bakteri. Neutropenia dapat disebabkan oleh penyakit leukemia. Selain itu dapat juga terjadi sebagai akibat pengobatan untuk kanker seperti kemoterapi dan radioterapi. Neutropenia merupakan efek samping yang umum dari kemoterapi dan dapat menempatkan pasien pada resiko infeksi yang parah.
Infeksi merupakan penyebab kematian yang paling umum pada pasien kanker. Neutropenia dikaitkan dengan gangguan mendalam pada respon inflamasi yang gejala infeksinya seperti eritema, bengkak, panas, nyeri dan pembentukan nanah. Pasien dengan jumlah neutrofil kurang dari 1000 sel/mm3 memiliki resiko peningkatan infeksi bakteri terutama dari endogen yang diperoleh bakteri dari kulit, hidung, dan tenggorokan atau flora saluran pencernaan. Komplikasi utama febrile neutropenia adalah septic shock dan pengobatan diarahkan untuk mencegah pengembangan dari komplikasi ini.
Berikut ini merupakan factor resiko febrile neutropenia :
1.    High risk patient
Pasien dengan kanker ditambah setidaknya satu atau lebih hal berikut
·    Keganasan hematologis
·    Myelosuppresive kemoterapi
·    Kemoterapi dan radioterapi
·    Usia > 60 tahun
·    Co-morbiditas, misalnya diabetes, status gizi buruk
·    Kanker sumsum tulang
·    Penyembuhan yang tertunda pada bedah atau luka terbuka
·    Jumlah neutrofil yang rendah
·    Riwayat neutropenia
2.    Low risk patient
Pasien dengan kanker dan :
·    Solid tumor (keganasan no hematological)
·    Tidak ada co-morbiditas
·    Darah dan kultur urin normal
·    X – Ray dada normal
·    Tidak ada kecurigaan sepsis



METODE PENULISAN
Metode yang digunakan adalah review jurnal (studi pustaka) yang berkaitan dengan terapi antibiotik pada sepsis febrile neutropenia melalui jurnal-jurnal ilmiah dengan mengumpulkan data-data dan teori yang mendukung penulisan ini. Jurnal yang digunakan adalah jurnal yang relevan dengan karya tulis dan merupakan jurnal eksperimental. Jurnal ilmiah tersebut didapat dari searching elektronik melalui situs ilmiah yang dilakukan dengan memasukkan kata kunci “treatment, antibiotik, sepsis, febrile, neutropenia”, diperoleh 7 jurnal yang relevan dengan karya tulis dan merupakan jurnal eksperimental. Jurnal hasil seleksi dipaparkan ke dalam karya tulis kemudian data dianalisis.

HASIL
Berdasarkan kata kunci yang digunakan yaitu “treatment, antibiotik, sepsis febrile, neutropenia”, terdapat 7 jurnal yang relevan dengan karya tulis. Jurnal tersebut dipaparkan pada tabel I.

Judul Jurnal    Pengarang, Tahun    Ringkasan      
Management of febrile neutropenia    Saman kannangara, MD., 2006    Monoterapi dengan cephalosporin generasi III/ IV atau dengan Carbapenem sama efektifnya dengan terapi kombinasi pada pasien dengan febrile neutropenia.      
Guidelines for the management of neutropenic sepsis    Moyra taylor, dkk ., 2007    Penatalaksanaan pasien yang memiliki resiko yang tinggi adalah dengan monoterapi penggunaan meropenem sedangkan duoterapinya bisa dengan penggunaan antipseudomonal penicilin (misalnya Tazocin 4,5 g) ditambah dengan gentamicin (3-5 mg/kg BB) atau Meropenem ditambah gentamicin. Sedangkan yang memiliki resiko yang rendah terapinya dengan kombinasi IV Ciprofloxacin dan Co-amoxiclav.      
Guidelines for the management of febrile neutropenia in oncology patients.    Rena Chauhan, dkk., 2009    Pada pasien yang tidak alergi terhadap penisillin bisa diberikan piperasillin / tazobactam 4,5g IV 3 x sehari. Pada pasien dengan status alergi penisillin yang tidak berat (sedang) pilihan obat yang digunakan adalah meropenem 1g IV 3 x sehari. Sedangkan pada pasien dengan status alergi penisillin yang berat pilihan obat yang digunakan adalah ciprofloxacin 750mg PO 2 x sehari atau jika tidak bisa secara oral bisa dengan IV 400mg 2 x sehari yang dikombinasi dengan Vancomycin 1g IV 2 x sehari (>65 th bisa dengan oral 1g vancomicin 1 x sehari). Pada semua status alegi, jika pasien mengalami shok bisa diberikan Gentamisin.      
Management of febrile neutropenia in adult    Gippsland Oncology Nurses Group., 2010    Bagi pasien dengan resiko tinggi terapi yang diberikan adalah dengan Ceftazidime 2g IV 3 x sehari atau Ciprofloxacin 400mg IV 2 x sehari yang dikombinasi dengan Gentamicin IV 1x sehari. Bila ada sepsis terapi bisa ditambah dengan Vancomycin 1g IV 2 x sehari (modifikasi dosis bagi yang memiliki gangguan ginjal). Sedangkan untuk pasien dengan resiko rendah dapat diterapi dengan Ceftazidime 2g IV 3 x sehari atau Ciprofloxacin 400mg IV 2 x sehari saja.
      
