The Pharmacist Room

PELANGGARAN ETIKA DI ASURANSI KESEHATAN


Asuransi Kesehatan

Asuransi Kesehatan adalah sebuah janji dari perusahaan asuransi kepada nasabahnya bahwa apabila si nasabah mengalami risiko yang berhubungan dengan kesehatannya, seperti sakit sehingga harus dirawat inap, dirawat jalan, diobati atau dioperasi, maka perusahaan asuransi akan memberikan penggantian kepada si nasabah tersebut. Dengan mengambil Asuransi Kesehatan, diharapkan nasabah bisa terproteksi dari mahalnya biaya-biaya kesehatan saat ini. Salah satu perusahaan asuransi yang ada di Indonesia adalah PT. Askes (Persero).
PT. Askes (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya.
 Maksud dan tujuan perseroan ialah melaksanakan dan menunjang kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya, serta pembangunan di bidang asuransi khususnya asuransi kesehatan bagi PNS, PP, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan peserta lainnya serta menjalankan jaminan pemeliharaan kesehatan. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut diatas, dilakukan kegiatan usaha sebagai berikut :
  1. Menyelenggarakan asuransi kesehatan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran dan Perintis Kemerdekanaan beserta Keluarganya.
  2. Menyelenggarakan asuransi kesehatan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) bagi Pegawai dan Penerima Pensiun Badan Usaha dan Badan lainnya.
  3. Menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.
Dalam rangka mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan, PT Askes (Persero) memiliki budaya perusahaan yang dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari tercermin sebagai perilaku segenap jajaran perusahaan mulai dari Direksi hingga pegawai terendah berupa Integritas, Pelayanan Prima, Kerjasama dan Pembelajaran Secara Terus Menerus (Integrity, Service Excellence, Team Work, Continuous Learning), yang secara operasional dijabarkan sebagai berikut :
  1. Integritas (Integrity)
Menciptakan SDM yang memiliki jiwa pengabdian dan loyalitas serta tanggung jawab yang tinggi, yang terwujud dalam pelaksanaan tugas secara taat azas dan berdisiplin sehingga tercipta Good Corporate Governance.
  1. Pelayanan Prima (Service Excellence)
Senantiasa mengupayakan pelayanan yang terbaik bagi peserta dan mitra kerja untuk mencapai tingkat kepuasan peserta dan mitra kerja yang optimal untuk menciptakan pelayanan yang loyal.
  1. Peningkatan Kerjasama (Team Work)
Dibangun pemahaman visi bersama yang jelas, tujuan bersama, kerjasama yang sudah berjalan perlu dibina dan terus ditingkatkan agar ada saling tukar informasi program antar unit kerja di Kantor Pusat dan Daerah (Sharing of Information).
  1. Pembelajaran Terus Menerus (Continuous Learning)
Menciptakan iklim kerja yang menunjang semangat pembelajaran secara terus menerus baik secara perorangan maupun melalui program pendidikan dan pelatihan secara terencana, sehingga selalu inovatif mengatasi akibat-akibat perubahan lingkungan usaha dalam upaya peningkatan dan pengembangan guna mengoptimalkan kinerja perusahaan.
Visi Asuransi Kesehatan Indonesia adalah Spesialis dan Pusat Unggulan asuransi kesehatan di Indonesia. Sedangkan misinya adalah sebagai berikut :
  • Turut membantu pemerintah di Bidang Kesehatan
  • Menyelenggarakan Askes Sosial dengan prinsip-prinsip Asuransi Sosial berdasarkan Managed Care System untuk kemanfaatan maksimum bagi peserta
  • Menyediakan Sistem Informasi dan Manajemen yang handal untuk mendukung proses bisnis ekselen
  • Mengoptimalkan hasil pengelolaan dana untuk pengembangan program dan kepentingan peserta

