The Pharmacist Room

Self medication (Swamedikasi)




Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat baik obat modern maupun obat tradisional oleh seseorang untuk melindungi diri dari penyakit dan gejalanya (WHO,1998).
Sedangkan menurut The International Pharmaceutical Federation (FIP) yang dimaksud dari swamedikasi atau self medication adalah penggunaan obat non resep oleh seseorang atas inisiatif sendiri (FIP,1999).

Penggunaan Obat yang Rasional dalam Swamedikasi
Swamedikasi memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pemerintah dalam pemeliharaan kesehatan secara rasional. Namun bila tidak dilakukan secara benar justru menimbulkan bencana yaitu tidak sembuhnya penyakit atau munculnya penyakit baru karena obat dengan segala konsekuensinya. Untuk melakukan swamedikasi secara aman, efektif dan terjangkau, masyarakat perlu melakukan bekal pengetahuan dan ketrampilan. Masyarakat mutlak memerlukan informasi yang jelas dan terpecaya agar penentuan kebutuhan jenis atau jumlah obat dapat diambil berdasarkan alasan yang rasional (Suryawati,1997).
Untuk mengetahui kebenaran swamedikasi (Menggunakan Obat secara rasional) dapat digunakan indikator sebagi berikut (Depkes RI, 1996) :
1.      Tepat Obat, pelaku swamedikasi dalam melakukan pemilihan obat hendaknya sesuai dengan keluhan yang dirasakannya dan mengetahui kegunaan obat yang diminum.
2.      Tepat golongan, pelaku swamedikasi hendaknya menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas dan bebas terbatas.
3.      Tepat dosis, pelaku swamedikasi dapat menggunakan obat secara benar meliputi cara pemakaian, aturan pakai dan jumlah obat yang digunakan.
4.      Tepat waktu (Lama pengobatan terbatas), pelaku swamedikasi mengetahui kapan harus menggunakan obat dan batas waktu menghentikannya untuk segera meminta pertolongan tenaga medis jika keluhannya tidak berkurang.
5.      Waspada efek samping, pelaku swamedikasi mengetahui efek samping yang timbul pada penggunaan obat sehingga dapat mengambil tindakan pencegahan serta mewaspadainya.
Tanggung jawab dalam swamedikasi menurut World Health Organization (WHO) terdiri dari dua yaitu (WHO,1998) :
1.      Pengobatan yang digunakan harus terjamin keamanan, kualitas dan keefektifannya.
2.      Pengobatan yang digunakan diindikasikan untuk kondisi yang dapat dikenali sendiri dan untuk beberapa macam kondisi kronis dan tahap penyembuhan (Setelah diagnosis medis awal). Pada seluruh kasus, obat harus didesain spesifik untuk tujuan pengobatan tertentu dan memerlukan bentuk sediaan dan dosis yang benar.
Masalah – masalah yang umum dihadapi pada swamedikasi antara lain sakit kepala, batuk, sakit mata, konstipasi, diare, sakit perut, sakit gigi, penyakit pada kulit seperti panu, sakit pada kaki dan lain sebagainya (Edwards & stillman,2000).

