The Pharmacist Room: Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Anatomi Kelenjar Prostat




Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak pada kelenjar prostat, disebabkan karena hyperplasia beberapa atau semua komponen prostat, antara lain jaringan kelenjar dan jaringan fibro-muskular, yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (PDT RSU Dr Soetomo, 2008). Kelenjar prostat terdapat diantara bladder (tempat penyimpanan urin) dan uretra (pembuangan urin). Kelenjar prostat akan membesar secara berlahan dan menekan uretra sehingga menyebabkan aliran urin terhambat dan terjadi retensi urin.

Kelenjar prostat terletak dibawah kandung kemih, melingkari uretra proksimal, berbentuk heart, seukuran kacang, dengan berat 4 – 20 g. Prostat memiliki dua fungsi utama yaitu:
(1) Mensekresi cairan prostat yang merupakan bagian dari volume ejakulat (20-40%)
(2) Melengkapi cairan prostat yang disekresi dengan efek antibakterial yang berhubungan dengan tingginya konsentrasi zinc.
Kelenjar prostat terdiri dari tiga tipe jaringan yaitu jaringan epitel, jaringan stroma, dan jaringan kapsul. Jaringan epitelial disebut juga jaringan glandular yang memproduksi cairan prostat yang dialirkan kedalam uretra selama ejakulasi. Jaringan stroma terdiri dari otot polos dan terdapat banyak reseptor α1-adrenergik sedangkan jaringan kapsul terdiri dari jaringan konektif fibrosa dan otot polos serta terdapat pula reeptor α1 adrenergik.
Pertumbuhan prostat terdiri dari 2 tahap, tahap pertama pada saat pubertas dimana prostat tumbuh sampai pada ukuran 15-20 g pada saat seorang laki-laki berumur 25-30 tahun dan ukuran prostat bertahan sampai pada umur 40 tahun. Tahap kedua pertumbuhan dimulai pada usia lebih dari 40 tahun dan berlangsung sampai pada umur 70-80 tahun. Selama periode tersebut pertumbuhan prostat dapat terjadi sampai empat kali lipat (Lee, M., 2008)

Masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihydrotestosterone (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH antara lain akibat hormon DHT, ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi antara sel stromal dan sel epitel prostat dan berkurangnya kematian sel (apoptosis) (Purnomo, 2003).

Benigna Prostatik Hyperplasia (BPH) diderita oleh laki-laki usia di atas 50 tahun. Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, diduga antara lain dari perubahan hormonal dan ketidakseimbangan faktor pertumbuhan (PDT RSU Dr Soetomo Surabaya, 2008).
Patogenesis BPH disebabkan oleh faktor statik dan faktor dinamik. Faktor statik berhubungan dengan pembesaran anatomis kelenjar prostat yang akan menyebabkan penyumbatan fisik pada leher kandung kemih sehingga nantinya akan menyumbat aliran urin. Pembesaran kelenjar prostat ini tergantung dari stimulasi androgen pada jaringan epitel dan stromal yang terdapat pada kelenjar prostat. Testosterone adalah hormon androgen testicular utama pada pria sedangkan androstenedion adalah hormone androgen adrenal utama. Kedua hormon ini bertanggungjawab terhadap pembesaran penis dan skrotum, meningkatkan massa otot dan menjaga libido normal pria. Androgen ini akan diubah menjadi metabolit aktifnya yaitu dihydrotestosterone (DHT) yang dapat menyebabkan pertumbuhan dan pembesaran kelenjar prostat. Sedangkan faktor dinamik berhubungan dengan peningkatan tonus α-adrenergik pada komponen stromal kelenjar prostat, leher kandung kemih dan uretra posterior yang akan menghasilkan kontraksi kelenjar prostat di sekeliling uretra dan mempersempit lumen uretra (Lee, 2008).

