The Pharmacist Room

Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

P
enyakit multisistem  yang sifatnya berfluktuasi dengan berbagai ragam presentasi klinis. Fungsi imunologis yang tidak normal dan pembentukan antibodi terhadap "diri" antigen mendasari patogenesis dari SLE (Delafuente and Cappuzzo, 2008)

ETIOLOGI
Penyebab ketidaknormalan produksi auto antibodi dan perkembangan SLE masih belum diketahui. Faktor genetik, lingkungan, dan hormonal mungkin memiliki peran dalam hilangnya "toleransi diri" dan ekspresi penyakit. Sebuah teori populer menyatakan bahwa penyakit autoimun seperti SLE berkembang pada individu dengan genetik yang rentan setelah paparan terhadap suatu agen tertentu dari lingkungan yang dapat memicu timbulnya SLE. Agen tertentu dari lingkunganyang dapat memicu atau mengaktifkan lupus antara lain sinar matahari (sinar ultraviolet), obat-obatan, bahan kimia seperti hidrazin (ditemukan di tembakau) dan amina aromatik (ditemukan di pewarna rambut), makanan, estrogen pada lingkungan, dan infeksi oleh virus atau bakteri (Mok and Lau, 2003). Selain itu, androgen dapat menghambat dan estrogen dapat meningkatkan ekspresi auto imunitas, dan peingkatan kadar prolaktin dalam darah memiliki hubungan tertentu dengan lupus pada laki-laki dan perempuan (McMurray, 2001; Mok and Lau, 2003)

PATOFISIOLOGI
SLE merupakan sindrom klinis daripada merupakan penyakit dengan patogenesis unik tertentu. SLE memiliki pengaruh besar dalam gejala dan ada hubungan terhadap sistem organ. Sebuah peristiwa besar dalam perkembangan SLE adalah produksi yang berlebihan dan abnormal dari autoantibodi dan pembentukan kompleks imun. Pasien dapat membentuk autoantibodi terhadap beberapa inti, sitoplasma, dan permukaan komponen beberapa jenis sel dalam berbagai sistem organ, selain itu juga marker seperti imunoglobulin G dan faktor koagulasi; dimana autoantibodi ini memiliki keterlibatan dalam multi system organ terkait dengan penyakit Hasil produksi autoantibodi yang berlebihan merupakan hasil adanya hiperaktivitassel limfosit B. Beberapa mekanisme yang mungkin menyebabkan hiperaktifnya sel B, ialah  hilangnya kekebalan "toleransi diri" dan beban antigenik tinggi terkait dengan antigen lingkungan dan diri yang  disampaikan kepada sel B oleh sel B lain atau sel spesifik antigen, pergeseran sel T-helper tipe 1 menjadi sel T-helper tipe 2 dapat lebih meningkatkan produksi antibodi sel B, dan penekanan defek dari sel B. Kerusakan pada proses lain dari regulasi kekebalan yang melibatkan limfosit T (Penekan sel T), sitokin (misalnya interleukin, tumor interferon-γ necrosis factor-α, faktor pertumbuhan transformasi-β), dan NK cells juga mungkin terlibat (Mok and Lau, 2003).
Disregulasi imun menyebabkan hiperaktif-nya sel B dan selanjutnya diikuti produksi autoantibodi patogen, digabungkan dengan rusaknya klirens sel apoptosis, diikuti oleh pembentukan kompleks imun, aktivasi komplemen, dan rusaknya klirens kompleks imun, dimana  semua menyebabkan reaksi inflamasi yang pada akhirnya menghasilkan cedera dan kerusakan jaringan (Delafuente and Cappuzzo, 2008).

MANIFESTASI KLINIK
Pada pasien dengan SLE terjadi banyak tanda dan gejala yang non spesufik antara lain kelelahan, demam, anoreksia, dan penurunan berat badan sering terlihat pada pasien positif menderita SLE. Adanya gangguan muskuloskeletal (misalnya, arthralgia, myalgia, dan arthritis) sangat umum dalam SLE, dimana arthritis dan arthralgia sering menjadi keluhan utama pada awal dari SLE. Semua sendi utama dan sendi kecil mungkin akan terpengaruh, dan pola arthritis sering terulang dengan durasi singkat. Manifestasi di kulit yang paling terkenal di antaranya adalah ruam kupu-kupu (butterfly rash), yang terjadi di atas jembatan hidung dan malar eminences. Lalu manifestasi yang menyangkut system pernapasan ialah radang selaput dada, batuk, dan nafas yg sulit. Manifestasi neuropsikiatri dari pasien SLE dapat muncul dalam berbagai bentuk gangguan seperti sakit kepala, psikosis, depresi, gelisah, kejang, stroke, neuropati perifer, gangguan kognitif, dan lain-lain. Gejala yang berhubungan dengan manifestasi gastrointestinal sering spesifik untuk lupus, diantaranya dispepsia, sakit perut, mual, dan kesulitan menelan. Anemia ditemukan pada banyak pasien dengan SLE. Hal ini biasanya merupakan anemia akibat peradangan kronis, dengan normokromik ringan. Beberapa pasien mungkin dapat terjadi anemia hemolitik dengan hasil tes Coombs positif. Leukopenia, biasanya ringan, terjadi pada sekitar setengah pasien SLE. Granulosit dan limfosit mungkin akan terpengaruh, tetapi biasanya ada penurunan lebih besar dalam limfosit, Trombositopenia dapat terjadi pada lupus, sering selama eksaserbasi penyakit, tapi biasanya ringan dan tidak meningkatkan kecenderungan pendarahan (Delafuente and Cappuzzo, 2008).

