The Pharmacist Room

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Anatomi Kelenjar Prostat




Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak pada kelenjar prostat, disebabkan karena hyperplasia beberapa atau semua komponen prostat, antara lain jaringan kelenjar dan jaringan fibro-muskular, yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (PDT RSU Dr Soetomo, 2008). Kelenjar prostat terdapat diantara bladder (tempat penyimpanan urin) dan uretra (pembuangan urin). Kelenjar prostat akan membesar secara berlahan dan menekan uretra sehingga menyebabkan aliran urin terhambat dan terjadi retensi urin.

Kelenjar prostat terletak dibawah kandung kemih, melingkari uretra proksimal, berbentuk heart, seukuran kacang, dengan berat 4 – 20 g. Prostat memiliki dua fungsi utama yaitu:
(1) Mensekresi cairan prostat yang merupakan bagian dari volume ejakulat (20-40%)
(2) Melengkapi cairan prostat yang disekresi dengan efek antibakterial yang berhubungan dengan tingginya konsentrasi zinc.
Kelenjar prostat terdiri dari tiga tipe jaringan yaitu jaringan epitel, jaringan stroma, dan jaringan kapsul. Jaringan epitelial disebut juga jaringan glandular yang memproduksi cairan prostat yang dialirkan kedalam uretra selama ejakulasi. Jaringan stroma terdiri dari otot polos dan terdapat banyak reseptor α1-adrenergik sedangkan jaringan kapsul terdiri dari jaringan konektif fibrosa dan otot polos serta terdapat pula reeptor α1 adrenergik.
Pertumbuhan prostat terdiri dari 2 tahap, tahap pertama pada saat pubertas dimana prostat tumbuh sampai pada ukuran 15-20 g pada saat seorang laki-laki berumur 25-30 tahun dan ukuran prostat bertahan sampai pada umur 40 tahun. Tahap kedua pertumbuhan dimulai pada usia lebih dari 40 tahun dan berlangsung sampai pada umur 70-80 tahun. Selama periode tersebut pertumbuhan prostat dapat terjadi sampai empat kali lipat (Lee, M., 2008)

Masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihydrotestosterone (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH antara lain akibat hormon DHT, ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi antara sel stromal dan sel epitel prostat dan berkurangnya kematian sel (apoptosis) (Purnomo, 2003).

Benigna Prostatik Hyperplasia (BPH) diderita oleh laki-laki usia di atas 50 tahun. Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, diduga antara lain dari perubahan hormonal dan ketidakseimbangan faktor pertumbuhan (PDT RSU Dr Soetomo Surabaya, 2008).
Patogenesis BPH disebabkan oleh faktor statik dan faktor dinamik. Faktor statik berhubungan dengan pembesaran anatomis kelenjar prostat yang akan menyebabkan penyumbatan fisik pada leher kandung kemih sehingga nantinya akan menyumbat aliran urin. Pembesaran kelenjar prostat ini tergantung dari stimulasi androgen pada jaringan epitel dan stromal yang terdapat pada kelenjar prostat. Testosterone adalah hormon androgen testicular utama pada pria sedangkan androstenedion adalah hormone androgen adrenal utama. Kedua hormon ini bertanggungjawab terhadap pembesaran penis dan skrotum, meningkatkan massa otot dan menjaga libido normal pria. Androgen ini akan diubah menjadi metabolit aktifnya yaitu dihydrotestosterone (DHT) yang dapat menyebabkan pertumbuhan dan pembesaran kelenjar prostat. Sedangkan faktor dinamik berhubungan dengan peningkatan tonus α-adrenergik pada komponen stromal kelenjar prostat, leher kandung kemih dan uretra posterior yang akan menghasilkan kontraksi kelenjar prostat di sekeliling uretra dan mempersempit lumen uretra (Lee, 2008).

Pasien dengan Hiperplasia prostat dapat menunjukkan berbagai macam tanda dan gejala. Gejala berganti-ganti dari waktu ke waktu dan mungkin dapat semakin parah, menjadi stabil atau semakin buruk secara spontan. Di bawah ini ada beberapa gejala :
  • Lemahnya aliran urin.
  • Keragu-raguan pada awal buang air kecil.
  • Aliran urin tersendat-sendat.
  • Penetesan urin.
  • Rasa pengosongan kandung kemih yang tidak tuntas.
  • Gangguan urinasi seperti rasa belum selesai berurinasi.
  • Buang air kecil dengan frekuensi berlebihan pada malam hari.
(Clark, 2004)
Apabila buli–buli (kandung kemih) menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin. Karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli – buli tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika meningkat, dapat timbul hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat jika terjadi infeksi.
Karena selalu terjadi sisa urin, dapat terbentuk batu endapan dalam buli – buli. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistisis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid (Mansjoer dkk, 2000).
Ringan
≤7
Asymptomatic, laju puncak aliran urin <10 ml/s,volume residu setelah pengosongan >25-50 ml, peningkatan serum kreatinin dan BUN
Sedang
8-19
Semua gejala pada tingkatan sedang ditambah adanya gejala obstruksi dan iritasi pada saat pengosongan urin
Berat
≥20
Semua gejala pada tingkatan sedang ditambah adanya komplikai dari BPH
AUA : American Urological Association
(Lee,M., 2008).
Dengan menggunakan indeks AUA, pasien menilai 7 kerusakan dan gejala mengganggu yang menyusahkan. Setiap item dinilai keparahannya dalam skala 0 sampai 5, sehingga 35 merupakan skor maksimum dan gejala terberat yang konsisten.

