Penyakit multisistem yang sifatnya berfluktuasi dengan berbagai ragam presentasi klinis. Fungsi imunologis yang tidak normal dan pembentukan antibodi terhadap "diri" antigen mendasari patogenesis dari SLE (Delafuente and Cappuzzo, 2008)
ETIOLOGI
Penyebab ketidaknormalan produksi auto antibodi dan perkembangan SLE masih belum diketahui. Faktor genetik, lingkungan, dan hormonal mungkin memiliki peran dalam hilangnya "toleransi diri" dan ekspresi penyakit. Sebuah teori populer menyatakan bahwa penyakit autoimun seperti SLE berkembang pada individu dengan genetik yang rentan setelah paparan terhadap suatu agen tertentu dari lingkungan yang dapat memicu timbulnya SLE. Agen tertentu dari lingkunganyang dapat memicu atau mengaktifkan lupus antara lain sinar matahari (sinar ultraviolet), obat-obatan, bahan kimia seperti hidrazin (ditemukan di tembakau) dan amina aromatik (ditemukan di pewarna rambut), makanan, estrogen pada lingkungan, dan infeksi oleh virus atau bakteri (Mok and Lau, 2003). Selain itu, androgen dapat menghambat dan estrogen dapat meningkatkan ekspresi auto imunitas, dan peingkatan kadar prolaktin dalam darah memiliki hubungan tertentu dengan lupus pada laki-laki dan perempuan (McMurray, 2001; Mok and Lau, 2003)
PATOFISIOLOGI
SLE merupakan sindrom klinis daripada merupakan penyakit dengan patogenesis unik tertentu. SLE memiliki pengaruh besar dalam gejala dan ada hubungan terhadap sistem organ. Sebuah peristiwa besar dalam perkembangan SLE adalah produksi yang berlebihan dan abnormal dari autoantibodi dan pembentukan kompleks imun. Pasien dapat membentuk autoantibodi terhadap beberapa inti, sitoplasma, dan permukaan komponen beberapa jenis sel dalam berbagai sistem organ, selain itu juga marker seperti imunoglobulin G dan faktor koagulasi; dimana autoantibodi ini memiliki keterlibatan dalam multi system organ terkait dengan penyakit Hasil produksi autoantibodi yang berlebihan merupakan hasil adanya hiperaktivitassel limfosit B. Beberapa mekanisme yang mungkin menyebabkan hiperaktifnya sel B, ialah hilangnya kekebalan "toleransi diri" dan beban antigenik tinggi terkait dengan antigen lingkungan dan diri yang disampaikan kepada sel B oleh sel B lain atau sel spesifik antigen, pergeseran sel T-helper tipe 1 menjadi sel T-helper tipe 2 dapat lebih meningkatkan produksi antibodi sel B, dan penekanan defek dari sel B. Kerusakan pada proses lain dari regulasi kekebalan yang melibatkan limfosit T (Penekan sel T), sitokin (misalnya interleukin, tumor interferon-γ necrosis factor-α, faktor pertumbuhan transformasi-β), dan NK cells juga mungkin terlibat (Mok and Lau, 2003).
Disregulasi imun menyebabkan hiperaktif-nya sel B dan selanjutnya diikuti produksi autoantibodi patogen, digabungkan dengan rusaknya klirens sel apoptosis, diikuti oleh pembentukan kompleks imun, aktivasi komplemen, dan rusaknya klirens kompleks imun, dimana semua menyebabkan reaksi inflamasi yang pada akhirnya menghasilkan cedera dan kerusakan jaringan (Delafuente and Cappuzzo, 2008).