Empirical antibiotic monotherapy for febrile neutropenia : systemic review and meta-analysis of randomized controlled trials.    Mical paul, dkk., 2005    Penggunaan cefepime untuk febrile neutropenia harus dipertimbangkan dan hati-hati karena memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. Penggunaan Carbapenem secara empiris menggunakan sedikit modifikasi tetapi memberikan peningkatan  pada colitis pseudomembran. Ceftazidime, piperacillin/tazobactam, imipenem/cilastatin dan meropenem merupakan agen yang cocok digunakan secara monoterapi.
      
Meropenem monotherapy versus combination therapy with ceftazidime and amikacin for emprical treatment of febrile neutropenic patients    Behre, dkk., 1997    monoterapi meropenem sama efektifnya dengan terapi kombinasi dengan ceftazidime dan amikacin  untuk terapi empiris pada pasien febrile neutropenia.
      
Meropenem versus ceftazidime in the treatment of cancer patient with febrile neutropenia : a randomized, double-blind trial    Ronald Feld, dkk., 2000    monoterapi dengan  menggunakan meropenem merupakan pilihan yang cocok untuk terapi awal empiris antibiotic pada pasien demam dengan kanker neutropenia.   

PEMBAHASAN
Sepsis adalah sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) yang dipicu oleh infeksi. Selain ditandai dengan gejala yang berhubungan dengan infeksi, sepsis ditandai dengan adanya peradangan akut di seluruh tubuh. Karena itu sering dikaitkan dengan demam dan peningkatan sel darah putih (leukositosis) atau penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia). SIRS didefinisikan sebagai dua atau lebih hal berikut :
·    Suhu > 38 ºC atau < 36 ºC
·    Heart Rate (HR) > 90 x/menit
·    Respiratory Rate (RR) > 20x/menit atau PaCO2 < 32mmHg
·    Leukosit < 4000 sel/mm3 atau > 12.000 sel/ mm3 
Febrile neutropenia adalah Kondisi yang ditandai dengan demam dimana jumlah neutrofil yang  lebih rendah dari normal dalam darah. Neutrofil adalah jenis sel darah putih yang membantu melawan infeksi. Dimana jumlah neutrofil absolute (ANC) yang kurang dari 1000 sel/mm3. Memiliki jumlah neutrofil terlalu sedikit meningkatkaan resiko terjadinya infeksi.
Berdasarkan literatur yang disusun oleh Saman kannangara, MD (2006) dengan judul “Management of febrile neutropenia” disebutkan bahwa monoterapi dengan cephalosporin generasi III/ IV atau dengan Carbapenem sama efektifnya dengan terapi kombinasi pada pasien dengan febrile neutropenia.
Dari hasil guidelines yang disusun oleh Moyra taylor, dkk (2007) yang berjudul “Guidelines for the management of neutropenic sepsis”, febrile neutropenia ditangani berdasarkan keadaan pasien. Bagi pasien yang memiliki resiko tinggi seperti mereka yang sudah rawat inap ketika demam yang berkembang menjadi neutropenia, pasien yang membutuhkan perawatan rumah sakit akut untuk masalah selain demam dan neutropenia, pasien dengan kanker tidak terkendali (misalnya leukemia akut,tumor dan selama terapi antikanker), dalam keadaan hamil, penyakit HIV, dalam penggunaan antibiotik (dalam waktu 72 jam sebelumnya), nyeri abdomen, mual, muntah, diare, gagal ginjal (clearance kreatinin < 30ml/min) dan gagal hati. Sedangkan pasien yang memiliki resiko yang rendah adalah mereka yang tidak termasuk dalam kategori resiko tinggi di atas. Jika penggolongannya ragu maka pasien dianggap memiliki resiko yang tinggi.
Penatalaksanaan pasien yang memiliki resiko yang tinggi adalah dengan monoterapi penggunaan meropenem sedangkan duoterapinya bisa dengan penggunaan antipseudomonal penicilin (misalnya Tazocin 4,5 g) ditambah dengan gentamicin (3-5 mg/kg BB) atau Meropenem ditambah gentamicin. Sedangkan yang memiliki resiko yang rendah terapinya dengan kombinasi IV Ciprofloxacin dan Co-amoxiclav.
Berdasarkan hasil guidelines yang disusun oleh Rena Chauhan, dkk (2009) yang berjudul “Guidelines for the management of febrile neutropenia in oncology patients” membagi pengobatan sepsis febrile neutropenia berdasarkan status alergi pasien terhadap penicillin. Pada pasien yang tidak alergi terhadap penisillin bisa diberikan piperasillin / tazobactam 4,5g IV 3 x sehari. Pada pasien dengan status alergi penisillin yang tidak berat (sedang) pilihan obat yang digunakan adalah meropenem 1g IV 3 x sehari. Pada kondisi tertentu kedua status alergi ini bisa dikombinasikan dengan vancomycin 1g IV 2 x sehari ( pada pasien dengan gangguan ginjal dosis di sesuaikan). Sedangkan pada pasien dengan status alergi penisillin yang berat pilihan obat yang digunakan adalah ciprofloxacin 750mg PO 2 x sehari atau jika tidak bisa secara oral bisa dengan IV 400mg 2 x sehari yang dikombinasi dengan Vancomycin 1g IV 2 x sehari (>65 th bisa dengan oral 1g vancomicin 1 x sehari). Pada semua status alegi, jika pasien mengalami shok bisa diberikan Gentamisin.
Dilihat dari hasil guidelines yang disusun oleh Gippsland Oncology Nurses Group (2010) yang berjudul “Management of febrile neutropenia in adult” juga membagi terapi sepsis febrile neutropenia berdasarkan keadaan pasien tetapi berbeda terapi. Bagi pasien dengan resiko tinggi terapi yang diberikan adalah dengan Ceftazidime 2g IV 3 x sehari atau Ciprofloxacin 400mg IV 2 x sehari yang dikombinasi dengan Gentamicin IV 1x sehari. Bila ada sepsis terapi bisa ditambah dengan Vancomycin 1g IV 2 x sehari (modifikasi dosis bagi yang memiliki gangguan ginjal). Jika terjadi kondisi klinis oropharyngeal kandidiasis atau penggunaan steroid dosis tinggi perlu ditambahkan Fluconazole 400mg IV atau oral 1 x sehari. Apabila febrile atau demam telah mereda selama 48 jam dengan kultur yang negatif dan tidak ada indikasi klinis dari sepsis maka penambahan Vancomycin dapat dipertimbangkan. Jika demam masih berlanjut >48 jam maka yang dipertimbangkan adalah penambahan Fluconazole 400mg IV 1 x sehari. Sedangkan untuk pasien dengan resiko rendah dapat diterapi dengan Ceftazidime 2g IV 3 x sehari atau Ciprofloxacin 400mg IV 2 x sehari saja.
Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Mical paul, dkk (2005) yang berjudul “Empirical antibiotic monotherapy for febrile neutropenia: systemic review and meta-analysis of randomized controlled trials”diperoleh hasil kesimpulan bahwa penggunaan cefepim untuk febrile neutropenia harus dipertimbangkan dan hati-hati karena memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. Penggunaan Carbapenem secara empiris menggunakan sedikit modifikasi tetapi memberikan peningkatan  pada colitis pseudomembran. Ceftazidime, piperacillin/tazobactam, imipenem/cilastatin dan meropenem merupakan agen yang cocok digunakan secara monoterapi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh G. Behre, dkk (1997) yang berjudul “Meropenem monotherapy versus combination therapy with ceftazidime and amikacin for emprical treatment of febrile neutropenic patients” diperoleh hasil bahwa monoterapi meropenem sama efektifnya dengan terapi kombinasi dengan ceftazidime dan amikacin  untuk terapi empiris pada pasien febrile neutropenia.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ronald Feld, dkk (2000) yang berjudul “Meropenem versus ceftazidime in the treatment of cancer patient with febrile neutropenia : a randomized, double-blind trial” diperoleh hasil bahwa monoterapi dengan  menggunakan meropenem merupakan pilihan yang cocok untuk terapi awal empiris antibiotic pada pasien demam dengan kanker neutropenia.