Sebagai peserta askes memiliki hak sebagai berikut :
  • Memiliki Kartu Askes, untuk dapat dilayani pada fasilitas kesehatan yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan yang berlaku
  • Memperoleh penjelasan tentang hak, kewajiban serta tata cara pelayanan kesehatan
  • Menyampaikan keluhan baik secara lisan (telepon atau datang langsung) atau tertulis, ke Kantor PT Askes (Persero) setempat
Sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi peserta askes adalah sebagai berikut :
  • Membayar iuran
  • Memberikan data identitas diri untuk penerbitan Kartu Askes.
  • Mentaati semua ketentuan dan prosedur pelayanan kesehatan yang berlaku.
  • Menjaga Kartu Askes agar tidak rusak, hilang atau dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak.
Peserta mendapatkan pelayanan kesehatan pada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yang bekerjasama dengan PT. Askes (Persero), yang terdiri :
  1. Puskesmas, Dokter Keluarga, Klinik dan Balai Pengobatan Umum
  2. Rumah Sakit Pemerintah
  3. Rumah Sakit TNI/POLRI/Swasta
  4. Rumah Sakit Swasta tertentu
  5. Unit Pelayanan Transfusi Darah (UPTD)/PMI
  6. Apotik
  7. Optikal
  8. Balai Pengobatan Khusus (BP Paru, BP Mata dan sebagainya)
  9. Laboratorium Kesehatan Daerah di seluruh Indonesia
Jenis pelayanan kesehatan yang dijamin oleh PT. Askes adalah :
1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama di Puskesmas atau Dokter Keluarga, yang meliputi layanan Rawat Jalan Tingkat Pertama dan Rawat Inap Tingkat Pertama.
2. Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan di Rumah Sakit, yang meliputi layanan :
  • Rawat Jalan Tingkat Lanjutan
  • Rawat Inap Tingkat Lanjutan
  • Rawat Inap Ruang Khusus (ICU,ICCU)
  • Pelayanan Gawat Darurat (Emergency)
  • Persalinan
  • Pelayanan Transfusi Darah
  • Pelayanan Obat sesuai Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO) PT. Askes
  • Tindakan medis operatif dan tindakan medis non operatif
  • Pelayanan cuci darah
  • Cangkok (transplantasi) Ginjal dan ESWL (tembak batu ginjal)
  • Penunjang Diagnostik, seperti Laboratorium, Radiodiagnostik, Elektromedik, termasuk USG, CT Scan dan MRI
3. Alat Kesehatan, yang meliputi :
  • IOL, Pen dan Screw dan Implant lainnya
  • Kacamata (hanya peserta, tidak untuk anggota keluarga)
  • Gigi Tiruan (hanya peserta, tidak untuk anggota keluarga)
  • Alat Bantu Dengar (hanya peserta, tidak untuk anggota keluarga)
  • Kaki/ tangan tiruan (hanya peserta, tidak untuk anggota keluarga)
Sedangkan pelayanan yang tidak dijamin PT. Askes meliputi :
  • Pelayanan yang tidak mengikuti prosedur atau ketentuan yang berlaku
  • Penyakit akibat upaya bunuh diri atau dengan sengaja menyakiti diri
  • Operasi plastik kosmetik, termasuk obat-obatan
  • Check Up atau General Check-Up
  • Imunisasi diluar imunisasi dasar Seluruh rangkaian usaha ingin punya anak (infertilitas) Penyakit akibat ketergantungan obat atau alkohol
  • Sirkumsisi tanpa indikasi medis
  • Obat-obatan diluar DPHO termasuk Obat gosok, vitamin, kosmetik, makanan bayi
  • Pelayanan kursi roda, tongkat penyangga, korset dan lain-lain
  • Pengobatan di luar negeri
  • Pelayanan ambulance, pengurusan jenazah dan pembuatan visum et repertum termasuk biaya foto copy, administrasi, telepon, dan transportasi
  • Pemeriksaan kehamilan, gangguan kehamilan, tindakan persalinan, masa nifas anak ketiga dan seterusnya
  • Usaha meratakan gigi, dan membersihkan karang gigi
Sebagai salah satu upaya untuk mengentasan kemiskinan, Pemerintah melalui Departemen Kesehatan sejak tahun 2005 membuat Program Jaminan Kesehatan bagi Masyarakat miskin dan tidak mampu yang disebut dengan program Askeskin. Pengelolaan  Program Askeskin yang dilaksanakan  oleh PT. ASKES (Persero)  merupakan penugasan dari Pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor: 1241/MENKES/SK/XI/2004. Surat Keputusan Menteri yang terbaru adalah Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 471/2007 tentang jaringan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin. Sebagai BUMN, penugasan tersebut dilaksanakan dengan mengacu pada pasal 66 UU nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN dan telah mendapatkan persetujuan Menteri Negara BUMN dengan Surat Persetujuan  Meneg BUMN Nomor S-697/HBU/2004 tanggal 31 Desember 2004. Sejak tahun 2008, Departemen Kesehatan merubah terminologi Askeskin menjadi Jamkesmas dengan menugaskan PT Askes (Persero) untuk mengelola manajemen kepesertaannya.
  1. Sasaran Program Jamkesmas
Sasaran Program JAMKESMAS adalah setiap orang miskin dan tidak mampu yang pada tahun 2008 sebesar 19,1 juta Rumah Tangga Miskin (RTM) atau sekitar 76,4 juta jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang kuota untuk Kabupaten/Kota dan gelandangan, pengemis, anak terlantar serta masyarakat miskin yang tidak mempunyai identitas ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI (Menkes).
  1. Kepesertaan Jamkesmas
Berdasarkan Kuota yang ditetapkan oleh Menkes RI, Bupati/Walikota menetapkan Surat Keputusan tentang peserta JAMKESMAS yang dilampiri dengan identitas secara lengkap. Sedangkan penetapan peserta untuk gelandangan, pengemis, anak terlantar serta masyarakat miskin yang tidak mempunyai identitas dilakukan oleh Kepala Dinas Sosial Kabupaten/Kota atau Dinas lainyang ditunjuk oleh Bupati/Walikota. Berdasarkan penetapan tersebut di atas, PT. Askes (Persero) melakukan pencetakan dan mendistribusikan kartu peserta Jamkesmas.
  1. Ruang Lingkup Penugasan Jamkesmas Tahun 2008
Penugasan Departemen Kesehatan kepada PT Askes (Persero) dalam manajemen kepesertaan program Jamkesmas tahun 2008 meliputi :
  1.  Pengelolaan Jamkesmas Tahun 2009
Berdasarkan surat Menkes RI Nomor 1199/Menkes/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008, untuk pelaksanaan program Jamkesmas tahun 2009 Depkes RI tetap mengikutsertakan dan menugaskan PT. Askes (Persero) dalam penyelenggaraan Jamkesmas. Penugasan kepada PT. Askes (Persero) dikhususkan dalam hal penyelenggaraan manajemen kepesertaan sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI. Sampai dengan pertengahan bulan Agustus 2009, Perjanjian Kerjasama antara Departemen Kesehatan dengan PT Askes (Persero) dalam pengelolaan manajemen kepesertaan Program Jamkesmas masih dalam proses pembahasan. Hal ini disebabkan karena terdapat permasalahan pokok yang belum dapat disepakati yang berupa penggunaan satuan biaya umum APBN ( UU APBN) atau satuan biaya korporasi BUMN (UU BUMN).
Contoh kartu askes