TERAPI
Hasil pengobatan yang diinginkan untuk pasien dengan lupus ada dua: (a) pengelolaan gejala dan induksi pemulihan keadaan selama masa kambuh penyakit dan (b) pemeliharaan pemulihan keadaan selama mungkin antara masa kambuh penyakit. Karena variabilitas dalam presentasi klinis dari penyakit, pengobatan akan berbeda-beda dan harus sangat individual. Perawatan pasien dengan SLE secara optimal akan mencakup edukasi dan layanan dukungan di samping perawatan non farmakologis dan perawatan farmakologis dibahas di bawah ini (Delafuente and Cappuzzo, 2008).

 Terapi nonfarmakologi
Beberapa tindakan  non farmakologis dapat digunakan untuk mengelola gejala dan membantu menjaga pemulihan keadaan. Kelelahan adalah gejala umum pada pasien dengan lupus. Istirahat dan olahraga secara rutin dan seimbang, sangat berguna untuk mencegah kelelahan. Merokok sebisa mungkin dihindari karena hydrazines dalam asap rokok bisa menjadi pemicu dari lingkungan untuk terjadinya lupus. Merokok juga telah dikaitkan dengan peningkatan aktivitas penyakit lupus. Mengenai makanan tidak ada hal khusus yang diketahui dengan jelas dapat mempengaruhi program klinis lupus. Namun, minyak ikan bisa mencegah keguguran derivatif pada wanita hamil dengan antibodi antifosfolipid, namun kecambah alfalfa harus dihindari karena mengandung asam amino L-canavanine, yang telah dikaitkan dengan perkembangan gejala lupus seperti dalam laporan berbagai kasus. Umumnya pasien dengan SLE harus membatasi paparan sinar matahari dan menggunakan tabir surya untuk memblokir kemungkinan memperburuk efek sinar ultraviolet terhadap keadaan lupus pasien, dimana jumlah batasan paparan sinar matahari harus diatur secara individual tergantung kondisi pasien (Delafuente and Cappuzzo, 2008)
.
Terapi farmakologi
Terapi obat untuk lupus dirancang untuk menekan respon imun dan peradangan. Secara umum, pilihan terapi obat tergantung pada luas dan tingkat keparahan penyakit.

1. NSAID
Pada pasien SLE, terdapat tanda dan gejala seperti demam, artritis, dan serositis adalah dimana hal ini umum pada pasien dengan penyakit aktif. Oleh karena itu, banyak pasien dengan penyakit ringan, pengobatan awal dengan NSAID adalah pilihan yang logis. Pemilihan NSAID dalam SLE adalah empiris. Dosis yang digunakan harus cukup untuk memberikan efek antiinflamasi, walaupun dosis rendah aspirin mungkin berguna dalam manajemen pasien dengan sindrom antifosfolipid. NSAID secara signifikan meningkatkan risiko iritasi lambung dan ulkus peptikum. Pemberian dengan dengan agen gastroprotectif  seperti inhibitor pompa proton dapat menguntungkan. Pasien dengan SLE yang memperoleh NSAID mungkin dapat mengalami penurunan fungsi ginjal karena efek obat dan bukan penyakit yang mendasarinya. NSAID dapat menurunkan aliran darah ginjal dan tingkat filtrasi glomerular, dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan nefritis. Kewaspadaan terhadap efek samping tersebut adalah penting karena fungsi ginjal menurun oleh obat mungkin dapat dianggap sebagai progresi yang keliru terhadap perkembangan penyakit ke arah nefritis lupus. Pasien dengan SLE memiliki kejadian hepatotoksisitas yang lebih tinggi dibanding pasien lain yang menerima NSAID tradisional. Penggunaan NSAID juga terkait dengan meningitis aseptik pada pasien SLE (Delafuente and Cappuzzo, 2008).
2. Anti Malaria
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hydroxychloroquine telah digunakan dengan sukses dalam pengelolaan lupus berbentuk discoid lupus dan SLE. Beberapa uji coba terkontrol memberikan bukti untuk peran terapi antimalaria dalam mengendalikan eksaserbasi penyakit dan sebagai steroid sparing agents. Secara umum, manifestasi dari SLE yang dapat dikelola dengan antimalaria adalah manifestasi kulit, arthralgia, radang selaput dada, peradangan perikardial ringan, kelelahan, dan leukopenia. Karena obat ini tidak efektif segera, maka obat ini paling baik digunakan dalam pengelolaan jangka panjang. Respon untuk klorokuin terjadi dalam 1 sampai 3 bulan, sedangkan pengaruh maksimal hydroxychloroquine mungkin terlihat hingga setelah3 - 6 bulan. Hydroxychloroquine mungkin lebih aman daripada klorokuin dan dianggap sebagai antimalaria pilihan utama. Mekanisme kerja obat antimalaria tidak pasti. Telah diketahui bahwa antimalaria mengganggu aktivasi T-limfosit. Efek lain antimalaria yang mungkin bermanfaat bagi pasien dengan SLE ialah inhibisi sitokin, penurunan sensitivitas terhadap sinar ultraviolet, aktivitas antiinflamasi, efek antiplatelet, dan aktivitas antihyperlipidemi. Dosis dan lama terapi tergantung pada respon pasien, adanya toleransi terhadap efek samping, dan perkembangan toksisitas retina, yang merupakan reaksi negatif potensial ireversibel yang terkait dengan terapi jangka panjang, terutama dengan klorokuin. Saat ini direkomendasikan dosis antimalaria pada SLE adalah hydroxychloroquine 200-400 mg / hari dan klorokuin 250-500 mg / hari. Setelah 1 atau 2 tahun pengobatan, penurunan bertahap dosis dapat dicoba. Beberapa pasien mungkin memerlukan tablet hanya 1 atau 2 per minggu untuk menekan manifestation pada jaringan kutan (Delafuente and Cappuzzo,2008)