Kesimpulan
Dari beberapa hasil penelitian, guidelines maupun literatur yang diperoleh dapat di simpulkan bahwa :
1.    Pengobatan sepsis febrile neutropenia dapat diatasi dengan menggunakan mono atau duo terapi antibiotik. Ceftazidime, piperacillin/tazobactam, imipenem/cilastatin dan meropenem merupakan agen yang cocok digunakan secara monoterapi.
2.    Pengobatan terapi febrile neutropenia pada pasien dengan resiko tinggi bisa dengan mono terapi meropenem atau duo terapi meropenem /  ceftazidime / ciprofloksasin plus gentamicin. Sedangkan pada pasien dengan resiko rendah bisa dengan monoterapi antara ceftazidime atau ciprofloxacin atau dengan duoterapi yaitu kombinasi antara ciprofloxacin plus co-amoxiclav. Bila ada sepsis maka bisa dikombinasikan dengan Vancomycin.
3.    Pengobatan sepsis febrile neuropenia dapat dibagi berdasarkan status alergi terhadap penisillin. Pada pasien yang tidak alergi bisa diberikan piperasillin / tazobactam, pada pasien dengan status alergi yang sedang bisa dengan menggunakan meropenem pada kedua status ini bisa ditambahkan vancomycin jika dalam keadaan tertentu dibutuhkan, sedangkan pada status alergi berat pada penisillin bisa diberikan ciprofloxacin plus vancomycin. Pada semua status alergi jika pasien mengalami shok bisa ditambah dengan penggunaan gentamycin.
4.    Pengobatan dengan cara monoterapi lebih efektif jika dibandingkan dengan terapi kombinasi misalnya monoterapi dari golongan cephalosporin generasi III/ IV atau dengan golongan Carbapenem.
5.    Meropenem adalah alternatif pengobatan monoterapi yang lebih efektif.