Pada kenyataannya tidak semua prosedur dan aturan dalam menjalankan program asuransi ini dijalankan, terkadang ada penyimpangan-penyimpangan yang sering terjadi dan pastinya merugikan masyarakat. Hal ini merupakan perbuatan yang melanggar etika. Beberapa pelanggaran etika yang sering terjadi adalah :
-            Penggelembungan tagihan klaim Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin). Kelebihan dana dari klaim asuransi yang sebenarnya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi petugas yang sebenarnya sudah digaji sebagai pegawai askes, tentu saja hal ini merugikan keuangan negara.
-            Pungutan tak resmi terhadap keluarga miskin ketika menerima pelayanan kesehatan.
-            Adanya ketidak cocokan data penerima kartu program asuransi kesehatan (askes). Tidak dilakukannya verifikasi data pada jangka waktu tertentu menyebabkan kurang validnya data dimana kemungkinan adanya anggota askes yang sudah meninggal sehingga hak keanggotaannya tidak bisa digunakan lagi.
-            Dana asuransi seharusnya diterima dalam bentuk polis asuransi. Namun, ternyata diterima dalam bentuk uang setiap bulan. Pelanggaran ini sering dilakukan oknum anggota DPR/DPRD.
-            Kecenderungan tenaga dokter membebankan pasien dari keluarga miskin dengan resep obat yang harganya tinggi. Hal ini biasanya dilakukan demi kepentingan pribadi oknum dokter bersangkutan yang ingin mengambil untung dari resep.
-            Seringnya Askes menunda dan mengendapkan uang klaim pembayaran Askeskin ke rumah sakit yang seharusnya dibayarkan tepat waktu.
Dari pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat dilakukan analisis berdasarkan teori SWOT, yaitu strengt (kekuatan), weak (kelemahan), opportunity (peluang) dan threat (ancaman).
    1. Strength ( kekuatan)
      1. Yang menjadi kekuatan Apoteker dalam perusahaan ASKES adalah pengetahuan mengenai obat sehingga dapat meminimalisir kemungkinan klaim obat yang berlebihan serta dapat memberikan masukan mengenai DPHO
      2. Keberadaan asuransi kesehatan dapat mengubah sistem pembayaran pelayanan kesehatan menjadi sistem prabayar. Dengan sistem tersebut dokter tidak lagi dibayar berdasarkan jumlah pasien yang ditangani, sehingga mutu layanan kesehatan bisa meningkat karena dokter tak lagi kejar setoran.
      3. Akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dapat ditingkatkan, sehingga tidak ada lagi masyarakat miskin yang kesulitan memperoleh kesehatan karena alasan biaya
    2. Weak ( kelemahan)
      1. Kemampuan manajerial Apoteker lebih diutamakan dibandingkan kemampuan klinis
      2. Dana yang diklaim melalui askes tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan ketika mengobati pasien.
      3. Verifikasi yang dilakukan PT (Persero) Asuransi Kesehatan (Askes) tidak berjalan sama sekali. PT Askes, hanya mempunyai sedikit waktu untuk menyiapkan pelaksanaan program asuransi kesehatan sosial bagi masyarakat miskin. PT Askes baru ditunjuk menjadi pelaksana Askeskin November 2004 dan harus memulai program itu per Januari 2005 tanpa uang sama sekali.
      4. Kebijakan yang dibuat Depkes terkait Askeskin masih bercelah. Akibatnya, pihak yang tidak bertanggung jawab masih bisa memanfaatkannya untuk memperoleh keuntungan pribadi. Kondisi ini terjadi akibat informasi yang asimetri, seperti pembayaran klaim yang dilakukan oleh pihak ketiga, ditunjang sistem yang memberi peluang, serta kontrol yang lemah, insentif finansial, dan sanksi ringan.
      5. Jumlah peserta Askeskin menjadi sangat sulit untuk diketahui, sebab terkait dengan kepesertaan yang terbuka setiap saat melalui surat keterangan tidak mampu (SKTM). Hal ini juga menyulitkan penghitungan iuran dan manfaat serta mengakibatkan pembengkakan tagihan klaim biaya pelayanan kesehatan Askeskin.
      6. Keterbatasan data tentang jumlah penduduk miskin serta rinciannya.
      7. Sebagian besar biaya pengobatan yang dicover jamkesmas adalah biaya obat murah. Pengobatan dengan biaya tinggi kerap harus ditanggung masyarakat.
    3. Opportunity ( peluang )
      1. sistem baru yang akan digunakan dalam klaim askeskin, yakni sistem paket. Artinya, pembayaran asuransi berdasarkan jenis penyakitnya. Misalnya, operasi apendiks tanpa komplikasi itu harganya sekian. Kalau dengan komplikasi harganya lebih tinggi.
    4. Threat ( ancaman )
      1. UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman hukuman penjara sampai 5 tahunan atau denda pidana sebesar 2 milyar rupiah
      2. Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang Keuangan DPRD, terkait dengan penerimaan asuransi berupa polis. Hal ini terkait dengan aturan-aturan tunjangan yang berhak diterima anggota DPRD.
      3. UU No. 40/2004 tentang sistem jaminan sosial nasional (SJSN)
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua fihak dalam meningkatkan pengetahuan mengenai hal-hal yang terkait dengan penyimpangan yang terjadi di perusahaan asuransi. Tim penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kekurangan oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami nantikan.