Peran Farmasis dalam Swamedikasi
Pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari drug oriented menjadi klien oriented yang berdasarkan pada konsep “ Pharmaceutical Care” . Yang dimaksud dengan Pharmaceutical care adalah tanggung jawab farmakoterapi dari seorang farmasis untuk mencapai dampak tertentu dalam meningkatkan kualitas hidup klien (ISFI,2004). Peran farmasis diharapkan tidak hanya menjual obat tetapi lebih kepada menjamin tersedianya obat yang berkualitas, mempunyai efikasi, jumlah yang cukup, aman, nyaman bagi pemakaiannya dan harga yang wajar serta pada saat pemberiannya disertai informasi yang cukup memadai, diikuti pemantauan pada saat penggunaan obat dan akhirnya di evaluasi. Pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan klien atau masyarakat yang berkaitan dengan sediaan farmasi yang memenuhi standart dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Menurut World Health organization (WHO)peran farmasis dalam swamedikasi yaitu (WHO,1998) :
1.      Komunikator (Communicator)
Farmasis harus mempunyai inisiatif untuk berdialog dengan klien (dan dokter, jika dibutuhkan) untuk menggali tentang riwayat kesehatan klien. Untuk mendapatkan informasi yang benartentang kondisi klien, farmasis mengajukan beberapa pertanyaan kepada klien misalnya mengenai keluhan atau pengobatan yang pernah dilakukan klien. Dalam hal ini farmasis harus mampu mengenali gejala penyakit tanpa melangkahi wewenang dokter.
Farmasis harus memberikan informasi yang objektifyang diperlukan klien misalnya mengenai cara penggunaan obat atau cara penyimpanan obat. Untuk itu farmasis harus dapat memenuhi kebutuhan klien sebagai sumber informasi tentang obat, mendampingi dan membantu klien untuk melakukan swamedikasi yang bertanggung jawab atau bila perlu memberikan referensi kepada klien untuk melakukan rujukan kepada dokter.
2.      Penyedia obat yang berkualitas (quality drug supplier)
Seseorang Farmasis harus menjamin bahwa obat yang disediakan dalam swamedikasi berasal dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan dan berkualitas bagus. Selain itu farmasis juga harus menjamin bahwa obat – obat tersebut disimpan dengan baik.
3.      Pengawas dan pelatih (trainer and supervisor)
Untuk menjamin bahwa pelayanan yang diberikan berkualitas, maka farmasis harus selalu membekali diri dengan ilmu – ilmu terbaru untuk meningkatkan kemampuan profesional seperti mengikuti pendidikan berkelanjutan.
Farmasis harus menjamin bahwa pelayanan yang dilakukan oleh staf – staf yang bukan farmasis memiliki kualitas yang sama. Karena itu farmasis harus membuat protokol sebagai referensi bagi farmasis dan juga protokol bagi pekerja kesehatan masyarakat yang terlibat dengan penyimpanan dan distribusi obat.
Farmasis juga harus menyediakan pelatihan dan menjadi pengawas bagi staf-staf yang bukan farmasis.
4.      Kolaborator (collaborator)
Farmasis harus membangun hubungan profesional yang baik dengan profesional kesehatan yang lain, asosiasi profesi nasional, industri farmasi, pemerintah ( Lokal/Nasional ), klien dan masyarakat umum.
Pada akhirnya hubungan yang baik ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dalam swamedikasi.
5.      Promotor Kesehatan (Health promotor)
Sebagai bagian dari kesehatan, farmasis harus berpartisipasi dalam mengidentifikasi masalah kesehatan dan resikonya bagi masyarakat, berpartisipasi dalam promosi kesehatan dan pencegahan penyakit dan memberikan saran secara individual untuk membantu dalam menentukan pilihan informasi tentang kesehatan.
FIP juga merumuskan empat tanggung jawab farmasis dalam swamedikasi yang dituangkan dalam kesempatan bersama asosiasi industri obat (WSMI).
Empat tanggungjawab tersebut yaitu (FIP,1999) :
1.      Tanggungjawab profesional farmasis untuk memberi informasi dan saran yang objektif tentang swmedikasi dan obat – obatan yang tersedia untuk swmedikasi.
2.      Tanggungjawab profesional farmasis untuk melapor kepada pemerintah dan industri farmasi apabila ditemukan adanya efek samping yang muncul pada individu yang melakukan swamedikasi dengan menggunakan obat produk dari industri farmasi tersebut.
3.      Tanggungjawab profesional farmasis untuk merekomendasikan rujukan kepada dokter apabila swamedikasi yang dilakukan tidak tepat.
4.      Tanggungjawab profesional farmasis untuk memberi penjelasan kepada masyarakat bahwa obat adalah produk khusus dan harus disimpan serta diberi perhatian khusus. Farmasis juga tidak diperbolehkan melakukan hal yang dapat memicu masyarakat membeli obat dalam jumlah banyak sekaligus.