Penentuan berat ringan gejala dari BPH juga dapat ditentukan dengan IPSS (International Prostate Symptom Score).
Ringan
IPSS <8, laju aliran urin maksimal >15 ml/mnt
Sedang
IPSS 9-18, laju aliran urin maksimal 10-15 ml/mnt
Berat
IPSS > 18, laju aliran urin maksimal < 10 ml/mnt
(PDT RSU Dr Soetomo Surabaya, 2008).
  1. Pemeriksaan laboratorium
Analisa urin dan pemeriksaan mikroskopis urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
  1. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli – buli dan volume residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan dengan BPH maupun tidak (Mansjoer, Arif.,2000).
  1. a. Inspeksi buli-buli : ada/tidak penonjolan perut di daerah suprapublik (buli-buli penuh/kosong).
b. Palpasi Buli-buli : tekanan di daerah suprapubik menimbulkan rangsangan ingin kencing bila buli-buli berisi/ penuh
c. Perkusi : buli-buli penuh berisi urin memberi suara redup
  1. Colok dubur
  2. Uroflowmetri
(PDT RSU Dr Soetomo Surabaya, 2008)
  1. Terapi nonfarmakologi
Berupa observasi (watchfull waiting) dan dilakukan pada pasien dengan gejala yang ringan.
  1. Terapi farmakologi
    1. α-adrenergic antagonis
Penggunaan antagonis α-1-adrenergik karena secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat dan kapsul prostat sehingga terjadi relaksasi didaerah prostat. Hal ini akan menurunkan tekanan pada urethra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
    1. 5-α –reduktase inhibitor
Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan dehidrotestosteron (DHT) sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan α-bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
    1. fitoterapi
Substansinya misalnya Pygeum africanum, Saw palmetto, Serenoa repeus.
  1. Pembedahan.
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu :
    1. retensio urin berulang
    2. hematuria
    3. tanda penurunan fungsi ginjal
    4. infeksi saluran kemih berulang
    5. tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel, hidroureter, dan hidronefrosis
    6. ada batu saluran kemih
Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi Transurethral Resection of the Prostate (TURP), Transurethral Insision of the Prostate (TUIP), prostatektomi terbuka, dan prostatektomi dengan laser dengan Nd-YAG atau Ho-YAG.
(Mansjoer, Arif.,2000)





Alogaritma Manajemen BPH
  (Lee,M., 2008)

DAFTAR PUSTAKA

British Medical Association, 2008. British National Formulary 56. London: Pharmaceutical Press.

Clark, C., 2004. Prostatitis, BPH and Prostate Cancer. The Pharmaceutical Journal Vol.272

Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., 2008. Drug Information Handbook 17th Ed. Canada : Lexi-Comp Inc.

Lee, M., 2008. Management of Benign Prostatic Hyperplasia. In : Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th Ed. New York ; McGraw Hill.

Mansjoer, A., Wardana, E., Saprohadi. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta : FK Universitas Indonesia.

Pagana K.D., Pagana. T.J., 2002. Mosby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Tests, Ed 2th Missouri : Mosby Inc.

Platz, E.A., Rimm, E.B., 1999. Alcohol Consumption, Cigarette Smoking, and Risk of Benign Prostatic Hyperplasia. The Johns Hopkins University School of Hygiene and Public Health.

Poernomo, B., 2003. Dasar-dasar Urologi edisi 2. Malang : SMF/Lab Ilmu Bedah RSUD Dr.Saiful Anwar : FK.Universitas Brawijaya.

Tatro, D.S, 2003. A to Z drug Facts and Comparisons. Electronic version, Book@Ovid.