COMBUSTIO

Definisi
Luka bakar merupakan bentuk spesifik dari trauma (Rakel&Bope, 2006). Luka bakar secara sederhana dipahami sebagai trauma panas pada kulit. Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering terjadi yang memperlihatkan morbiditas dan derajat yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain (Sjamsuhidajat & Jong, 2004).

Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya luka bakar, yaitu :
   1. Api
   2. Cairan panas
   3. Bahan Kimia
   4. Listrik
   5. Kontak dengan benda panas
   6. Suhu sangat dingin (forst bite)

Patofisiologi
Patofisiologi dari luka bakar dapat dipahami dengan melihat respon tubuh terhadap luka yang terjadi baik secara lokal ataupun sistemik.

Respon secara lokal
Jackson (1947) telah mendeskripsikan 3 zona dari luka bakar, yaitu :
1.Zona Koagulasi
Luka bakar yang sudah mencapai zona ini menandakan sudah terjadi kerusakan paling parah. Pada kondisi ini, jaringan tubuh rusak secara irreversibel akibat dari koagulasi protein.

2. Zona Stasis
Luka bakar yang mencapai zona ini ditandai dengan menurunnya perfusi jaringan. Jaringan pada zona ini masih dapat membelah untuk regenerasi. Oleh karena itu, terapi resusitasi yang diberikan pada pasien luka bakar ditujukan untuk meningkatkan perfusi jaringan dan mencegah terjadinya kerusakan irreversibel.

3. Zona Hiperaremia
Zona ini merupakan zona paling luar dari kulit yang bila terkena luka bakar juga dapat meningkatkan perfusi jaringan.

Respon secara sistemik
Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya pada area luka bakar memiliki efek secara sistemik. Hal ini terjadi pada luka bakar dengan luas 30% dari luas permukaan tubuh total. Efek sistemik yang terjadi adalah :

1.                      Perubahan sistem kardiovaskular, yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat menyebabkan lolosnya cairan dan protein intravaskuler menuju kompartemen interstitial. Selain itu, juga dapat terjadi vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan splanchnic, penurunan kontraktilitas miokard, dan memungkinkan untuk terjadinya pelepasan tumour necrosis factor. Bila terjadi pelepasan tumour necrosis factor yang disertai dengan kehilangan cairan dari daerah luka dapat mengakibatkan hipotensi sistemik dan end organ hypoperfusion.
2.                      Perubahan sistem pernafasan. Adanya mediator inflamasi dapat menyebabkan bronkokonstriksi dan beberapa sindroma distress pernafasan.
3.                      Perubahan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan laju metabolisme basal hingga 3 kali laju normal. Bila hal ini terjadi disertai dengan hipoperfusi splanchnic maka diperlukan nutrisi enteral tambahan untuk menurunkan katabolisme dan menjaga integritas usus.
4.                      Perubahan sistem imun yang ditandai dengan terjadinya down regulation non spesifik yang dapat memberikan efek terhadap sel-sel terkait dan jalur humoral.

Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari luka bakar tergantung dari kedalaman dan luas luka bakar. Kedalaman luka bakar dinyatakan dalam derajat (grade) sedangkan luas luka bakar dinyatakan dalam persentase.
Kedalaman Luka Bakar
Terdapat 4 macam derajat untuk menyatakan kedalaman luka bakar, yaitu:
1.            Derajat satu
Biasanya disebut superficial burn atau epidermal burn. Luka bakar ini hanya mengenai lapisan epidermis dan biasanya sembuh dalam 5-7 hari. Luka berupa eritema dengan keluhan rasa nyeri dan hipersensitivitas setempat. Misalnya : luka tersengat matahari
2.            Derajat dua
Biasa disebut partial thickness burn. Luka ini mencapai lapisan dermis, tetapi masih terdapat eleman epitel sehat yang masih tersisa. Luka ini dapat sembuh dengan sendirinya dalam 2-3 minggu. Luka bakar derajat dua ini dibagi menjadi dua macam, yaitu superficial dermal (luka yang mengenai lapisan dermis bagian atas, biasanya tampak melepuh) dan deep dermal (luka yang mengenai hingga lapisan dermal bagian bawah). Gejala yang timbul biasanya berupa nyeri, gelembung atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh karena permeabilitas dinding pembuluh yang meningkat.

3.            Derajat tiga
Biasanya disebut sebagai full thickness burn. luka ini mengenai hingga seluruh kedalaman kulit dan mungkin sub kutis atau organ yang lebih dalam. Pada luka derajat ini tidak ada elemen epitel hidup yang tersisa yang memungkinkan penyembuhan luka dari dasar luka. Penyembuhan dari luka bakar derajat ini dilakukan dengan pencangkokan kulit (skin grafting). Gejalanya berupa kulit tampak pucat berwarna abu-abu atau hitam dengan permukaan yang lebih rendah dari jaringan sekeliling yang masih sehat, tidak terdapat bula, dan tidak terasa nyeri.