MANIFESTASI KLINIK
Pada pasien dengan SLE terjadi banyak tanda dan gejala yang non spesufik antara lain kelelahan, demam, anoreksia, dan penurunan berat badan sering terlihat pada pasien positif menderita SLE. Adanya gangguan muskuloskeletal (misalnya, arthralgia, myalgia, dan arthritis) sangat umum dalam SLE, dimana arthritis dan arthralgia sering menjadi keluhan utama pada awal dari SLE. Semua sendi utama dan sendi kecil mungkin akan terpengaruh, dan pola arthritis sering terulang dengan durasi singkat. Manifestasi di kulit yang paling terkenal di antaranya adalah ruam kupu-kupu (butterfly rash), yang terjadi di atas jembatan hidung dan malar eminences. Lalu manifestasi yang menyangkut system pernapasan ialah radang selaput dada, batuk, dan nafas yg sulit. Manifestasi neuropsikiatri dari pasien SLE dapat muncul dalam berbagai bentuk gangguan seperti sakit kepala, psikosis, depresi, gelisah, kejang, stroke, neuropati perifer, gangguan kognitif, dan lain-lain. Gejala yang berhubungan dengan manifestasi gastrointestinal sering spesifik untuk lupus, diantaranya dispepsia, sakit perut, mual, dan kesulitan menelan. Anemia ditemukan pada banyak pasien dengan SLE. Hal ini biasanya merupakan anemia akibat peradangan kronis, dengan normokromik ringan. Beberapa pasien mungkin dapat terjadi anemia hemolitik dengan hasil tes Coombs positif. Leukopenia, biasanya ringan, terjadi pada sekitar setengah pasien SLE. Granulosit dan limfosit mungkin akan terpengaruh, tetapi biasanya ada penurunan lebih besar dalam limfosit, Trombositopenia dapat terjadi pada lupus, sering selama eksaserbasi penyakit, tapi biasanya ringan dan tidak meningkatkan kecenderungan pendarahan (Delafuente and Cappuzzo, 2008).
TERAPI
Hasil pengobatan yang diinginkan untuk pasien dengan lupus ada dua: (a) pengelolaan gejala dan induksi pemulihan keadaan selama masa kambuh penyakit dan (b) pemeliharaan pemulihan keadaan selama mungkin antara masa kambuh penyakit. Karena variabilitas dalam presentasi klinis dari penyakit, pengobatan akan berbeda-beda dan harus sangat individual. Perawatan pasien dengan SLE secara optimal akan mencakup edukasi dan layanan dukungan di samping perawatan non farmakologis dan perawatan farmakologis dibahas di bawah ini (Delafuente and Cappuzzo, 2008).
Terapi nonfarmakologi
Beberapa tindakan non farmakologis dapat digunakan untuk mengelola gejala dan membantu menjaga pemulihan keadaan. Kelelahan adalah gejala umum pada pasien dengan lupus. Istirahat dan olahraga secara rutin dan seimbang, sangat berguna untuk mencegah kelelahan. Merokok sebisa mungkin dihindari karena hydrazines dalam asap rokok bisa menjadi pemicu dari lingkungan untuk terjadinya lupus. Merokok juga telah dikaitkan dengan peningkatan aktivitas penyakit lupus. Mengenai makanan tidak ada hal khusus yang diketahui dengan jelas dapat mempengaruhi program klinis lupus. Namun, minyak ikan bisa mencegah keguguran derivatif pada wanita hamil dengan antibodi antifosfolipid, namun kecambah alfalfa harus dihindari karena mengandung asam amino L-canavanine, yang telah dikaitkan dengan perkembangan gejala lupus seperti dalam laporan berbagai kasus. Umumnya pasien dengan SLE harus membatasi paparan sinar matahari dan menggunakan tabir surya untuk memblokir kemungkinan memperburuk efek sinar ultraviolet terhadap keadaan lupus pasien, dimana jumlah batasan paparan sinar matahari harus diatur secara individual tergantung kondisi pasien (Delafuente and Cappuzzo, 2008)
.
Terapi farmakologi
Terapi obat untuk lupus dirancang untuk menekan respon imun dan peradangan. Secara umum, pilihan terapi obat tergantung pada luas dan tingkat keparahan penyakit.
1. NSAID
Pada pasien SLE, terdapat tanda dan gejala seperti demam, artritis, dan serositis adalah dimana hal ini umum pada pasien dengan penyakit aktif. Oleh karena itu, banyak pasien dengan penyakit ringan, pengobatan awal dengan NSAID adalah pilihan yang logis. Pemilihan NSAID dalam SLE adalah empiris. Dosis yang digunakan harus cukup untuk memberikan efek antiinflamasi, walaupun dosis rendah aspirin mungkin berguna dalam manajemen pasien dengan sindrom antifosfolipid. NSAID secara signifikan meningkatkan risiko iritasi lambung dan ulkus peptikum. Pemberian dengan dengan agen gastroprotectif seperti inhibitor pompa proton dapat menguntungkan. Pasien dengan SLE yang memperoleh NSAID mungkin dapat mengalami penurunan fungsi ginjal karena efek obat dan bukan penyakit yang mendasarinya. NSAID dapat menurunkan aliran darah ginjal dan tingkat filtrasi glomerular, dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan nefritis. Kewaspadaan terhadap efek samping tersebut adalah penting karena fungsi ginjal menurun oleh obat mungkin dapat dianggap sebagai progresi yang keliru terhadap perkembangan penyakit ke arah nefritis lupus. Pasien dengan SLE memiliki kejadian hepatotoksisitas yang lebih tinggi dibanding pasien lain yang menerima NSAID tradisional. Penggunaan NSAID juga terkait dengan meningitis aseptik pada pasien SLE (Delafuente and Cappuzzo, 2008).