3.  Kortikosteroid
Terapi Kortikosteroid adalah hal yang biasa dalam rejimen terapi untuk lupus. Meskipun bukti-bukti untuk hasil dengan terapi kortikosteroid tidak memadai, obat ini dikenal untuk menekan ekspresi klinis penyakit dan dianggap menjadi faktor utama dalam perbaikan prognosis dalam beberapa tahun terakhir. Kebanyakan uji klinik terkontrol  mengenai terapi kortikosteroid telah dilakukan pada pasien dengan nefritis lupus parah, juga bukti menunjukkan bahwa kortikosteroid juga efektif dalam pengelolaan kasus-kasus yang parah penyakit SSP, pneumonitis, polyserositis, vaskulitis, trombositopenia, dan manifestasi klinis lainnya. Seorang pasien dengan diagnosis SLE tidak secara otomatis membutuhkan terapi kortikosteroid. Tingkatan penyakit ringan dengan manifestasi seperti demam, arthralgia, radang selaput dada, atau manifestasi kulit dapat menunjukkan respon positif penggunaan NSAID atau Antimalaria, tetapi pasien dengan manifestasi klinis yang lebih serius atau tidak responsif terhadap obat lain biasanya membutuhkan kortikosteroid. Beberapa pasien dengan dermatitis lupus dapat lebih baik menggunakan administrasi topikal atau intralesi dari kortikosteroid. Tujuan pengobatan dengan kortikosteroid dalam SLE adalah untuk menekan dan mempertahankan penekanan terhadap penyakit aktif dengan dosis serendah mungkin. Pada pasien dengan penyakit ringan, terapi dosis rendah (prednison 10-20 mg / hari) sudahlah cukup, tetapi pada pasien dengan penyakit yang lebih parah (anemia hemolitik berat atau keterlibatan jantung), dosis yang lebih tinggi, seperti prednison 1-2 mg / kg sehari, mungkin diperlukan. Setelah penekanan penyakit yang memadai tercapai, dosis harus meruncing ke jumlah minimum yang diperlukan untuk penekanan penyakit lanjutan.
Terapi steroid dengan system pulse therapy adalah administrasi jangka pendek, kortikosteroid intravena dosis tinggi dengan tujuan mendorong pemulihan keadaan pada pasien SLE serius, penyakit yang mengancam nyawa, seperti nefritis aktif parah, keterlibatan SSP, atau penyakit hemolitik. Standard regimen terapi ini terdiri dari methylprednisolone intravena 5-100 mg untuk 3 sampai 6 hari berturut-turut. Pulse therapy biasanya diikuti dengan terapi prednison dosis tinggi (1 sampai 1,5 mg / kg per hari) yang dosisnya di lakukan penurunan cepat  menuju terapi dosis rendah untuk pemeliharaan. Keuntungan potensial dari pulse therapy pada dosis steroid oral yang lebih tinggi termasuk respon penyembuhan yang lebih cepat dan menghindari efek samping terkait dengan durasi yang lebih lama dari yang dibutuhkan dengan terapi steroid oral. Meskipun umumnya ditoleransi dengan baik, terapi methylprednisolone dengan metode pulse therapy dapat menyebabkan efek buruk yang signifikan, termasuk infeksi, gangguan pencernaan, peningkatan tekanan darah secara cepat, aritmia, kejang, dan kematian mendadak. Selain itu, ada keterbatasan data dari uji klinis terkontrol dengan jelas mendefinisikan peran steroid dengan pulse therapy dalam pengelolaan SLE. Jadi pulse therapy merupakan mode alternatif pengobatan untuk pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa atau penyakit tidak responsif terhadap farmakoterapi lainnya (Delafuente and Cappuzzo, 2008).

4. Obat Sitotoksik
Sejumlah besar literatur ada menggambarkan penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif dalam SLE, walaupun beberapa ini adalah laporan uji klinis terkontrol. Termasuk dalam kategori ini adalah siklofosfamid (alkylating agent) dan azathioprine (antimetabolit). Obat ini, biasanya digunakan dalam kombinasi dengan kortikosteroid, dimana telah menjadi terapi tetap pada imunosupresif. Meskipun kedua dikenal untuk menekan dan menstabilkan aktivitas penyakit extrarenal, banyak evaluasi agen ini difokuskan pada nefritis lupus, yang merupakan faktor utama yang berhubungan dengan morbiditas dan kematian pada lupus. Terapi dengan sitotoksik berguna dalam kombinasi dengan kortikosteroid, yang memungkinkan untuk dosis steroid rendah dan kemanjuran meningkat dibandingkan dengan steroid saja. Namun, terapi sitotoksik harus dimonitor efek yang merugikan, dan respon maksimum dapat memakan waktu 6 bulan atau lebih dalam beberapa pasien (Delafuente and Cappuzzo,2008)


DAFTAR PUSTAKA

Bayle, J.R., Johson, C.A., Mason, N.A., Pieter, B.L., 2004. Medfact : Pocket Guide of Drug Interaction. USA

Delafuente, J.C., and Cappuzzo, K.A., 2008, Systemic Lupus Erythematosus, In : Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey, L.M., (Eds),  Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach, 7th ed., New York : McGraw Hill Companies, Inc, p. 1431 - 1445.

Lacy, C. F., Armstrong, L.L., Goldman M.P, Lance L.L., 2009, Drug Information Handbook 18th ed., United States: Lexi-Comp.

Martin, J., 2008, British National Formulary 56. September 2008. London : BMJ Publishing Group Ltd. p.325 - 330

McMurray, R.W., 2001, Sex Hormones in the Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus, In: Frontiers in Bioscience 6, p. 193 – 206.

Mok, C.C., and Lau, C.S., 2003, Review : Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus, In: J Clin Pathol 2003; 56, p. 481 – 490.

Sweetman, S.C., 2009, Martindale The Complete Drug Reference 36th ed, London: Pharmaceutical Press

Trissel, L.A., 2007, Handbook of Injectable Drugs 14th ed, United States: American Society of Health System Pharmacist.