Estimasi Kedalaman Luka Bakar
Memperkirakan kedalaman luka bakar merupakan suatu hal yang sulit. Keterangan dari pasien dapat memberikan bantuan dan petunjuk untuk menentukan kedalaman luka seperti yang diharapkan.
Adapun faktor–faktor yang dapat diperhatikan untuk memperkirakan kedalaman luka bakar adalah
   1. Pendarahan
   2. Sensasi
   3. Penampakan dan timbulnya pemutihan
Adapun tehnik yang dapat digunakan untuk memperkirakan kedalaman luka bakar adalah
   1. Tusukan jarum
   2. Klinis
   3. Pengecatan dengan “evans blue”.
   4. Termografi inframerah

Luas Luka Bakar
Penentuan luas luka bakar harus dilakukan seobyektif mungkin. Pada saat menghitung luas luka bakar tidak mengikutsertakan eritema.

Ada tiga metode yang dapat digunakan untuk menentukan luas luka bakar, yaitu :
1.      Palmar surface
Dilakukan dengan menghitung area telapak tangan yang terbakar. Area permukaan telapak tangan pasien (termasuk jari-jari) memiliki luas secara kasar sebesar 0,8% dari total luas permukaan tubuh. Permukaan telapak tangan relatif dapat digunakan untuk mengestimasi luas luka bakar ringan (<15% dari total luas tubuh) atau luka bakar yang sangat luas (>85%, bila kulit yang tidak terbakar juga tidak dihitung). Metode ini kurang akurat untuk luas luka bakar sedang.
2.      Wallace rule of nine
Metode ini merupakan metode yang baik dan cepat dalam mengestimasikan luka bakar sedang dan luas pada pasien dewasa. Tubuh pasien dibagi menjadi area 9%. Luas area luka bakar diperoleh dengan cara menjumlah keseluruhan persentase area tubuh yang terbakar. Tetapi metode ini kurang akurat bila dilakukan pada anak-anak.

Lund and Browder’s chart
Jika dapat menggunakan dengan benar, metode ini merupakan metode yang paling akurat. Metode ini menkompensasi variasi bentuk tubuh pada berbagai usia. Metode ini memberikan hasil yang akurat untuk kasus luka bakar pada anak-anak.

 Jenis Luka Bakar
American Burn Association mengklasifikasikan luka bakar menjadi 3 macam, yaitu
1.            Luka Bakar Berat (Major)
Yang termasuk luka bakar tingkat ini adalah luka bakar partial- thickness dengan luas lebih dari 25% pada pasien yang berusia 10-50 tahun; luka bakar partial- thickness dengan luas lebih dari 20% pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun dan dewasa yang berusia diatas 50 tahun; luka bakar full thickness dengan luas lebih dari 10%; luka bakar yang mengenai tangan, wajah, kaki, dan perineum; luka bakar yang sampai mengenai persendian; luka bakar yang mengenai circumferential dari ekstremitas; luka bakar yang memiliki komplikasi pada saluran pernafasan; luka bakar yang terjadi pada pasien anak dan lansia; dan luka bakar yang disertai dengan fraktur atau trauma lain.

2.            Luka Bakar Moderate
Yang termasuk luka bakar tingkat ini adalah luka bakar partial-thickness dengan luas kurang dari 15% pada pasien dengan usia 10-50 tahun; luka bakar partial- thickness dengan luas 10-20% pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun dan dewasa yang berusia diatas 50 tahun; luka bakar full thickness dengan luas kurang dari 10%; dan luka bakar partial-thickness yang tidak mengenai tangan, wajah, kaki, perineum, ataupun circumferential dari ekstremitas.

3.            Luka Bakar Ringan (Minor)
Luka bakar yang termasuk dalam tingkatan ini adalah luka bakar partial-thickness dengan luas kurang dari 15% pada pasien dengan usia 10-50 tahun; luka bakar partial- thickness dengan luas kurang dari 10% pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun dan dewasa yang berusia diatas 50 tahun; luka bakar full thickness dengan luas kurang dari 2% tanpa disertai dengan luka yang lainnya
Terapi
1.      Manajemen pernafasan (airway management)
Pada pasien luka bakar, hal terpenting yang harus diperiksa adalah terjadinya gangguan di bagian pernafasan. Bila terjadi gangguan hingga menimbulkan kesulitan bernafas pada pasien, maka tindakan intubasi dapat dilakukan. intubasi dilakukan dengan segera pada pasien yang tidak sadar dengan riwayat terkena paparan asap ataupun api dalam ruangan tertutup ataupun pada pasien dengan resiko tinggi terkena edema pada saluran pernafasan. Beberapa pasien memerlukan PEEP (positif end-expiratory pressure) untuk menjaga agar jalan nafas bagian distal tetap terbuka. Bila sekresi ataupun partikel inhalasi pada saluran nafas pasien terlalu berlebihan yang dapat mengakibatkan terjadinya bronkospasma, maka pemberian bronkodilator sangat efektif untuk mengatasi hal tersebut.