2. Anti Malaria
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hydroxychloroquine telah digunakan dengan sukses dalam pengelolaan lupus berbentuk discoid lupus dan SLE. Beberapa uji coba terkontrol memberikan bukti untuk peran terapi antimalaria dalam mengendalikan eksaserbasi penyakit dan sebagai steroid sparing agents. Secara umum, manifestasi dari SLE yang dapat dikelola dengan antimalaria adalah manifestasi kulit, arthralgia, radang selaput dada, peradangan perikardial ringan, kelelahan, dan leukopenia. Karena obat ini tidak efektif segera, maka obat ini paling baik digunakan dalam pengelolaan jangka panjang. Respon untuk klorokuin terjadi dalam 1 sampai 3 bulan, sedangkan pengaruh maksimal hydroxychloroquine mungkin terlihat hingga setelah3 - 6 bulan. Hydroxychloroquine mungkin lebih aman daripada klorokuin dan dianggap sebagai antimalaria pilihan utama. Mekanisme kerja obat antimalaria tidak pasti. Telah diketahui bahwa antimalaria mengganggu aktivasi T-limfosit. Efek lain antimalaria yang mungkin bermanfaat bagi pasien dengan SLE ialah inhibisi sitokin, penurunan sensitivitas terhadap sinar ultraviolet, aktivitas antiinflamasi, efek antiplatelet, dan aktivitas antihyperlipidemi. Dosis dan lama terapi tergantung pada respon pasien, adanya toleransi terhadap efek samping, dan perkembangan toksisitas retina, yang merupakan reaksi negatif potensial ireversibel yang terkait dengan terapi jangka panjang, terutama dengan klorokuin. Saat ini direkomendasikan dosis antimalaria pada SLE adalah hydroxychloroquine 200-400 mg / hari dan klorokuin 250-500 mg / hari. Setelah 1 atau 2 tahun pengobatan, penurunan bertahap dosis dapat dicoba. Beberapa pasien mungkin memerlukan tablet hanya 1 atau 2 per minggu untuk menekan manifestation pada jaringan kutan (Delafuente and Cappuzzo,2008)
3. Kortikosteroid
Terapi Kortikosteroid adalah hal yang biasa dalam rejimen terapi untuk lupus. Meskipun bukti-bukti untuk hasil dengan terapi kortikosteroid tidak memadai, obat ini dikenal untuk menekan ekspresi klinis penyakit dan dianggap menjadi faktor utama dalam perbaikan prognosis dalam beberapa tahun terakhir. Kebanyakan uji klinik terkontrol mengenai terapi kortikosteroid telah dilakukan pada pasien dengan nefritis lupus parah, juga bukti menunjukkan bahwa kortikosteroid juga efektif dalam pengelolaan kasus-kasus yang parah penyakit SSP, pneumonitis, polyserositis, vaskulitis, trombositopenia, dan manifestasi klinis lainnya. Seorang pasien dengan diagnosis SLE tidak secara otomatis membutuhkan terapi kortikosteroid. Tingkatan penyakit ringan dengan manifestasi seperti demam, arthralgia, radang selaput dada, atau manifestasi kulit dapat menunjukkan respon positif penggunaan NSAID atau Antimalaria, tetapi pasien dengan manifestasi klinis yang lebih serius atau tidak responsif terhadap obat lain biasanya membutuhkan kortikosteroid. Beberapa pasien dengan dermatitis lupus dapat lebih baik menggunakan administrasi topikal atau intralesi dari kortikosteroid. Tujuan pengobatan dengan kortikosteroid dalam SLE adalah untuk menekan dan mempertahankan penekanan terhadap penyakit aktif dengan dosis serendah mungkin. Pada pasien dengan penyakit ringan, terapi dosis rendah (prednison 10-20 mg / hari) sudahlah cukup, tetapi pada pasien dengan penyakit yang lebih parah (anemia hemolitik berat atau keterlibatan jantung), dosis yang lebih tinggi, seperti prednison 1-2 mg / kg sehari, mungkin diperlukan. Setelah penekanan penyakit yang memadai tercapai, dosis harus meruncing ke jumlah minimum yang diperlukan untuk penekanan penyakit lanjutan.