APAKAH HEPATITIS AKUT BERBAHAYA

            
Hepatitis akut merupakan penyakit infeksi akut dengan gejala utama berhubungan erat dengan adanya nekrosis pada hati. Biasanya disebabkan oleh virus yaitu virus hepatitis A, virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan virus-virus lain (Mansjoer, 2005).

Patofisiologi
  • Sistem imun bertanggung jawab untuk terjadinya kerusakan sel hati melibatkan respon CD8 dan CD4 sel T serta produksi sitokin di hati dan sistemik.
  • Efek sitopatik langsung dari virus
(Sudoyo, 2007).

  Gambaran Klinis
Pada infeksi yang sembuh spontan:
·   Spektrum penyakit mulai dari asimtomatik, infeksi yang tidak nyata sampai kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal hati akut.
·   Sindrom klinis yang mirip pada semua virus penyebab mulai dari gejala prodromal yang non spesifik dan gejala gastrointestinal seperti a) malaise, anoreksia, mual dan muntah. b) gejala flu, faringitis, batuk, coryza, fotofobia, sakit kepala , dan mialgia.
·   Awitan gejala cenderung muncul mendadak pada HAV dan HEV, pada virus yang lain secara insidious.
·   Demam jarang ditemukan kecuali pada infeksi HAV.
·    Immune complexmediated, serum sickness like syndrome dapat ditemukan pada kurang dari 10% pasien  engan infeksi HBV, jarang pada infeksi virus yang lain.
·   Gejala prodromal menghilang pada saat timbul kuning, tetap gejala anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap.
·   Ikterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus (biasanya ringan dan sementara) dapat timbul ketika ikterus meningkat.
·   Pemeriksaan fisis menunjukkan pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati.
·   Splenomegali ringan dan limfadenopati pada 15-20% pasien.
(Sudoyo, 2007)

 Pencegahan
Terhadap virus hepatitis A
§ Penyebaran secara fekal-oral, pencegahan masih sulit karena adanya karier dari virus tipe A yang sulit ditetapkan.
§ Virus ini resisten terhadap cara-cara sterilisasi biasa. Sanitasi yang sempurna, kesehatan umum, dan pembuangan tinja yang baik sangat penting. Tinja, darah, dan urin pasien harus dianggap infeksius. Virus dikeluarkan di tinja mulai sekitar 2 minggu sebelum ikterus.
Terhadap virus hepatitis B
§ Dapat ditularkan melalui darah dan produk darah. Darah tidak dapat disterilkan dari virus hepatitis. Pasien hepatitis sebaiknya tidak menjadi donor darah.
§ Usaha pencegahan yang paling efektif adalah imunisasi. Imunisasi hepatitis B dilakukan terhadap bayi-bayi setelah dilakukan penyaring HB- sAg pada ibu-ibu hamil. Namun, saat ini di beberapa negara (termasuk Indonesia) bayi-bayi lahir diberi vaksinasi hepatitis B tanpa melakukan pemeriksaan penyaring pada ibunya.
Pencegahan dengan imunoglobulin
Pemberian imunoglobulin (HBIg) dalam penccegahan hepatitis infeksiosa memberi pengaruh yang baik, sedangkan pada hepatitis serum masih diragukan kegunaannya. Diberikan dalam dosis 0,02 ml/kg BB i.m dan ini dapat mencegah timbulnya gejala pada 80-90%. Diberikan pada mereka yang dicurigai ada kontak dengan pasien (Mansjoer, 2005).

 Penatalaksanaan
§  Istirahat baring pada masa masih banyak keluhan, mobilisasi berangsur dimulai jika keluhan atau gejala berkurang, bilirubin dan transaminase serum menurun, aktivitas normal sehari-hari dimulai setelah keluhan hilang dan data laboratorium normal.
§  Diit khusus tak ada, yang penting adalah jumlah kalori dan protein adekuat, disesuaikan dengan selera penderita, terkadang pemasukan nutrisi dan cairan kurang akibat mual dan muntah, sehingga perlu ditunjang oleh nutrisi parenteral, infus dekstrose 10-20% 1500 kalori/hari.
§  Hingga sekarang belum ada pengobatan spesifik bagi hepatitis virus akut. Tidak ada indikasi terapi kortikosteroid untuk hepatitis virus akut, penambahan vitamin dengan makanan tinggi kalori atau protein pada penderita yang mengalami penurunan berat badan atau malnutrisi.
(Pedoman Diagnosa dan Terapi, 2008)

 Tinjauan Kolelitiasis
Kolelitiasis (batu empedu)
Pada umumnya batu empedu dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:
·      tipe kolesterol
·      tipe pigmen empedu
·      tipe campuran
Beberapa faktor resiko terjadinya batu empedu antara lain jenis kelamin, umur, hormon wanita, infeksi (kolesistitis), kegemukan, serta faktor genetik.
Terjadinya batu kolesterol adalah akibat gangguan hati yang mengekskresikan kolesterol berlebihan hingga kadarnya diatas nilai kritis kelarutan kolesterol dalam empedu.
Sedangkan tipe pigmen biasanya adalah akibat proses hemolitik atau infeksi E.coli atau Ascaris lumbricoides ke dalam empedu yang dapat mengubah bilirubin diglukuronida menjadi bilirubin bebas yang mungkin dapat menjadi kristal kalsium bilirubin (Mansjoer, 2005).

Manifestasi Klinis
            Kelainan ini frekuensinya meningkat sesuai bertambahnya umur. Mungkin tanpa gejala, mungkin pula terdapat gejala-gejala seperti perasaan penuh di epigastrium, nyeri perut kanan atas, atau dapat juga kolik bilier disertai demam dan ikterus (Mansjoer, 2005).

Komplikasi
            Komplikasi yang penting ialah terjadinya kolesistitis akut dan kronik, koledokolitiasis, dan pankreatitis. Yang lebih jarang ialah kolangitis, abses hati, sirosis bilier, empiema, dan ikterus obstruktif (Mansjoer, 2005).