2.      Resusitasi cairan (fluid resuscitation)
Suatu konsep yang harus dipegang dalam shock luka bakar adalah terjadinya pergeseran cairan besar-besaran walaupun sisa cairan tubuh total tidak berubah. Oleh karena itu, resusitasi cairan baik yang berupa koloid, protein ataupun kristaloid harus segera diberikan kepada pasien luka bakar. Terapi replacement cairan ini dimodifikasi berdasarkan respon klinik pasien. Resusitasi yang berlebihan dapat menimbulkan respon udema. Volume cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi pada pasien tergantung dari keparahan luka, status psikologis, usia, dan komplikasi lain. Perhitungan kebutuhan cairan dihitung dari lama waktu pasien dari kejadian terkena luka bakar bukan dari waktu pertama kali pasien datang ke UGD. Untuk penanganan luka bakar yang luasnya lebih dari 15 %, kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama biasanya menggunakan rumus Parkland, yaitu: 4 mL RL(Ringer Lactat) x kg BB x %
                                                                                            Luas Permukaan Tubuh

Setengah dari hasil perhitungan diberikan dalam waktu 8 jam pertama dan sisanya diberikan selama 16 jam berikutnya. Pada banyak instansi,rumus ini memberikan output urine yang ideal.
Selain rumus diatas, ada juga rumus modifikasi Brooke yang merekomendasikan bahwa resusitasi untuk shock luka bakar sebaiknya dimulai dengan pemberian 2 cc/kg BB/% pada 24 jam pertama. Penggunaan rumus ini menghasilkan edema yang kecil. Rumus ini sangat sesuai untuk kondisi pasien yang disertai problem seperti penyakit jantung, insufisiensi ginjal, atau pasien yang membutuhkan dialisis. Pada beberapa burn center, seringkali menggunakan larutan salin hipertonik  (RL+50 mEq NaHCO3) dalam 8 jam pertama menggunakan rumus Parkland untuk pasien luka bakar dengan luas lebih dari 40%, pasien pediatrik, dan pasien yang memiliki komplikasi pada saluran pernafasan.
Plasma protein sangat penting peranannya dalam sirkulasi dalam menjaga tekanan onkotik untuk mengimbangi tekanan hidrostatik kapiler. Akan tetapi batasan jumlah optimal dari protein ataupun waktu infus yang dibutuhkan belum jelas. Biasanya bentuk fresh frozen plasma (0,5-1 cc/kgBB/% luka bakar) diberikan pada 24 jam pertama, dimana pada 8-10 jam pertama akan menghasilkan respon edema kecil dan penjagaan yang lebih optimal pada stabilitas hemodinamik pasien tertentu. Terapi ini sesui untuk pasien lansia, pasien dengan luka bakar yang disertai gangguan pernafasan,dan pasien dengan luka bakar yang luasnya lebih dari 50%.
Untuk pasien anak-anak, resusitasi yang dibutuhkan lebih tinggi dari pada pasien dewasa dengan luka yang sama. Rata-rata kebutuhan cairan pada anak-anak adalah 5.8 cc/kg/% luka bakar. Pemberian salin hipertonik dan albumin menjadi terapi standar pada pasien anak-anak. Output urine pada anak dijaga 0,5-1 ml/kg/jam pada pasien dengan berat badan kurang dari 30 kg. Selain itu, pasien dengan gangguan pernafasan membutuhkan cairan kristaloid rata-rata 5.7 cc/kg/% luka bakar.
3.      Pengatasan nyeri (pain management)
Nyeri dapat menjadi parah, terutama pada pasien dengan luka bakar partial-thickness. Biasanya, obat-obatan untuk mengatasi rasa nyeri diberikan secara intravena. Obat-obat yang diberikan biasanya berupa golongan narkotika. Morfin digunakan dengan dosis 0.1 mg/kg pada pasien dewasa atau 0.05 mg/kg pada lansia. Selain itu, juga dapat digunakan fentanil dengan dosis 50-100 mcg IV selama 1-3 menit. Penggunaan fentanil dengan durasi yang pendek (45-90 menit) menimbulkan efek hipotensi yang ringan (sebagai efek vasodilatasi dari golongan narkotik) karena pemberian yang cepat dapat dijadikan pilihan terapi bagi pasien yang intoleransi terhadap morfin. Bila pasien sangat cemas, tidak hipoksia ataupun hipotensi, maka digunakan lorazepam IV dalam dosis kecil. Sedangkan untuk pasien yang stabil dengan nyeri yang parah yang akan dilakukan tindakan seperti hand escharotomies, major debridement atau fracture reductions membutuhkan obat dengan tingkat sedasi sedang sampai dalam.

   4. Pengatasan komplikasi yang potensial ataupun aktual dari luka bakar (Management of Associated Injuries)

Komplikasi dari luka bakar tergantung dari kronologis peristiwa luka bakar yang dialami. Salah satu contoh adalah pasien luka bakar yang pada saat peristiwa disertai dengan paparan CO, maka terapi standarnya adalah dengan cara memberikan oksigen 100% selama 6-12 jam. Terapi oksigen hiperbarik diperlukan ketika pasien yang terpapar CO kondisi level carboxyhemoglobinnya lebih dari  25% disertai status depresi mental. Pasien seperti ini harus stabil secara hemodinamik dahulu sebelum memperoleh resusitasi cairan. Pasien luka bakar dengan luas lebih dari 25% harus dipasang NGT (nasogastric tube) untuk mencegah terjadinya vasokonstriksi splanik.