REKOMENDASI
    Golongan carbapenem dan golongan cephalosporin generasi III/IV adalah agen yang cocok digunakan sebagai pengobatan untuk pengobatan sepsis febrile neutropenia. Namun pengobatan dengan cara monoterapi lebih efektif jika dibandingkan dengan terapi kombinasi. Misalnya terapi febrile neutropenia pada pasien dengan resiko tinggi bisa dengan monoterapi meropenem atau duo terapi yaitu meropenem/ceftazidime/ciprofloksasin dikombinasikan dengan gentamicin. Sedangkan pada pasien dengan resiko rendah bisa dengan monoterapi ceftazidime/ciprofloxacin atau dengan duo terapi yaitu kombinasi antara ciprofloxacin plus co-amoxiclav. Bila ada sepsis maka bisa dikombinasikan dengan Vancomycin

DAFTAR PUSTAKA
Behre, G.; Link, H.; Maschmeye, G.; P. U. Paaz, Meyer; Wilhelm, M.; Hiddemann,W., 1998, Meropenem monotherapy versus combination therapy with ceftazidime and amikacin for emprical treatment of febrile neutropenic patients,  journal of Department of Hematology/Oncology,  University of Göttingen, Germany.

Chauhan, Rena; Potter, Dr Vanessa, 2009, Guidelines for the management of febrile neutropenia in oncology patients, Guidelines. Nottingham Antibiotic Guidelines Committee.

Feld, Ronald; DePauw, Ben; Berman, Steven; Keating, Armand; Ho, Winston, 2000, Meropenem versus ceftazidime in the treatment of cancer patient with febrile neutropenia : a randomized, double-blind trial, Journal of Clinical Oncology, Vol 18, American Society of Clinical Oncology.

Gippsland Oncology Nurses Group, 2010, Management of febrile neutropenia in adult Guidelines.
Kannangara, Saman; MD, 2006, Management of febrile neutropenia. Division of Infectious Diseases, Pennsylvania Hospital, University of Pennsylvania Health System, Philadelphia, PA.

Paul, Mical; Yahav, Dafna; Frase, Abigail; Leibovici, Leonard, 2005, Empirical antibiotic monotherapy for febrile neutropenia : systemic review and meta-analysis of randomized controlled trials. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, Department of Medicine E, Rabin Medical Center, Beilinson Campus, Israel.

Taylor, Moira; Mutton, Ken; Mutton, Ken, 2007, Guidelines for the management of neutropenic sepsis, Guidelines, Consultant Microbiologist, Stepping Hill Hospital, Consultant Virologist, Christie Hospital & MRI.

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Anatomi Kelenjar Prostat




Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak pada kelenjar prostat, disebabkan karena hyperplasia beberapa atau semua komponen prostat, antara lain jaringan kelenjar dan jaringan fibro-muskular, yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (PDT RSU Dr Soetomo, 2008). Kelenjar prostat terdapat diantara bladder (tempat penyimpanan urin) dan uretra (pembuangan urin). Kelenjar prostat akan membesar secara berlahan dan menekan uretra sehingga menyebabkan aliran urin terhambat dan terjadi retensi urin.

Kelenjar prostat terletak dibawah kandung kemih, melingkari uretra proksimal, berbentuk heart, seukuran kacang, dengan berat 4 – 20 g. Prostat memiliki dua fungsi utama yaitu:
(1) Mensekresi cairan prostat yang merupakan bagian dari volume ejakulat (20-40%)
(2) Melengkapi cairan prostat yang disekresi dengan efek antibakterial yang berhubungan dengan tingginya konsentrasi zinc.
Kelenjar prostat terdiri dari tiga tipe jaringan yaitu jaringan epitel, jaringan stroma, dan jaringan kapsul. Jaringan epitelial disebut juga jaringan glandular yang memproduksi cairan prostat yang dialirkan kedalam uretra selama ejakulasi. Jaringan stroma terdiri dari otot polos dan terdapat banyak reseptor α1-adrenergik sedangkan jaringan kapsul terdiri dari jaringan konektif fibrosa dan otot polos serta terdapat pula reeptor α1 adrenergik.
Pertumbuhan prostat terdiri dari 2 tahap, tahap pertama pada saat pubertas dimana prostat tumbuh sampai pada ukuran 15-20 g pada saat seorang laki-laki berumur 25-30 tahun dan ukuran prostat bertahan sampai pada umur 40 tahun. Tahap kedua pertumbuhan dimulai pada usia lebih dari 40 tahun dan berlangsung sampai pada umur 70-80 tahun. Selama periode tersebut pertumbuhan prostat dapat terjadi sampai empat kali lipat (Lee, M., 2008)

Masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihydrotestosterone (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH antara lain akibat hormon DHT, ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi antara sel stromal dan sel epitel prostat dan berkurangnya kematian sel (apoptosis) (Purnomo, 2003).

Benigna Prostatik Hyperplasia (BPH) diderita oleh laki-laki usia di atas 50 tahun. Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, diduga antara lain dari perubahan hormonal dan ketidakseimbangan faktor pertumbuhan (PDT RSU Dr Soetomo Surabaya, 2008).
Patogenesis BPH disebabkan oleh faktor statik dan faktor dinamik. Faktor statik berhubungan dengan pembesaran anatomis kelenjar prostat yang akan menyebabkan penyumbatan fisik pada leher kandung kemih sehingga nantinya akan menyumbat aliran urin. Pembesaran kelenjar prostat ini tergantung dari stimulasi androgen pada jaringan epitel dan stromal yang terdapat pada kelenjar prostat. Testosterone adalah hormon androgen testicular utama pada pria sedangkan androstenedion adalah hormone androgen adrenal utama. Kedua hormon ini bertanggungjawab terhadap pembesaran penis dan skrotum, meningkatkan massa otot dan menjaga libido normal pria. Androgen ini akan diubah menjadi metabolit aktifnya yaitu dihydrotestosterone (DHT) yang dapat menyebabkan pertumbuhan dan pembesaran kelenjar prostat. Sedangkan faktor dinamik berhubungan dengan peningkatan tonus α-adrenergik pada komponen stromal kelenjar prostat, leher kandung kemih dan uretra posterior yang akan menghasilkan kontraksi kelenjar prostat di sekeliling uretra dan mempersempit lumen uretra (Lee, 2008).