Terdapat beberapa hal yang harus di kuasai oleh seorang farmasis pada pelayanan swamedikasi, yaitu (Blenkinsopp & paxton,2002):
1.      Membedakan antara gejala minor dan gejala yang lebih serius.
“Triaging” adalah istilah yang diberikan untuk membedakan tingkat keseriusan gejala penyakit yang timbul dan tindakan yang harus di ambil. Farmasis telah memiliki prosedur untuk mengumpulkan informasi dari klien, sehingga dapat memberikan saran untuk melakukan pengobatan atau menyarankan rujukan ke dokter.
2.      Kemampuan mendengarkan (Listening skills)
Farmasis membutuhkan informasi dari klien untuk membatu membuat keputusan dan merekomendasikan suatu terapi. Proses ini dimulai dengan suatu pertanyaan pembuka dan penjelasan kepada klien kemungkinan diajukannya pertanyaan yang bersifat lebih pribadi. Hal ini diperlukan agar farmasis dapat mengenali gejala lebih jauh, sehingga dapat merekomendasikan terapi yg benar.
3.      Kemampuan bertanya (Questioning skills)
Farmasis harus memiliki kemampuan untuk mengajukan pertanyaan dalam usaha untuk mengumpulkan informasi tentang gejala klien. Farmasi harus mengembangkan suatu metode untuk mengumpulkan informasi yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus diajukan. Ada dua metode umum yang digunakan. 
Yang pertama disingkat sebagai WHAM
·         W : Who is the patient and what are the symptoms (siapakah klien dan apa gejalanya)
·         H : How long have the symptoms (berapa lama timbulnya gejala)
·         A : Action taken (Tindakan yang sudah dilakukan)
·         M : Medication being taken (obat yang sudah digunakan)
Yang kedua dikembangkan oleh Derek Balon, seorang farmasis di london yaitu ASMETHOD
·         A : Age / appearance (Usia klien)
·         S : Self or someone else (dirinya sendiri atau orang lain yang sakit)
·                    M : Medication (regularly taken on preskription or OTC) (Pengobatan yang sudah digunakan baik dengan resep maupun dengan non resep)
·         E : Extra medicine (Usaha lain untuk mengatasi gejala sakit)
·         T : Time persisting (lama gejala)
·         H : History (iwayat klien)
·         O : Other symptoms (gejala lain)
·         D : Danger symptom (Gejala yang berbahaya).
4.      Pemilihan terapi berdasarkan bukti keefektifan.
Farmasis memiliki dasar pengetahuan farmakologi, terapeutik dan farmasetika yang dapat digunakan untuk memberikan terapi yang rasional, didasarkan pada kebutuhan klien. Selain melihat kefektifan bahan aktif suatu obat, farmasis juga harus memperhatikan interaksi potensial, kontraindikasi, peringatan, dan profil efek samping dari bahan – bahan tambahan yang terkandung.
Farmasis dapat menyarankan rujukan kepada dokter jika gejala timbul dalam waktu yang lama, masalah berulang dan semakin parah, timbul nyeri yang hebat, penggobatan gagal, timbul efek samping, dan gejala yang berbahaya.
Informasi Obat dalam Swamedikasi
            Salah satu faktor penentu yang berperan dalam tindakan pengobatan sendiri atau self medication yaitu tersedianya sumber informasi tentang obat dan pengobatan. Ketersedianya sumber informasi tentang obat dapat menentukan keputusan dalam pemilihan obat (Sukasedati, 1999). Informasi obat disini merupakan tanggungjawab farmasis dan merupakan bagian dari konsep pharmaceutical Care.
            Seorang farmasis harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi yang dapat diberikan oleh seorang farmasis dalam pelayanan swamedikasi yaitu
(Jepson, 1990; Rudd C.C, 1983; WHO, 1998; MENKES RI,2004) :
1.      Nama obat dan kekuatannya, farmasis harus menjelaskan kesamaan penggunaan obat paten dan obat generik, apabila suatu saat terjadi penggantian obat.
2.      Indikasi dan aturan pakai, hal ini merupakan faktor penting yang harus di ketahui klien saat menerima obat. Sehingga klien benar – benar mengerti tentang waktu penggunaan obat dan instruksi khusus yang harus di perhatikan oleh klien, misalnya “kocok dahulu” atau “harus diminum saat lambung kosong”.
3.      Mekanisme kerja farmasis harus menjelaskan kerja obat sesuai dengan gejala yang diderita klien. Sebab beberapa obat memiliki mekanisme kerja yang berbeda, sesuai dengan indikasi terapinya.
4.      Efek pada gaya hidup, beberapa terapi dapat menimbulkan perubahan pada gaya hidup klien misalnya mengurangi mengkonsumsi alkohol, merokok, mengurangi olah raga berlebihan.
5.      Penyimpanan obat, informasi tentang cara penyimpanan obat sangat penting terutama untuk obat – obat yang memiliki aturan penyimpanan tertentu, misalnya harus di simpan di lemari es, harus disimpan terlindung dari cahaya atau di jauhkan dari jangkauan anak – anank.
6.      Efek samping potensial, klien harus diinformasikan tentang efek samping yang mungkin timbul dalam penggunaan obat. Efek samping tersebut dapat berupa efek samping ringan yang dapat di prediksi, contoh perubahan warna urin, sedasi, bibir kering dan efek samping yang perlu perhatian medis, misalnya reaksi alergi, nausea, vomiting dan impotensi.
7.      Interaksi antar obat dan makan, farmasis harus memberikan informasi tentang kemungkinan adanya interaksi antar obat yang digunakan ataupun dengan makan yang di konsumsi oleh klien, sehingga klien dapat mengetahui aturan pakai yang benar dari masing – masing obat, contohnya pemberian antikoagolan berinteraksi dengan pemberian aspirin.
Informasi tambahan lainya yaitu pembuangan obat yang telah kadaluarsa dan kapan saatnya berkonsultasi ke dokter.