Penatalaksanaan
·         Konservatif
a.       Diet rendah lemak
b.      Obat-obat antikolinergik-antispasmoidik
c.       Analgesik
d.      Antibiotik, bila disertai kolesistitis
e.       Asam empedu (asam kenodeoksikolat) 6,75-4,5 g/hari, diberikan dalam waktu lama, dikatakan dapat menghilangkan batu empedu, terutama batu kolesterol. Asam ini mengubah empedu yang mengandung banyak kolesterol (lithogenic bile) menjadi empedu dengan komposisi normal. Dapat juga untuk pencegahan, namun efek toksiknya banyak, kadang-kadang diare
·         Kolesistektomi
Dengan Kolesistektomi, pasien tetap dapat hidup normal. Umumnya dilakukan pada pasien dengan kolik bilier atau diabetes (Mansjoer, 2005).

 Kami harap dengan Ikhlas untuk segera bergabung di TEAM kami di Web di bawah ini dan Raih Uang Puluhan Juta : by Tung Desem Waringin 


DAFTAR PUSTAKA

Deska Pagana, Kathleen, James Pagana, Timothy, 2002, Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Test, 2nd edition, St. Louis: Mosby’s Inc
Ganiswara, Setiabudi R., Suyatna FD., Purwantyastuti., Nafriadi., 1995. Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, p 48-49, 504
Mansjoer, Suprohaita., Wardhani WI., Setiowulan W., 2005. Kapita Selekta Kedokteran, jilid 2. Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, p 513-514
Sacher RA and McPherson RA., 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi 11. Penerbit Buku Kedokteran ECG, p 364-365, 371
Sudoyo, Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S., 2007. Hepatitis Virus Akut. In: Andri Sanityoso, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya : Airlangga University Press, p. 427–432
Tjokroprawiro A., Hendramartono dan Sutjahjo A.., 2008. Pedoman Diagnosa dan Terapi bag/SMF Ilmu Penyakit Dalam. Rumah   Sakit Umum Dr.Soetomo: Surabaya

GASTROENTERITIS AKUT (GEA) + CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

I. GASTRO ENTERITIS AKUT
DEFINISI
Gastroenteritis merupakan keadaan non-spesifik untuk berbagai macam keadaan patologis di jalur gastrointestinal. Manifestasi utama dari gastroenteritis adalah diare  (Diskin, 2009). Diare akut merupakan diare yang terjadi selama kurang dari 14 hari (Spruill & Wade, 2008).


ETIOLOGI
Agen infeksius biasanya menjadi penyebab GEA. Agen ini menyebabkan diare dengan penempelan, invasi mukosa, produksi enterotoksin dan atau produksi sitotoksin (Diskin, 2009).
Diare akut dapat juga dapat disebabkan oleh intoksikasi (poisoning), alergi, reaksi obat-obatan, dan juga faktor psikis (Zein, 2004)

PATOFISIOLOGI
Pendekatan klinis yang sederhana dan mudah adalah pembagian diare akut berdasarkan proses patofisiologi enteric infection, yaitu membagi diare akut atas mekanisme Inflamatory, Non inflammatory, dan Penetrating.
 Inflamatory diarrhea akibat proses invasion dan cytotoxin di kolon dengan manifestasi sindroma Disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah (disebut juga Bloody diarrhea). Biasanya gejala klinis yang menyertai adalah keluhan abdominal seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, secara mikroskopis didapati leukosit polimorfonuklear. Mikroorganisme penyebab seperti, E.histolytica, Shigella, Entero Invasive E.coli (EIEC),V.parahaemolitycus, C.difficile, dan C.jejuni.
Non Inflamatory diarrhea dengan kelainan yang ditemukan di usus halus bagian proksimal, Proses diare adalah akibat adanya enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah, yang disebut dengan Watery diarrhea. Keluhan abdominal biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak segera mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit. Mikroorganisme penyebab seperti, V.cholerae, Enterotoxigenic E.coli (ETEC), Salmonella.
Penetrating diarrhea, lokasi pada bagian distal usus halus. Penyakit ini disebut juga Enteric fever, Chronic Septicemia, dengan gejala klinis demam disertai diare. Pada pemeriksaan tinja secara rutin didapati leukosit mononuclear. Mikrooragnisme penyebab biasanya S.thypi, S.parathypi A,B, S.enteritidis, S.cholerasuis, Y.enterocolitidea, dan C.fetus.

Karakteristik Pada 3 Tipe Diare Akut
Karakteristik
Inflamatory
Non-Inflamatory
Penetrating
Gambaran Tinja
Berdarah, mukus
volume sedang
Leukosit PMN
Berair
Volume>>>
Leukosit (-)
Mukus
Volume sedikit
Leukosit MN
Demam
+
-
+
Nyeri Perut
+
-
±
Dehidrasi
+
+++
±
Tenesmus
+
-
-
Komplikasi
Toksik
Hipovolemik
Sepsis
(Zein, 2004)

MANIFESTASI KLINIS
            Beberapa manifestasi klinis dari GEA sbb:
1.      Diare, peningkatan jumlah feses dengan konsistensi yang menurun/encer, merupakan manifestasi utama dari GEA.
2.      Panas, adanya panas (dengan demam maupun tidak) secara umum menunjukkan adanya organisme invasif sebagai penyebab diare.
3.      Muntah, merupakan tanda adanya obstruksi usus
4.      Nyeri perut, berkaitan dengan lokasi infeksi karena kolonisasi bakteri
5.      Kram, berkaitan dengan ketidakseimbangan elektrolit (electrolic imbalance)
6.      Tenesmus & Fecal urgency, dorongan konstan untuk defekasi
(Diskin, 2009)