Pasien dengan Hiperplasia prostat dapat menunjukkan berbagai macam tanda dan gejala. Gejala berganti-ganti dari waktu ke waktu dan mungkin dapat semakin parah, menjadi stabil atau semakin buruk secara spontan. Di bawah ini ada beberapa gejala :
  • Lemahnya aliran urin.
  • Keragu-raguan pada awal buang air kecil.
  • Aliran urin tersendat-sendat.
  • Penetesan urin.
  • Rasa pengosongan kandung kemih yang tidak tuntas.
  • Gangguan urinasi seperti rasa belum selesai berurinasi.
  • Buang air kecil dengan frekuensi berlebihan pada malam hari.
(Clark, 2004)
Apabila buli–buli (kandung kemih) menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin. Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli – buli tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi.
Karena selalu terjadi sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam buli – buli. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistisis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid (Mansjoer dkk, 2000).
Ringan
≤7
Asymptomatic, laju puncak aliran urin <10 ml/s,volume residu setelah pengosongan >25-50 ml, peningkatan serum kreatinin dan BUN
Sedang
8-19
Semua gejala pada tingkatan sedang ditambah adanya gejala obstruksi dan iritasi pada saat pengosongan urin
Berat
≥20
Semua gejala pada tingkatan sedang ditambah adanya komplikai dari BPH
AUA : American Urological Association
(Lee,M., 2008).
Dengan menggunakan indeks AUA, pasien menilai 7 kerusakan dan gejala mengganggu yang menyusahkan. Setiap item dinilai keparahannya dalam skala 0 sampai 5, sehingga 35 merupakan skor maksimum dan gejala terberat yang konsisten.

Penentuan berat ringan gejala dari BPH juga dapat ditentukan dengan IPSS (International Prostate Symptom Score).
Ringan
IPSS <8, laju aliran urin maksimal >15 ml/mnt
Sedang
IPSS 9-18, laju aliran urin maksimal 10-15 ml/mnt
Berat
IPSS > 18, laju aliran urin maksimal < 10 ml/mnt
(PDT RSU Dr Soetomo Surabaya, 2008).
  1. Pemeriksaan laboratorium
Analisa urin dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
  1. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli – buli dan volume residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan dengan BPH maupun tidak (Mansjoer, Arif.,2000).
  1. a. Inspeksi buli-buli : ada/tidak penonjolan perut di daerah suprapublik (buli-buli penuh/kosong).
b. Palpasi Buli-buli : tekanan di daerah suprapubik menimbulkan rangsangan ingin kencing bila buli-buli berisi/ penuh
c. Perkusi : buli-buli penuh berisi urin memberi suara redup
  1. Colok dubur
  2. Uroflowmetri
(PDT RSU Dr Soetomo Surabaya, 2008)
  1. Terapi nonfarmakologi
Berupa observasi (watchfull waiting) dan dilakukan pada pasien dengan gejala yang ringan.
  1. Terapi farmakologi
    1. α-adrenergic antagonis
Penggunaan antagonis α-1-adrenergik karena secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat dan kapsul prostat sehingga terjadi relaksasi didaerah prostat. Hal ini akan menurunkan tekanan pada urethra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
    1. 5-α –reduktase inhibitor
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan dehidrotestosteron (DHT) sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan α-bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
    1. fitoterapi
Substansinya misalnya Pygeum africanum, Saw palmetto, Serenoa repeus.
  1. Pembedahan.
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu :
    1. retensio urin berulang
    2. hematuria
    3. tanda penurunan fungsi ginjal
    4. infeksi saluran kemih berulang
    5. tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis
    6. ada batu saluran kemih
Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi Transurethral Resection of the Prostate (TURP), Transurethral Insision of the Prostate (TUIP), prostatektomi terbuka, dan prostatektomi dengan laser dengan Nd-YAG atau Ho-YAG.
(Mansjoer, Arif.,2000)





Alogaritma Manajemen BPH
  (Lee,M., 2008)

DAFTAR PUSTAKA

British Medical Association, 2008. British National Formulary 56. London: Pharmaceutical Press.

Clark, C., 2004. Prostatitis, BPH and Prostate Cancer. The Pharmaceutical Journal Vol.272

Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., 2008. Drug Information Handbook 17th Ed. Canada : Lexi-Comp Inc.

Lee, M., 2008. Management of Benign Prostatic Hyperplasia. In : Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th Ed. New York ; McGraw Hill.

Mansjoer, A., Wardana, E., Saprohadi. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta : FK Universitas Indonesia.

Pagana K.D., Pagana. T.J., 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Tests, Ed 2th Missouri : Mosby Inc.

Platz, E.A., Rimm, E.B., 1999. Alcohol Consumption, Cigarette Smoking, and Risk of Benign Prostatic Hyperplasia. The Johns Hopkins University School of Hygiene and Public Health.