DIABETES MELITUS NEFROPATI


FOOT ULC
DEFINISI
Diabetes melitus adalah kelompok gangguan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia, yang berhubungan dengan abnormalitas  metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Hal ini diakibatkan karena kekurangan sekresi insulin, sensitivitas insulin menurun, atau keduanya (Triplitt, C.L, Reasner, C.A and Isley, W.L, 2005).

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI (Triplitt, C.L, Reasner, C.A and Isley, W.L, 2005).
  • DM tipe 1. DM tipe 1 ini umumnya terjadi pada masa kanak-kanak atau dewasa muda dan biasanya disebabkan oleh destruksi sel β pankreas yang diperantarai sistem imun, menyebabkan defisiensi absolut insulin. . Faktor yang memunculkan respon autoimun tidak diketahui, tapi prosesnya dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi yang tersirkulasi ke berbagai antigen sel β (seperti antibodi islet cell, antibodi insulin).
  • Penyebab DM Tipe 2 adalah resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin manifestasinya berupa peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepar dan penurunan uptake glukosa ke otot rangka. Disfungsi sel β terjadi progresif dan memperburuk kontrol atas glukosa darah dengan berjalannya waktu. DM tipe 2 ini muncul ketika gaya hidup diabetogenik (asupan kalori berlebih, kurang latihan fisik, dan obesitas) dan resiko ini meningkat pada individu dengan bakat genetik.
  • Lain-lain. Penyebab DM selain yang tersebut diatas meliputi gangguan endokrin (akromegali, cushing sindrom), gestasional DM, pancreatitis, kortikosteroid
 
GAMBARAN KLINIK  (Triplitt, C.L, Reasner, C.A and Isley, W.L, 2005).
  • Individu dengan DM tipe 1 umumnya tampak kurus dan cenderung berkembang menjadi diabetic ketoacidosis (DKA) ketika insulin tidak diberikan atau dalam keadaan stress berat dengan peningkatan hormon counterregulary (Glukagon). Sekitar 20-40% pasien bermanifestasi dengan DKA setelah beberapa hari mengalami poliuria, polydipsi, poliphagia dan penurunan berat badan.
  • Pasien dengan DM tipe 2 seringkali asimtomatik. Namun beberapa mengalami komplikasi lanjut, seperti neuropati. Diagnosa DM tipe 2 harus dicurigai pada pasien obesitas, riwayat keluarga DM tipe 2, wanita yang melahirkan bayi dengan berat lahir besar, pasien dengan hipertensi, atau pasien dengan trigliserida tinggi (>250 mg/dL) atau HDL rendah (< 35 mg/dL).