Pasien dengan Hiperplasia prostat dapat menunjukkan berbagai macam tanda dan gejala. Gejala berganti-ganti dari waktu ke waktu dan mungkin dapat semakin parah, menjadi stabil atau semakin buruk secara spontan. Di bawah ini ada beberapa gejala :
  • Lemahnya aliran urin.
  • Keragu-raguan pada awal buang air kecil.
  • Aliran urin tersendat-sendat.
  • Penetesan urin.
  • Rasa pengosongan kandung kemih yang tidak tuntas.
  • Gangguan urinasi seperti rasa belum selesai berurinasi.
  • Buang air kecil dengan frekuensi berlebihan pada malam hari.
(Clark, 2004)
Apabila buli–buli (kandung kemih) menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin. Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli – buli tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi.
Karena selalu terjadi sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam buli – buli. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistisis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid (Mansjoer dkk, 2000).
Ringan
≤7
Asymptomatic, laju puncak aliran urin <10 ml/s,volume residu setelah pengosongan >25-50 ml, peningkatan serum kreatinin dan BUN
Sedang
8-19
Semua gejala pada tingkatan sedang ditambah adanya gejala obstruksi dan iritasi pada saat pengosongan urin
Berat
≥20
Semua gejala pada tingkatan sedang ditambah adanya komplikai dari BPH
AUA : American Urological Association
(Lee,M., 2008).
Dengan menggunakan indeks AUA, pasien menilai 7 kerusakan dan gejala mengganggu yang menyusahkan. Setiap item dinilai keparahannya dalam skala 0 sampai 5, sehingga 35 merupakan skor maksimum dan gejala terberat yang konsisten.

Penentuan berat ringan gejala dari BPH juga dapat ditentukan dengan IPSS (International Prostate Symptom Score).
Ringan
IPSS <8, laju aliran urin maksimal >15 ml/mnt
Sedang
IPSS 9-18, laju aliran urin maksimal 10-15 ml/mnt
Berat
IPSS > 18, laju aliran urin maksimal < 10 ml/mnt
(PDT RSU Dr Soetomo Surabaya, 2008).
  1. Pemeriksaan laboratorium
Analisa urin dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
  1. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli – buli dan volume residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan dengan BPH maupun tidak (Mansjoer, Arif.,2000).
  1. a. Inspeksi buli-buli : ada/tidak penonjolan perut di daerah suprapublik (buli-buli penuh/kosong).
b. Palpasi Buli-buli : tekanan di daerah suprapubik menimbulkan rangsangan ingin kencing bila buli-buli berisi/ penuh
c. Perkusi : buli-buli penuh berisi urin memberi suara redup
  1. Colok dubur
  2. Uroflowmetri
(PDT RSU Dr Soetomo Surabaya, 2008)
  1. Terapi nonfarmakologi
Berupa observasi (watchfull waiting) dan dilakukan pada pasien dengan gejala yang ringan.
  1. Terapi farmakologi
    1. α-adrenergic antagonis
Penggunaan antagonis α-1-adrenergik karena secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat dan kapsul prostat sehingga terjadi relaksasi didaerah prostat. Hal ini akan menurunkan tekanan pada urethra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
    1. 5-α –reduktase inhibitor
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan dehidrotestosteron (DHT) sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan α-bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
    1. fitoterapi
Substansinya misalnya Pygeum africanum, Saw palmetto, Serenoa repeus.
  1. Pembedahan.
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu :
    1. retensio urin berulang
    2. hematuria
    3. tanda penurunan fungsi ginjal
    4. infeksi saluran kemih berulang
    5. tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis
    6. ada batu saluran kemih
Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi Transurethral Resection of the Prostate (TURP), Transurethral Insision of the Prostate (TUIP), prostatektomi terbuka, dan prostatektomi dengan laser dengan Nd-YAG atau Ho-YAG.
(Mansjoer, Arif.,2000)





Alogaritma Manajemen BPH
  (Lee,M., 2008)

DAFTAR PUSTAKA

British Medical Association, 2008. British National Formulary 56. London: Pharmaceutical Press.

Clark, C., 2004. Prostatitis, BPH and Prostate Cancer. The Pharmaceutical Journal Vol.272

Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., 2008. Drug Information Handbook 17th Ed. Canada : Lexi-Comp Inc.

Lee, M., 2008. Management of Benign Prostatic Hyperplasia. In : Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th Ed. New York ; McGraw Hill.

Mansjoer, A., Wardana, E., Saprohadi. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta : FK Universitas Indonesia.

Pagana K.D., Pagana. T.J., 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Tests, Ed 2th Missouri : Mosby Inc.

Platz, E.A., Rimm, E.B., 1999. Alcohol Consumption, Cigarette Smoking, and Risk of Benign Prostatic Hyperplasia. The Johns Hopkins University School of Hygiene and Public Health.

Poernomo, B., 2003. Dasar-dasar Urologi edisi 2. Malang : SMF/Lab Ilmu Bedah RSUD Dr.Saiful Anwar : FK.Universitas Brawijaya.

Tatro, D.S, 2003. A to Z drug Facts and Comparisons. Electronic version, Book@Ovid.

Tim Revisi PDT Sub Komite Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo surabaya. 2008.Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Bedah Urologi RSU Dr. Soetomo Surabaya. Edisi III. P 9-10
 

No comments:

Post a Comment