Poernomo, B., 2003. Dasar-dasar Urologi edisi 2. Malang : SMF/Lab Ilmu Bedah RSUD Dr.Saiful Anwar : FK.Universitas Brawijaya.

Tatro, D.S, 2003. A to Z drug Facts and Comparisons. Electronic version, Book@Ovid.

Tim Revisi PDT Sub Komite Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo surabaya. 2008.Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Bedah Urologi RSU Dr. Soetomo Surabaya. Edisi III. P 9-10
 

Riset Pencegahan Alzheimer dengan Vitamin B Dosis Tinggi

Dewasa ini, lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia didiagnosa mengidap Alzheimer. Penyakit degeneratif fungsi otak ini ditandai dengan menurunnya kemampuan mengingat dan gerak motorik

 

Para pakar kedokteran sudah sejak lama mengetahui, bahwa seiring dengan semakin lanjutnya usia, volume otak kita juga semakin menciut. Setelah melewati usia 60 tahun, rata-rata volume otak manusia berkurang 0,5 persen per tahunnya. Akan tetapi pada sekelompok manusia, laju penciutan volume otak ini dua kali lebih cepat dari rata-rata. Penderitanya dikategorikan mengidap kondisi yang disebut memburuknya kemampuan kognitif kadar ringan atau istilah medisnya MCI.
Perlambat Penciutan Otak

Penyakit Alzheimer secara medis tidak dapat disembuhkan. Gejalanya ditandai dengan kehilangan memory kadar ringan serta mengalami kesulitan dengan kemampuan berbahasa. Gejala ini belum tentu merupakan pertanda penyakit Alzheimer. Akan tetapi juga para dokter tidak menutup kemungkinan, ini merupakan gejala awal penyakit ini.

Penelitian menunjukan, sekitar 50 persen pengidap MCI kemudian juga berkembang menjadi penderita demensia atau pikun. Kini para peneliti di Universitas Oxford di Inggris meyakini berhasil memperlambat penciutan volume otak dan gejala MCI dengan pemberian vitamin B dosis tinggi.

Professor David Smith dari departemen farmakologi Universitas Oxford mengungkapkan, “Ini riset pertama di dunia, untuk menunjukan efek modifikasi pada penyakit dalam pengobatan Alzheimer tahap dini atau tahapan pra-Alzheimer. Uji coba lainnya gagal. Tapi yang ini berfungsi.“

Uji Coba dengan Vitamin B

Risetnya relatif kecil, dengan hanya 168 responden yang didiagnosa mengidap gejala kemunduran kognitif ringan-MCI. Mereka kemudian dibagi dua kelompok dengan jumlah yang sama. Separuh responden diberi tablet vitamin B6, B12 dan B9 atau asam folat dosisi tinggi yang harus dikonsumsi setiap hari. Separuh lagi yang disebut kelompok pembanding hanya memperoleh tablet yang tidak mengandung vitamin B atau lazim disebut placebo.

Setelah ujicoba selama dua tahun, otak masing-masing peserta riset discanner. Kelompok pembanding yang mendapat pil placebo menunjukan pertanda tegas penciutan volume otak. Akan tetapi, perbedaan penciutannya juga relatif kecil dan tidak mencolok dibanding kelompok yang diberi vitamin B dosis tinggi. Rata-rata perbedaan penciutan volumenya sekitar 30 persen, walaupun ada yang mencapai 50 persen. Laju penciutan volume otak ini tidak lebih buruk dibandingkan dengan para pengidap MCI.

John Hough, seorang responden berusia 80 tahun dari kelompok yang diberi vitamin B dosis tinggi, meyakini, ia mengalami perbaikan kondisi. “Saya mungkin mengalami kemunduran, tapi tidak ada yang mempedulikannya. Kita hanya peduli jika mulai membaik lagi. Istri saya menganggap saya membaik, jika itu terminologinya.”
Artinya, masih dipertanyakan bagaimana berfungsinya hal tersebut? Sejauh ini diketahui, penciutan volume otak berkaitan dengan kadar substansi tertentu yang ada secara alamiah dalam darah manusia yang disebut homocysteine. Semakin tinggi kadarnya, semakin cepat proses penciutan otak. Vitamin B berfungsi menurunkan kadar homocysteine dan dengan begitu memperlambat kecepatan penciutan otak.

Professor Robin Jacoby yang ikut melakukan riset khasiat vitamin B untuk mengerem kecepatan penciutan volume otak memang merasa puas. Namun ia juga masih berhati-hati dalam menyimpulkan hasilnya. “Kami sekarang ini belum memastikan apakah vitamin tersebut akan dapat mencegah atau menunda perubahan mental dari kepikunan. Kami hanya menunjukkan bahwa menciutnya otak diperlambat.“

Efek Sampingan

Tentu saja dalam berbagai penelitian serta ujicoba, terdapat peringatan akan dampak sampingannya. Para pakar kesehatan mengetahui adanya kaitan risiko kesehatan dengan pemberian vitamin B dosis tinggi. Salah satunya adalah gejala seperti hilangnya indra perasa pada kaki dan tangan. Juga terdapat sejumlah indikasi kaitan sebab dan akibat antara pemberian asam folat dengan munculnya kanker.