PENATALAKSANAAN TERAPI
Terapi untuk GEA merupakan terapi untuk diare akut sebagai manifestasinya. (Farthing, 2008; DuPont, 1997)
·         Terapi Cairan dan Elektrolit
Semua pasien yang mengalami diare membutuhkan evaluasi medik, terapi cairan dan elektroli harus menjadi bagian dari penanganan.
Terapi ini merupakan yang paling penting untuk mencegah atau menghindari dehidrasi. Cairan elektrolit mengandung Na 60-90 mEq/L, K 20 mEq/L, Cl 80 mEq/L, Sitrat 30 mEq/L, dan glukosa 20 g/L.
Diet yang tepat harus dibeikan sebagai pengganti energi yang terbuat dan memfasilitasi perbaruan enterosit. Pemberian susu dihindari untuk menghindari lebih parahnya diare karena intoleransi laktosa.
·         Terapi Non Spesifik
Obat yang digunakan pada terapi ini digunakan untuk mengatasi simptomatik diare, tidak mengatasi penyebab diare.
Obat antimotilitas seperti Loperamide merupakan pilihan untuk diare pada dewasa (4-6mg/ hari). Loperamide menghambat peristaltik usus. Loperamide tidak dapat digunakan pada inflamatory diarrhea.
Obat anti sekresi seperti Bismuth subsalisilat digunakan untuk pasien yang mengalami diare dengan keluhan mual dan muntah
Penggunaan adsorben seperti Kaolin-Pectin, Karbon aktif, dan Attapulgite terbukti kurang kuat untuk mengatasi diare akut pada dewasa.
·         Terapi Antimikroba
Antimikroba digunakan untuk membunuh kuman yang telah dibuktikan dari sampel feses.


o   Kolera
Terapi pilihan pertama: Doxycycline 300mg sekali atau Tetrasiklin 500 mg sekali sehari selama 3 hari
Alternatif dapat digunakan Azithromycin atau Ciprofloxacin
o   Shigellosis
Terapi pilihan pertama Ciprofloxacin 500mg 2dd1 selama 3 hari. Alternatif dapat digunakan Pivmecillinam 400mg 4dd1 selama 5 hari.
o   Amoebiasis
Metronidazole 750mg 3dd1 selama 5 hari, dapat diperpanjang selama 10 hari bila parah.
o   Giardiasis
Metronidazole 250mg 3dd1 selama 5 hari
o   Campylobacter
Digunakan Azithromycin

II. CHRONIC KIDNEY DISEASE
DEFINISI
 Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu sindroma klinis dimana terjadi penurunan fungsi ginjal secara menetap akibat kerusakan nefron. Penurunan fungsi ginjal ini berjalan secara kronis dan progresif sehingga pada akhirnya akan terjadi gagal ginjal terminal (Tjokroprawiro et al,  2007). CKD juga merupakan kelanjutan dari gagal ginjal akut yang tidak merespon terhadap terapi yang diberikan. Gagal ginjal akut tidak memiliki definisi yang pasti. Kriterianya meliputi salah satu atau kombinasi dari perubahan nilai absolut serum kreatinin atau pengeluaran urin sehari. Definisi yang umum adalah peningkatan serum kreatinin lebih dari 1,0 mg/dl. Gagal ginjal akut ditandai oleh penurunan laju filtrasi glomerulus yang cepat (dalam beberapa jam sampai beberapa minggu) dan penimbunan produk buangan nitrogen (Brandy and Brenner, 2000).



ETIOLOGI
§  Faktor susceptible
Individu dengan faktor susceptible mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya penyakit ginjal, meskipun faktor tersebut tidak terbukti secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor tersebut antara lain : pertambahan usia, penurunan massa ginjal dan berat lahir rendah, ras/etnik, riwayat keluarga, pendapatan dan pendidikan yang rendah, inflamasi sistemik dan dislipidemia.
§  Faktor inisisasi
Merupakan faktor yang secara langsung dapat menyebabkan kerusakan ginjal, meliputi : diabetes melitus, hipertensi, penyakit autoimun, Polycystic Kidney Disease, toksisitas obat, infeksi saluran kemih dan obstruksi saluran kemih bawah.
§  Faktor progresif      
Merupakan faktor yang memperparah terjadinya kerusakan ginjal yang dikaitkan dengan penurunan yang cepat terhadap kerusakan ginjal akibat faktor inisiasi, yang meliputi : glikemia, peningkatan tekanan darah, merokok dan proteinuria (Joy et al, 2008).

KLASIFIKASI
CKD telah diklasifikasi menjadi beberapa tahapan atau stadium untuk mengetahui tahap kerusakan yang telah dialami.
Stadium
Definisi
Nilai GFR
(ml/menit/1,73 m2)
1