DIAGNOSIS
Diagnosis diabetes melitus berdasarkan kriteria diagnosis yang ditetapkan oleh American Diabetic Association, 2008 sebagai berikut :
Terdapat gejala DM (polyuria, polydipsia, penurunan berat badan) disertai salah satu dari:
a.       Kadar gula darah acak ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b.      Kadar gula puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L)
c.       Kadar gula darah 2jam PP ≥ 200 mg/dl

PENATALAKSANAAN
            Prinsip terapi diabetes melitus pada dasarnya adalah mengkontrol kadar gula darah pada batas hampir normal dan mencegah terjadinya komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler.
Terapi nonfarmakologi
1.      Mengatur diet
2.      Meningkatkan aktivitas fisik
Terapi farmakologi
  1. Insulin
o   Short Acting Insulin
o   Intermidiate acting insulin
o   Long Acting






Tabel 1.1 Farmakokinetik Insulin (Kasper, 2005)
           
Berdasarkan data farmakokinetika tabel diatas, insulin short acting paling cepat diserap dengan durasi efek yang singkat sehingga insulin ini bisa diberikan segera sebelum makan untuk menurunkan glukosa post prandial. Insulin intermediate durasinya sedang dan insulin long acting durasinya panjang pada kedua insulin ini terjadi variasi pada absorpsi dan perbedaaan pada farmakokinetik bisa menyebabkan respon glukosa yang labil, nocturnal hipoglikemia, dan hiperglikemia sewaktu puasa (Triplitt, C.L, Reasner, C.A and Isley, W.L, 2005).

2. Obat Anti Diabetik Oral
o   Sulfonylurea
o   Biguanides
o   Meglitinide
o   Glitazones
o   Alfa-Glucosidase Inhibitor
     

Gambar I.1 Mekanisme Kerja Oral Anti Diabetik (Chehade, J.M and Mooradian, A.D, 2001).

KOMPLIKASI
            Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 kategori :
1.      Komplikasi metabolik akut, yaitu:
v  Ketoasidosis Diabetikum
v  Non Ketotic Hyperosmolar Syndrome
2.      Komplikasi vaskular jangka panjang
          Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh kecil (mikrovascular) dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar (makrovascular). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik), neuropati diabetic (sensorik, autonomic termasuk disfungsi seksual dan gastroparesis). Komplikasi makrovaskuler diantaranya cronic heart disease, cerebrovascular disease, peripheral arterial disease. Makroangiopati mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis, dan akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteria-arteria perifer maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermitent (nyeri betis) dan gangren pada ekstremitas (American Diabetic Association, 2008).
       Gangren (diabetic foot ulcer) mempunyai beberapa faktor resiko seperti pada gambar I.2.



Gambar I.2 Faktor resiko terjadinya foot ulcer (Frykberg, R.G., 2006)

Umumnya infeksi pada diabetic foot ulcer adalah polimikroba (gambar I.3) dengan Staphylococcus serta Streptococcus adalah bakteri yang paling dominan menyebabkan infeksi. Penanganan infeksi pada gangren memerlukan antibiotika yang sesuai. Pemilihan antibiotik secara empiris berdasarkan tingkat keparahan dengan kriteria luka yang mengancam ekstremitas (resiko amputasi) dan mengancam nyawa. Berikut ini adalah antibiotik yang terpilih:
1.      Non limb-threatening infection dengan kriteria ulcer berada pada lapisan superficial, tanpa tanda iskemia, serta penyakit tulang dan sendi (misal osteomylitis) : Untuk infeksi ini dapat digunakan antibiotika peroral yaitu cephalosporin (cefadroxil, cephalexin), fluoroquinolon (levofloxacin), penicilin (amoxilin/clavulanat), kotrimoxazol, doxycycline.
2.              Limb-threatening infection dengan kriteria infeksi yang lebih serius dan akut, dijumpai pada pasien diabetes dengan PAD, terjadi leukositosis serta gejala infeksi lain. Antibiotika yang dapat digunakan : Ampicilin/sulbactam, ticarcillin/clavulanat, ceftazidime + klindamisin, cefotaxim ± klindamisin, Fluoroquinolon + klindamisin, vancomisin + levofloxacin + metronidazol, imepenem/cilastin.
3.      Life-threatening infection. Antibiotika yang dapat digunakan : Ampicilin/sulbactam+aztreonam, Fluoroquinolon+vancomisin +metronidazol, imepenem/cilastin (Frykberg, R.G., 2006)