Walaupun begitu prof Jacoby menyebutkan, tidak terdapat bukti yang kuat mengenai keterkaitannya, “Dalam riset kami yang relatif kecil, di sana terdapat fakta, lebih banyak relawan yang terkena kanker di kelompok pembanding. Meskipun kita dapat memperkirakan, sejumlah orang akan mengembangkan kanker pada kelompok umur ini.”

Justru penelitian itu meningkatkan peluang bagi vitamin B untuk dapat digunakan sebagai obat pencegah penciutan otak. Pasien dapat mengkonsumsi vitamin B dosis tinggi sebagai langkah preventif. “Jika digunakan secara klinis, pasien akan diukur kadar homocystein-nya. Dan jika dianggap berisiko tinggi, mereka disarankan menggunakannya sebagai pencegahan,“ papar Prof. Jacoby.

Namun para peneliti juga mengingatkan, bahwa riset mereka baru berada pada tahapan awal. Mereka hanya dapat menunda proses penciutan otak pada manusia lanjut usia, sebuah proses yang diduga berkaitan dengan penyakit Alzheimer. Dalam penelitian belum dapat dibuktikan, bahwa pemberian vitamin B dosis tinggi dapat mengurangi prevalensi penyakitnya. Penelitian lanjutan akan dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut, kata para peneliti penyakit Alzheimer di Universitas Oxford Inggris.

Harapan bagi Penderita Gejala Alzheimer

Walaupun penelitan pemberian vitamin B dosis tinggi untuk mencegah perkembangan Alzheimer baru memasuki tahapan awal, Andrew Ketteringham dari perhimpunan bagi penyakit Alzheimer menyatakan optimis dan mengharapkan hasil yang lebih nyata, “Jika hal ini ada dampaknya pada gejala pikun, berarti peluangnya adalah kemungkinan menunda munculnya gejala pikun. Jika begitu kasusnya, berarti orang-orang dapat hidup lebih baik dengan kepikunannya. Dan kualitas kehidupan mereka juga meningkat pesat akibat hal itu.“

Memang sejauh ini sejumlah industri farmasi terkemuka terus berusaha menemukan obat-obatan untuk menanggulangi masalah demensia atau menurunnya fungsi otak yang terus meningkat di kalangan warga, seiring dengan juga meningkatnya umur harapan hidup manusia. Jutaan Euro sudah diinvestasikan dalam berbagai proyek penelitian dan pengembangan. Namun hingga kini hasilnya tetap belum memuaskan.

Diharapkan penelitian pencegahan Alzheimer dengan pemberian vitamin B dosis tinggi, akan memberikan terobosan yang cukup berarti. Paling tidak untuk mengerem kecepatan munculnya gejala Alzheimer pada manusia lanjut usia, dan dengan demikian dapat memperbaiki kualitas hidup mereka.

Stephen Beard/Agus Setiawan
Editor: Yuniman Farid


 

Stabilitas Oksitosin

  • Cara penggunaan dan stabilitas injeksi Piton (oksitosin) 
  • Tambahkan 10U oksitosin ke dlm 500 atau 1000 ml NS/RL/D5W sehingga konsentrasi larutan menjadi 20 mU/ml dan 10mU/ml
  • Inj. Piton sebaiknya disimpan pada suhu 20 – 50C, jangan simpan di frizer (Tatro, 2003; DIH 2009-2010, p. 1126)
Stabilitas injeksi ranitidin
  1. Inj. Ranitidin sebaiknya disimpan pada suhu 40-300C, dan hindarkan dari cahaya. Inj. Ranitidin dapat dicampur dg NS atau D5W dan larutan stabil selama 48 jam pada suhu kamar (DIH 2009-2010, p. 1295)
 
Stabilitas dan cara pemberian injeksi ondansetron
  1. Inj. Ondansetron sebaiknya disimpan pada suhu 20 – 300C dan terlindung dari cahaya. Sedangkan untuk infus IV, inj. Ondansetron dapat dilarutkan dlm 50 ml D5W atau NS dan larutan ini stabil selama 48 jam pd suhu kamar
  2. Untuk pencegahan mual dan muntah post operasi sebaiknya dosis tunggal diberikan secara injeksi IV lebih dari 2 – 5 menit (DIH 2009-2010, p. 1102)

     Stabilitas dan cara peberian injeksi furosemid
    1. Simpan injeksi pada suhu kamar dan lindungi dari cahaya, karena bila terpapar cahaya akan menyebabkan perubahan warna. Jangan gunakan larutan furosemid bila berwarna kuning. Larutan furosemin ini tidak stabil pada suasana asam, tetapi stabil pada suasana basa. Bila disimpan dalam lemari es bisa terjadi presipitasi atau kristalisasi
    2. Inj. Furosemid ini seharusnya diberikan secara perlahan dengan kecepatan lebih dari 1 – 2 menit (DIH 2009-2010, p. 676)

      Stabilitas dan cara pemberian injeksi atropin
      1. Simpan injeksi ini pada suhu kamar yang dikontrol pada suhu 150 – 300C, jangan simpan di frizer dan hindarkan dari cahaya
      2. Pemberian injeksi atropin lambat dapat menyebabkan paradoksikal bradikardi (DIH 2009-2010, p. 157)
        Stabilitas injeksi MgSO4
        1. Simpan pada suhu kamar dg suhu 200 – 250C. penyimpanan dalam lemari es menyebabkan terjadinya presipitasi atau kristalisasi (DIH 2009-2010, p. 917)