   5. Perawatan luka (wound care)

Pasien dengan luka besar yang akan dibawa ke burn center, lukanya sebaiknya ditutup dengan pembalut atau kasa steril untuk meminimalkan paparan organisme multiresisten diluar rumah sakit. Apabila masih memungkinkan sebaiknya sebelum ditutup, luka dicuci dengan larutan salin steril dan dibersihkan dengan sabun yang lembut. Pada kasus luka bakar, sebagian besar antibiotik topikal yang digunakan adalah silver sulfadiazin (SSD) yang merupakan antibiotik broadspectrum yang non toksik. Tetapi, penggunaan SSD ini dapat menimbulkan alergi dengan kejadian sebesar 5-7%. Antibiotik ini sebaiknya tidak digunakan pada ibu hamil ataupun ibu menyusui serta tidak digunakan pada wajah karena dapat meninggalkan noda. Sebaiknya SSD tidak diberikan pada pasien yang akan dibawa ke burn center, karena dapat mempersulit assessment kondisi luka, selain itu juga SSD akan tercuci sebagai upaya pembersihan luka. Salah satu contoh pembalut yang digunakan untuk perawatan luka adalah duoderm. Duoderm merupakan pembalut steril fleksibel yang memiliki dua lapisan yaitu lapisan terluar berupa polyurethane foam dan lapisan perekat bagian dalam yang berupa hydrocolloid polyurethane complex. Duoderm ini dapat menyembuhkan luka lebih cepat dengan memperbaiki penampilan luka, dan dibutuhkan dalam jumlah sedikit serta tidak begitu mahal. Pemilihan jenis pembalut sebaiknya didasarkan pada beberapa pertimbangan sesuai dengan kondisi luka pasien.


DAFTAR PUSTAKA


Hettiaratchy, S., et.al., 2004. ABC of Burn. An electronic publishing media. London : BMJ 329:504–6

Kurt Z. Long, Teresa Estrada-Garcia, et all. The Effect of Vitamin A Supplementation on the Intestinal Immune Response in Mexican Children Is Modified by Pathogen Infections and Diarrhea. Department of Nutrition, Harvard School of Public Health, Boston MA. J. Nutr. 2006.136: 1365–1370.

Lampiris, H.W and Maddix, D.S., 2001. Clinical Use of Antimicrobial Agent. In: B. Katzung. Basic & Clinical Pharmacology, Ed. 7th, San Fransisco: Appleton & Lange

McEvoy, G.K., 2004. AHFS Drug Information, USA: American Soc Health System

Mehta, D.K. (Ed.), 2008. British National Formulary, Edisi 56, London: BMJ Publishing Group Ltd.

MIMS Indonesia, 2009. MIMS Indonesia, edisi 8 Petunjuk Konsultasi. Jakarta : Info master.

Sazawal S dkk. Zinc supplementation in young children with acute diarrhea in India .N Enggl J Med 1995;333:839-44

SOB (Short of Breathness) atau dyspnea dan Atrial Fibrillation

SOB (Short of Breathness)
atau dyspnea adalah suatu kondisi dimana  paru terasa tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup, penyebabnya dapat karena asma, tekanan darah paru yang tinggi, stress, cairan di paru, dan gangguan jantung (Chest, 2006)
Atrial Fibrillation ialah takiaritmia supraventricular yang bercirikan tidak terkoordinasinya aktivasi atrial sebagai akibat gangguan fungsi mekanik dari atrial. Frekuensi atrium biasanya sangatlah cepat (400 sampai 600 beat/menit), Atrial gagal berkontraksi dan supraventrikular bergerak merangsang konduksi atrioventrikuler (AV) menghasilkan aktivasi ireguler dari ventrikel dengan frekuensi 120-180 beat/menit (Schwinghammer, 2009). Pada ECG, AF dideskripsikan sebagai penggantian secara konsisten gelombang P oleh osilasi yang cepat atau gelombang fibrilasi yang bervariasi baik ukuran, bentuk dan waktu yang berkaitan dengan Rapid Ventricular Respon (RVR) yang irreguler dan frekuen ketika AV teraktivasi (Fuster et al, 2001; Schwinghammer, 2009)

Etiologi dan patofisiologi
Klasifikasi AF berdasarkan durasi timbulnya dan gangguan yang ditimbulkannya: (Bakhshi et al, 2006; Fuster et al, 2001)
  • Paroxysmal AF
AF dikategorikan paroxysmal bila episodenya berhenti dengan sendirinya dalam waktu kurang dari 7 hari dan biasanya kurang dari 24 jam.
  • Persistent AF
AF dikategorikan persisten bila gagal berhenti dengan sendirinya dalam waktu 7 hari. Episodenya dapat berhenti dengan spontan atau dapat berhenti dengan kardioversion.
  • Permanent AF
AF dikategorikan permanen bila aritmia yang terjadi terakhir lebih dari 1 tahun dan kardioversion tidak berhasil.

Faktor resiko terjadinya AF:
Hipertensi, gagal jantung, IMA, gangguan katup jantung seperti mitral stenosis, mitral regurgitasi, post operasi jantung, chronic lung disease, emphysema, congestive heart dissease
AF juga dapat diiinduksi beberapa keadaan seperti:
  • Alcohol
  • Hipertiroid
AF terjadi pada 13% dari keseluruhan orang dengan overaktif kelenjar tiroid.
  • Obat-obatan
Obat-obatan yang menstimulasi jantung berkontribusi dalam perkembangan dari atrial fibrillation, termasuk didalamnya teofilin (yang digunakan untuk terapi asma atau chronic lung disease) dan juga kafein.