Gambar I.3. Distribusi bakteri pada diabetic foot ulcer (Frykberg, R.G., 2006)

            Penatalaksanaan terapi diabetic foot ulcer adalah penghentian merokok, koreksi abnormalitas lipid, dan terapi antiplatelet. Pengangkatan jaringan (debridemen) dan penggunaan alas kaki yang sesuai serta perawatan foot ulcer sangat penting pada penanganan awal lesi kaki. Perawatan topikal bisa bermanfaat pada lesi yang lebih parah (Triplitt, C.L, Reasner, C.A and Isley, W.L, 2005).


DIABETES NEFROPATI


Definisi
            Sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam atau 200 ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan.

Klasifikasi Nefropati Diabetik
Kelainan ginjal pada DM dibagi menjadi 5 tahap :
1.      Tahap 1
Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat
2.      Tahap 2
      Secara klinis belum tampak kalainan yang berarti, laju filtrasi glomerulus tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan membrane basalis yang tidak spesifik.
3.      Tahap 3
      Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 20-200 ig/menit atau 30-300mg/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat.
4    Tahap 4
      Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Luju filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya tekanan darah.
5.   Tahap 5
      Timbulnya gagal ginjal terminal

Etiologi Nefropati Diabetik
·         Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa > 140-160 mg/dl [7,7-8,8 mmol/l]); AlC . 7-8%
·         Faktor-faktor genetic
·         Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, peningkatan tekanan intraglomerulus)
·         Hipertensi sistemik
·         Sindroma resistensi insulin (sindroma metabolic)
·         Keradangan
·         Perubahan permeabilitas pembuluh darah
·         Asupan protein berlebih
·         Gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol, pembentukan advanced glycation end products, peningkatan produksi sitokin)
·         Pelepasan growth factors
·         Kelainan metabolisme karbohidrat / lemak / protein
·         Kelainan structural (Hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan membrane basalis glomerulus)
·         Gangguan ion pumps (peningkatan Na+-H+ pump dan penurunan Ca2+ ATPase pump)
·         Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)
·         Aktivasi protein kinase C

Karakteristik Nefropati Diabetik
§  Peningkatan material matriks mesangium
§  Penebalan membrane basalis glomerulus
§  Hialinosis arteriol aferen dan aferen
§  Penebalan membrane basalis tubulus
§  Atrofi tubulus
§  Fibrosis interstisial

Penatalaksanaan
1.      Pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes)
2.      Pengendalian tekanan darah ( diet rendah garam, obat anti hipertensi)
3.      Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian ACE-I dan atau ARB
4.      Pengendalian factor-faktor ko-morbiditas lain (pengendalian kadar lemak, mengurangi obesitas , dll)
5.      Melakukan gaya hidup sehat (olah raga rutin, diet, menghentikan rokok, membatasi konsumsi alcohol)
6.      Pilihan pengobatan terminal pada kasus nefropati diabetic sering dilakukan  cangkok ginjal dan pancreas.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, P.O., Knoben, J.E, Trotman, W.G., 1999. Handbook of Clinical Drug
Data, 9th Edition, New York : McGraw-Hill Companies, Inc.

Herfindal, E.T., Gourley, D.R., Hart, L.L., 1992. Clinical Pharmacy and Therapeutic, 5th Ed., USA: Williams & Wilkins

Katzung, B.G., 2001. Basic & Cilical Pharmacology, 8th Ed., New York: Mc Graw Hill Companies

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, WI., Setiowulan, W., 1999. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga., Jakarta : Media Aesculapius

McEvoy, Gerald K., 2004. AHFS Drug Information, America Society of Health-System Pharmacist : Bathesda

McPhee, S.J., Lingappa, V.R., Ganong, W.F., Lange, J.D., 1994, Pathophysiology of Disease, An Introduction to Clinical Medicine, 1st Ed., USA: Appleton & Lange

Resee R.E., Betts R.F., and Gumustop B., 2000. Handbook of Antibiotics, Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.

Triplitt, C.L., Reasner, C.A., Isley, W.L., 2005, Diabetes Mellitus, , In : Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey, L.M., (Eds).  Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach, 6th ed., New York : McGraw Hill Companies