          Cara pemberian dan stabilitas injeksi ceftriaxone 
      1. Ceftriaxone injeksi diberikan secara perlahan
      2. 3 – 5 menit
      3. Bila direkonstitusi dg pelarut 250 ml ceftriaxone bertahan selama 24 jam bila disimpan pada suhu kamar dan tahan selama 3 hari bila disimpan di lemari es
      4. Bila direkonstitusi dg 100 ml WFI steril, 0,9% NaCl, dan 5% dextrose ceftriaxone bertahan 3 hari dalam suhu kamar dan 10 hari dalam lemari es (Tatro, 2003)
     
    Cara pemberian injeksi fentanil
    1. Pemberian infus fentanil IV pelan sebaiknya lebih dari 1 – 2 menit. Bila diberikan secara IV cepat dapat menyebabkan terjadinya kekauan otot (DIH 2009-2010, p. 610)

      Kontraindikasi, stabilitas, dan cara pemberian injeksi propofol
      1. njeksi propofol kontraindikasi dg pasien yang memiliki alergi telur, kedelai, dan produk-produk yg terbuat dari telur maupun kedelai (DIH 2009-2010, p. 1254). Oleh karena itu sebaiknya sebelum diberikan injeksi ini dipastikan bahwa pasien tidak alergi terhadap makanan tersebut
      2. Jangan gunakan injeksi propofol bila dicurigai terkontaminasi. Selain itu jangan berikan pada IV cateter yg juga digunakan untuk pemberian darah dan plasma. Propofol yg sudah tidak dipakai sebaiknya dibuang setelah 12 jam
      3. Injeksi propofol sebaiknya disimpan pada suhu 40 – 220C, jangan simpan di frizer, dan hindarkan dari cahaya. Jika dipindahkan ke syringe sebelum diberikan, gunakan selama 6 jam. Tetapi jika digunakan langsung dari vial/ prefilled syringe gunakan selama 12 jam. Kocok dulu sebelum digunakan dan jangan gunakan bila fase emulsi pecah. Untuk mendapatkan konsentrasi ≥ 2 mg/ml propofol mungkin dapat dilarutkan dlm D5W dan bisa bertahan selama 8 jam pd suhu kamar (DIH 2009-2010, p. 1254)
         
        Stabilitas injeksi vitamin C
        1. Buang larutan IV setelah 24 jam, dan simpan ditempat yang terlindung dari cahaya (Tatro, 2003)




Blood Specimen Collection Procedures

    

     Proper specimen collection presumes correct technique and accurate timing when necessary. Most hematology tests use liquid ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) as an anticoagulant. Tubes with anticoagulants should be gently but completely inverted end over end 7 to 10 times after collection. This action ensures complete mixing of anticoagulants with blood to prevent clot formation. Even slightly clotted blood invalidates the test, and the sample must be redrawn.
For plasma coagulator studies, such as prothrombin time (PT) and partial thromboplastin time (PTT), the tube must be allowed to fill to its capacity or an improper blood-to-anticoagulant ratio will invalidate coagulator results. Invert 7 to 10 times to prevent clotting.
Capillary Puncture (Skin Puncture)
Capillary blood is preferred for a peripheral blood smear and can also be used for other hematology studies. Adult capillary blood samples require a skin puncture, usually of the fingertip. For children, the tip of the finger is also often the choice. Infants younger than 1 year of age and neonates yield the best samples from the great toe or side of the heel.
Procedure
Capillary Blood
  • Observe standard precautions (see Appendix A). Check for latex allergy. If allergy is present, do not use latex-containing products.
  • Obtain capillary blood from fingertips or earlobes (adults) or from the great toe or heel (infants). Avoid using the lateral aspect of the heel where the plantar artery is located.
  • Disinfect puncture site, dry the site, and puncture skin with sterile disposable lancet, perpendicular to the lines of the patient's fingers, no deeper than 2 mm. If povidone-iodine is used, allow to dry thoroughly.
  • Wipe away the initial drop of blood. Collect subsequent drops in a microtube or prepare a smear directly from a drop of blood.
  • After collection, apply a small amount of pressure briefly to the puncture site to prevent painful extravasation of blood into the subcutaneous tissues.
     Dried Blood Spot
    • In this method, a lancet is used, and the resulting droplets of blood are collected by blotting them with filter paper directly.
    • Check the stability of equipment and integrity of supplies when doing a finger stick. If provided, check the humidity indicator patch on the filter paper card. If the humidity circle is pink, do not use this filter paper card. The humidity indicator must be blue to ensure specimen integrity.
    • After wiping the first drop of blood on the gauze pad, fill and saturate each of the circles in numerical order by blotting the blood droplet with the filter paper. Do not touch the  
    • patient's skin to the filter paper; only the blood droplet should come in contact with the filter pape.
    • If an adult has a cold hand, run warm water over it for approximately 3 minutes. The best flow occurs when the arm is held downward, with the hand below heart level, making effective use of gravity. If there is a problem with proper blood flow, milk the finger with gentle pressure to stimulate blood flow or attempt a second finger stick; do not attempt more than two.
    • When the blood circles penetrate through to the other side of the filter paper, the circles are fully saturated.
    •