Gejala Klinis
            AF dapat simtomatik atau asimtomatik. Gejalanya sangat bervariasi tergantung dari kecepatan dari ventricular, status fungsional yang mendasari,  durasi AF, dan persepsi pasien secara individual. Kebanyakan pasien AF mengeluhkan palpitasi, nyeri dada, dyspnea, fatigue, sesak, short of breathness (Fuster et al, 2001; Schwinghammer, 2009)

Terapi
           Terapi AF diberikan dengan melihat jenis AF yang dialami pasien. (Bakhshi et al , 2006; Fuster et al, 2001; Khoo dan Lip, 2009)
1.      Paroxysmal AF
Tujuan terapi untuk paroxysmal AF :
a.       mengontrol ritme
Pasien dengan atau tanpa gangguan jantung diterapi dengan beta bloker. Pasien dengan paroxysmal AF tanpa gangguan jantung yang gagal dengan beta bloker, dapat diberikan flecanide, propafenone, solatol atau amiodaron. Bila pasien juga mempunyai gangguan fungsi ventricular atau coronary artery disease dan gagal dengan beta bloker, diberikan amiodaron.
b.      Mencegah terjadinya tromboemboli
Diberikan antitrombus
2.      Persisten AF
Tujuan terapi untuk persisten AF:
a.       Mengontrol kecepatan,ditujukan untuk pasien dengan kondisi:
Umur >65th, dengan coronary artery disease, kontraindikasi terhadap antiaritmia, tidak dapat dilakukan kardiokonversi, tanpa congestive heart failure.
b.      Mengontrol ritme, ditujukan untuk pasien dengan kondisi:
Pasien muda, simtomatik, pertama kali AF dengan AF tunggal, pasien dengan congestive heart failure. Pada pasien persisten AF yang telah berhasil diterapi dengan kardioversi, dan tidak memiliki resiko kekambuhan tidak memerlukan antiaritmia untuk menjaga ritme sinusnya. Pasien persisten AF yang membutuhkan antiaritmia dan memiliki gangguan jantung struktural diterapi dengan beta bloker untuk terapi awal, bila kontraindikasi atau tidak efektif dengan beta bloker diberikan amiodaron. Untuk pasien tanpa gangguan jantung struktural diberikan beta bloker untuk terapi awal dan bila tidak efektif diberikan flecaninide/sotalol, bila masih belum berhasil baru diberikan amiodaron. Antitrombotik yang diberikan walfarin atau heparin (Bakhshi et al, 2006).
3.      Permanen AF
Tujuan terapi untuk permanen AF:
a.        mengontrol rate
Terapi yang digunakan: beta bloker atau Ca antagonis monoterapi sebagai terapi awal. Digoksin diberikan sebagai monoterapi pada pasien dengan AF yang dominan untuk menetap. Bila terapi yang diberikan masih adekuat maka untuk mengontrol heart rate pada aktivitas normal diberikan beta bloker atau Ca antagonis bersama dengan digoksin, sedangkan untuk mengontrol baik pada aktivitas normal ataupun saat latihan ca antagonis dengan digoksin.
b.      Untuk pencegahan tromboemboli dan stroke
Walfarin dengan dosis yang disesuaikan (target INR 2.0-3.0), bila walfarin tidak dapat diberikan maka diberikan aspirin 75-300mg/hari

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, P.O., Knoben, J.E., and  Troutman, W.G., 2002. Handbook of Clinical Drug Data, 10th Ed, New York:  The McGraw-Hill Co., Inc.,pp300-303;718-719;727-729
Bakhshi et al., 2007.The Management of Atrial Fibrillation.National Institute for Health and clinical Excellence.London: NICE clinical
Carbajo, E.V. dan  Deewania, P.C., 2002  Congestive Heart Faiulure. In: Crawford, M.H. Current Diagnosis & Treatment in Cardiology 2nd Ed, Arizona: McGraw-Hill/Appleton & Lange.pp 356-407.
Fuster et al., 2001. ACC/AHA/ESC guidelines for Management of Patients With Atrial Firillation:Excecutive Summary. Circulation.104:2118-2150
Jessup et al.,2009. Focused Update:ACCF/AHA Guidelines for Diagnosis and Management of Heart Failure in Aduls. Circulation. 119:1977-2016
Khoo,C.W. dan Lip, G.Y., 2009. Acute Managemnt of Atrial Fibrillation. CHEST.135:849-859.
Martin, J., 2009. British National Formulary 58. London: Royal Pharmaceutical Society of Great Britain.
Pagana, K.D., Pagana, T.J., 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Test, 2nd edition, New York: Mosby, Inc.
Schwinghammer,T.(Eds) ,2009. Arrhythmias, In: Wells, B.G.,Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L.,Cecily, V.D. Pharmacotherapy Handbook 7th Ed, New York: Mc Graw Hill Companies, Inc., pp.60-73.
Struthers et al, 2007. Management of Chronic Heart Failure. A national clinical guideline.SIGN(Scottish Intercollegiate Guidelines Network), Edinburgh
Sweetman, S.(Eds)., 2007. Martindale : The Complete Drug Reference, 35th Edition, New York : The Pharmaceutical Press.
Tatro, D.S., 2003. A to Z Drug Facts, New York  :  Facts and Comparison