Terapi steroid dengan system pulse therapy adalah administrasi jangka pendek, kortikosteroid intravena dosis tinggi dengan tujuan mendorong pemulihan keadaan pada pasien SLE serius, penyakit yang mengancam nyawa, seperti nefritis aktif parah, keterlibatan SSP, atau penyakit hemolitik. Standard regimen terapi ini terdiri dari methylprednisolone intravena 5-100 mg untuk 3 sampai 6 hari berturut-turut. Pulse therapy biasanya diikuti dengan terapi prednison dosis tinggi (1 sampai 1,5 mg / kg per hari) yang dosisnya di lakukan penurunan cepat menuju terapi dosis rendah untuk pemeliharaan. Keuntungan potensial dari pulse therapy pada dosis steroid oral yang lebih tinggi termasuk respon penyembuhan yang lebih cepat dan menghindari efek samping terkait dengan durasi yang lebih lama dari yang dibutuhkan dengan terapi steroid oral. Meskipun umumnya ditoleransi dengan baik, terapi methylprednisolone dengan metode pulse therapy dapat menyebabkan efek buruk yang signifikan, termasuk infeksi, gangguan pencernaan, peningkatan tekanan darah secara cepat, aritmia, kejang, dan kematian mendadak. Selain itu, ada keterbatasan data dari uji klinis terkontrol dengan jelas mendefinisikan peran steroid dengan pulse therapy dalam pengelolaan SLE. Jadi pulse therapy merupakan mode alternatif pengobatan untuk pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa atau penyakit tidak responsif terhadap farmakoterapi lainnya (Delafuente and Cappuzzo, 2008).
4. Obat Sitotoksik
Sejumlah besar literatur ada menggambarkan penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif dalam SLE, walaupun beberapa ini adalah laporan uji klinis terkontrol. Termasuk dalam kategori ini adalah siklofosfamid (alkylating agent) dan azathioprine (antimetabolit). Obat ini, biasanya digunakan dalam kombinasi dengan kortikosteroid, dimana telah menjadi terapi tetap pada imunosupresif. Meskipun kedua dikenal untuk menekan dan menstabilkan aktivitas penyakit extrarenal, banyak evaluasi agen ini difokuskan pada nefritis lupus, yang merupakan faktor utama yang berhubungan dengan morbiditas dan kematian pada lupus. Terapi dengan sitotoksik berguna dalam kombinasi dengan kortikosteroid, yang memungkinkan untuk dosis steroid rendah dan kemanjuran meningkat dibandingkan dengan steroid saja. Namun, terapi sitotoksik harus dimonitor efek yang merugikan, dan respon maksimum dapat memakan waktu 6 bulan atau lebih dalam beberapa pasien (Delafuente and Cappuzzo,2008).
DAFTAR PUSTAKA
Bayle, J.R., Johson, C.A., Mason, N.A., Pieter, B.L., 2004. Medfact : Pocket Guide of Drug Interaction. USA
Delafuente, J.C., and Cappuzzo, K.A., 2008, Systemic Lupus Erythematosus, In : Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey, L.M., (Eds), Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach, 7th ed., New York : McGraw Hill Companies, Inc, p. 1431 - 1445.
Lacy, C. F., Armstrong, L.L., Goldman M.P, Lance L.L., 2009, Drug Information Handbook 18th ed., United States: Lexi-Comp.
Martin, J., 2008, British National Formulary 56. September 2008. London : BMJ Publishing Group Ltd. p.325 - 330
McMurray, R.W., 2001, Sex Hormones in the Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus, In: Frontiers in Bioscience 6, p. 193 – 206.
Mok, C.C., and Lau, C.S., 2003, Review : Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus, In: J Clin Pathol 2003; 56, p. 481 – 490.
Sweetman, S.C., 2009, Martindale The Complete Drug Reference 36th ed, London: Pharmaceutical Press
Trissel, L.A., 2007, Handbook of Injectable Drugs 14th ed, United States: American Society of Health System Pharmacist.
No comments:
Post a Comment