2


3


4


5
Kerusakan ginjal dengan nilai GFR normal atau meningkat

Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan

Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang

Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat

Gagal ginjal tahap terminal
> 90


60-89



30-59

15-29


< 15

PATOFISIOLOGI
Berbagai faktor etiologi menyebabkan kerusakan ginjal dengan cara yang beragam. Nefropati yang progresif akan mengakibatkan kerusakan parenkim ginjal yang ireversibel, dipengaruhi oleh faktor utama seperti massa nefron, glomerular capillary hypertension dan proteinuria. Adanya faktor resiko inisiasi mengakibatkan kehilangan massa nefron. Nefron yang masih tersisa mengalami hipertrofi sebagai kompensasi kehilangan fungsi renal trersebut. Pada tahap lebih lanjut, hipertrofi ini menjadi maladaptive dan berkembang kearah hipertensi glomerular, yang kemungkinan dimediasi oleh angiotensin II. Angiotensin II, vasokontriktor poten memiliki efek lebih kuat terhadap arteriol eferen, yang menyebabkan peningkatan tekanan dalam kapiler glomerulus. Terjadinya hipertensi intraglomerular umumnya memiliki korelasi dengan hipertensi arteri sistemik. Percobaan pada hewan membuktikan bahwa tingginya tekanan intraglomerular berdampak pada fungsi permeabilitas glomerulus sehingga terjadi albuminuria dan proteinuria (Joy et al., 2008).
Sindroma ini berhubungan dengan respon fungsional terhadap hipoperfusi ginjal dan cepat sembuh sejalan dengan adanya perbaikan aliran darah ke ginjal dan tekanan ultrafiltrasi glomerulus. Hipoperfusi yang berat ini juga dapat mengakibatkan cedera parenkim ginjal akibat iskemi dan azotemia renal intrinsic (Brandy and Brenner, 2000).
Manifestasi ARF didasarkan pada komponen organ yang terlibat. Komponen tersebut diantaranya vaskularisasi (jantung), ginjal (glomerulus tubul) dan GIT (intestinum). ARF dapat dikelompokkan menjadi empat macam: prerenal (diakibatkan dari penurunan perfusi ginjal), intrinsik (diakibatkan dari struktur ginjal yang cedera), postrenal (diakibatkan dari obstruksi aliran urin), dan fungsional (diakibatkan dari perubahan hemodinamik pada tingkatan glomerular) (Joy et al., 2008). Kerusakan ginjal akut dapat bersifat tetap pada sebagian atau keseluruhan fungsi ginjal, namun kerusakan tersebut dapat kembali normal jika ginjal dapat memperbaiki diri.
Konsentrasi garam urin yang tinggi dan pH urin yang rendah tampak meningkatkan resiko gagal ginjal akut intrinsik. Pada hiperurikosuri dan hiperoksaluri yang berat dapat menyebabkan obstruksi intratubulus dan ureter yang kemudian berkembang mengarah ke gagal ginjal akut (Joy et al., 2008). Nefropati asam urat akut secara khas juga dapat menyebabkan gagal ginjal akut. Obstruksi akut pada arteri renalis atau vena renalis (misalnya trombosis) dapat menyebabkan penurunan GFR yang mendadak jika obstruksi ini terjadi bilateral atau unilateral pada pasien fungsi ginjal soliter. Pasien dengan aterosklerosis stadium lanjut dapat berkembang menjadi gagal ginjal akut secara spontan setelah trauma atau setelah manipulasi aorta ataupun arteri renalis yang disebabkan oleh embolisasi kristal kolesterol pada vaskularisasi ginjal. Kristal kolesterol dalam arteri yang berukuran kecil atau sedang  akan mengundang reaksi fibrosis atau sebuah sel raksasa pada dinding pembuluh dengan penyempitan atau obstruksi lumen (Brandy and Brenner, 2000).

MANIFESTASI KLINIS
            Kemunduran fungsi ginjal menyebabkan produksi dan kandungan urin tidak normal. Pada CKD, mengakibatkan terjadinya proteinuria akibat permeabilitas kapiler glomerulus meningkat sehingga protein ditemukan dalam urin. Selain itu terjadi uremia akibat penumpukan metabolisme protein dalam darah karena tidak dapat diekskresi. Kondisi uremia terlihat dari kadar BUN dan kreatinin serum tinggi. Kadar normal BUN 10-20 mg/dl dan SCr rata-rata 0,5-1,2 mg/dl (Pagana & Pagana, 2002). Gejala uremia antara lain mual, muntah, kejang bahkan koma.
Komplikasi penyakit gangguan ginjal sangat kompleks mengingat banyaknya fungsi ginjal. Hambatan ekskresi natrium dan air menyebabkan hipertensi, dan udem. Asidosis metabolik juga sering terjadi akibat penurunan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan asam-asam hasil pencernaan dan metabolisme (Ganong, 2010). Abnormalitas lipid nampak pada peningkatan LDL, penurunan HDL (< 35 mg/dl) dan peningkatan konsentrasi trigliserida. Kemudian terganggunya pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan pembentukan sel darah terhambat sehingga pasien mengalami anemia. Ketidakseimbangan kalsium dan metabolisme tulang dapat dialami oleh pasien CKD akibat beberapa sebab, yaitu pembentukan 1,25-dihidroksi vitamin D menurun menyebabkan penurunan kalsium serum, kemudian overproduksi PTH, asidosis metabolik, dan hambatan absorbsi kalsium di GIT. Hiperfosfatemia berperan mengakibatkan hipokalsemia yang kemudian menjadi penyebab hiperparatiroid sekunder. Peningkatan PTH menyebabkan deplesi kalsium tulang yang kemudian dapat berakibat osteoporosis pada CKD. Keseimbangan kalium pada CKD juga terganggu karena asidosis metabolik dan penurunan ekskresi kalium sehingga menyebabkan hiperkalemia.

PENATALAKSANAAN TERAPI
Tujuan terapi pada pasien CKD adalah mencegah progresivitas penyakit ginjal yaitu dengan pengawasan terhadap progresifitas CKD meliputi pemeriksaan teratur untuk menentukan penurunan GFR, konfirmasi keberhasilan terapi, deteksi dan penanganan komplikasi yang akan memperparah CKD (Joy et al., 2008).

Terapi Infeksi
Masalah utama dalam memilih obat untuk terapi infeksi saluran kemih pada pasien dengan kelainan ginjal adalah bagaimana memperoleh konsentrasi obat yang adekuat dalam urine tanpa menyebabkan toksisitas sistemik. Obat yang ideal seharusnya memiliki kriteria tidak toksik walaupun pada konsentrasi serum yang tinggi dan terekskresi dalam keadaan tidak berubah (tidak dimetabolisme) di urine, dan dieliminasi melalui sekresi tubular ginjal. Namun belum ada obat yang memenuhi semua kriteria ini (Fish and Sahai, 1995).

Terapi Anemia
Untuk keberhasilan terapi dan memaksimalkan respon eritropoetin, maka terapi ini harus mampu menjaga jumlah besi, asam folat, dan vitamin B12 dalam darah, mengkoreksi  adanya anemia yang bukan disebabkan adanya kerusakan fungsi ginjal, dan memperhatikan rute pemberian eritropoetin sesuai dengan tujuan terapi yang diinginkan (Krauss and Hak, 2000).

Terapi Hiperkalemia
Terdapat tiga cara untuk mengatasi hiperkalemia. Yang pertama adalah pemberian agen antagonis terhadap efek hiperkalemia pada jantung, yaitu kalsium. Yang kedua adalah pemberian agen yang memindahkan kalium dari ekstra sel (dalam plasma) menuju intra sel. Terdapat tiga agen yang dapat digunakan: insulin dan glukosa, agonis b-2, dan natrium bikarbonat. Yang ketiga adalah penggunaan agen yang meningkatkan eliminasi kalium. Sodium polystyrene sulfonate yang merupakan resin penukar kation yang akan mengikat dan menghambat absorpsi kalium di usus besar kemudian meningkatkan ekskresi melalui feses (Lau & How, 1995).

Terapi Dislipidemia
HMGCo reductase inhibitor merupakan golongan obat yang paling efektif digunakan pada pasien CKD yang mengalami peningkatan kadar LDL dan kolesterol total. Turunan asam fibrat akan lebih efektif menurunkan kadar lemak yang diakibatkan meningkatnya trigliserida (Krauss and Hak, 2000).

Terapi Hipertensi
Pada CKD, hipertensi dapat menjadi penyebab maupun manifestasi klinis yang muncul. Sebagian besar penderita CKD mengalami hipertensi karena retensi air dan garam juga karena stimulasi pada sistem renin angiotensin aldosteron (Ganong, 2010). Obat yang sering digunakan untuk mengatasi hipertensi pada pasien CKD adalah diuretik furosemid dan ACEI.

Terapi Hiperurisemia
Pada pasien dengan fungsi ginjal yang baik, terapi hiperurisemia adalah pengaturan pemasukan cairan untuk mengatur konsentrasi asam urat dan menjaga pH urine 6-6,5. Namun apabila tidak berhasil dan pasien tidak dapat mentoleransi cairan maka kolkisin dan allopurinol dapat diberikan (Mc Nally, 1998). Allopurinol merupakan terapi obat pilihan pada pasien hiperurisemi yang mempunyai riwayat batu ginjal atau gangguan renal (Schwinghammer, 2006)

 SEBELUM MASUK KE DAFTAR PUSTAKA MOHON MENGISI FORM YANG ADA DI WEB DI BAWAH INI :



 
 
DAFTAR PUSTAKA


Brandy, H.R. and Brenner, B.M., 2000. Gagal Ginjal Akut. In: Isselbacher J. (Eds.), Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: EGC.

Diskin, Arthur. 2009. Gastroenteritis. www.medscape.com diakses 11/06/2010

DuPont, Herbert L. 1997. Guidelines on Acute Infectious Diarrhea in Adults. In: The American Journal of Gastroenterology. The American College of Gastroenterology.

Farthing, M. 2008. World Gastroenterology Organisation Practice Guideline: Acute Diarrhea. World Gastroenterology Organisation

Fish, D.N. and Sahai, J.V., 1995. Urinary Tract Infections, In: Koda-Kimble, M.A. and Young, L.Y. (Eds.), Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, 6th edition, Vancouver: Applied Therapeutics Inc.

Ganong, W.F., 2010. Review of Medical Physiology, 23rd edition, San Fransisco: Appleton and Lange.

Hassan, Yahya., Abdul Aziz, Noorizan., Al-Rumahi, Rowa. 2007. Handbook of Medication Dosing ini Renal Failure for Healthcare Professional. School of Pharmaceutical Sciences, Universiti Sains Malaysia

Joy, M.S., Kshirsagar, A., and Franceshini, N., 2008. Chronic Kidney Disease: Progression-Modifying Therapies. In: Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 7th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc

Krauss, A.G. and Hak, L.J., 2000. Chronic Renal Disease, In: Herfindal, E.T. and Gourley, D.R. (Eds.), Textbook of Therapeutics Drug and Disease Management, 7th edition, Philadelphia: Lippicott William and Wilkins

Lacy, Charles F., et al, 2009, Drug Information Handbook, 18th Edition, Lexi Comp Inc, North America

Lau, Alan & How, Priscilla. 2009. Fluid and Electrolyte Disorders. In: Koda-Kimble, Mary Anne. Applied Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs, 9th Edition. Lippincott Williams & Wilkins

Mc Nally, K., 1998. Chronic Renal Disease, In: Hughes, J., Donelly, R., and Chatgilaou, G.J. (Eds.), Clinical Pharmacy, Australia: Macmilland Education Australia PTY Ltd.

Pai, A.Barton & Conner, T.A. 2009. Chronic Kidney Disease. In: Koda-Kimble, Mary Anne. Applied Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs, 9th Edition. Lippincott Williams & Wilkins
Pagana, K.D. & Pagana, T.J. 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Test. 2nd ed. Missouri: Mosby, Inc.

Panitia Medik Farmasi dan Terapi. 1992. Pedoman Penggunaan Antibiotik Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. Surabaya

Schwinghammer, T.L., 2006. Bone and Joint Disorders, in: Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 6th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc

Spruill,J.William & Wade, E.William. 2008. Diarrhea, Constipation, and Irritable Bowel Syndrome in: Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 7th edition. The McGraw-Hill Companies, Inc

Tjokroprawiro, A., Setiawan, P.B., Santoso, D., Soegiarto, G., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : Airlangga University Press.

Zein, Umar. 2004. Diare Akut Infeksius Pada Dewasa. Bag. Ilmu Penyakit Dalam, Universitas Sumatera Utara.