Tim Revisi PDT Sub Komite Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo surabaya. 2008.Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Bedah Urologi RSU Dr. Soetomo Surabaya. Edisi III. P 9-10
 

Riset Pencegahan Alzheimer dengan Vitamin B Dosis Tinggi

Dewasa ini, lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia didiagnosa mengidap Alzheimer. Penyakit degeneratif fungsi otak ini ditandai dengan menurunnya kemampuan mengingat dan gerak motorik

 

Para pakar kedokteran sudah sejak lama mengetahui, bahwa seiring dengan semakin lanjutnya usia, volume otak kita juga semakin menciut. Setelah melewati usia 60 tahun, rata-rata volume otak manusia berkurang 0,5 persen per tahunnya. Akan tetapi pada sekelompok manusia, laju penciutan volume otak ini dua kali lebih cepat dari rata-rata. Penderitanya dikategorikan mengidap kondisi yang disebut memburuknya kemampuan kognitif kadar ringan atau istilah medisnya MCI.
Perlambat Penciutan Otak

Penyakit Alzheimer secara medis tidak dapat disembuhkan. Gejalanya ditandai dengan kehilangan memory kadar ringan serta mengalami kesulitan dengan kemampuan berbahasa. Gejala ini belum tentu merupakan pertanda penyakit Alzheimer. Akan tetapi juga para dokter tidak menutup kemungkinan, ini merupakan gejala awal penyakit ini.

Penelitian menunjukan, sekitar 50 persen pengidap MCI kemudian juga berkembang menjadi penderita demensia atau pikun. Kini para peneliti di Universitas Oxford di Inggris meyakini berhasil memperlambat penciutan volume otak dan gejala MCI dengan pemberian vitamin B dosis tinggi.

Professor David Smith dari departemen farmakologi Universitas Oxford mengungkapkan, “Ini riset pertama di dunia, untuk menunjukan efek modifikasi pada penyakit dalam pengobatan Alzheimer tahap dini atau tahapan pra-Alzheimer. Uji coba lainnya gagal. Tapi yang ini berfungsi.“

Uji Coba dengan Vitamin B

Risetnya relatif kecil, dengan hanya 168 responden yang didiagnosa mengidap gejala kemunduran kognitif ringan-MCI. Mereka kemudian dibagi dua kelompok dengan jumlah yang sama. Separuh responden diberi tablet vitamin B6, B12 dan B9 atau asam folat dosisi tinggi yang harus dikonsumsi setiap hari. Separuh lagi yang disebut kelompok pembanding hanya memperoleh tablet yang tidak mengandung vitamin B atau lazim disebut placebo.

Setelah ujicoba selama dua tahun, otak masing-masing peserta riset discanner. Kelompok pembanding yang mendapat pil placebo menunjukan pertanda tegas penciutan volume otak. Akan tetapi, perbedaan penciutannya juga relatif kecil dan tidak mencolok dibanding kelompok yang diberi vitamin B dosis tinggi. Rata-rata perbedaan penciutan volumenya sekitar 30 persen, walaupun ada yang mencapai 50 persen. Laju penciutan volume otak ini tidak lebih buruk dibandingkan dengan para pengidap MCI.

John Hough, seorang responden berusia 80 tahun dari kelompok yang diberi vitamin B dosis tinggi, meyakini, ia mengalami perbaikan kondisi. “Saya mungkin mengalami kemunduran, tapi tidak ada yang mempedulikannya. Kita hanya peduli jika mulai membaik lagi. Istri saya menganggap saya membaik, jika itu terminologinya.”
Artinya, masih dipertanyakan bagaimana berfungsinya hal tersebut? Sejauh ini diketahui, penciutan volume otak berkaitan dengan kadar substansi tertentu yang ada secara alamiah dalam darah manusia yang disebut homocysteine. Semakin tinggi kadarnya, semakin cepat proses penciutan otak. Vitamin B berfungsi menurunkan kadar homocysteine dan dengan begitu memperlambat kecepatan penciutan otak.

Professor Robin Jacoby yang ikut melakukan riset khasiat vitamin B untuk mengerem kecepatan penciutan volume otak memang merasa puas. Namun ia juga masih berhati-hati dalam menyimpulkan hasilnya. “Kami sekarang ini belum memastikan apakah vitamin tersebut akan dapat mencegah atau menunda perubahan mental dari kepikunan. Kami hanya menunjukkan bahwa menciutnya otak diperlambat.“

Efek Sampingan

Tentu saja dalam berbagai penelitian serta ujicoba, terdapat peringatan akan dampak sampingannya. Para pakar kesehatan mengetahui adanya kaitan risiko kesehatan dengan pemberian vitamin B dosis tinggi. Salah satunya adalah gejala seperti hilangnya indra perasa pada kaki dan tangan. Juga terdapat sejumlah indikasi kaitan sebab dan akibat antara pemberian asam folat dengan munculnya kanker.

Walaupun begitu prof Jacoby menyebutkan, tidak terdapat bukti yang kuat mengenai keterkaitannya, “Dalam riset kami yang relatif kecil, di sana terdapat fakta, lebih banyak relawan yang terkena kanker di kelompok pembanding. Meskipun kita dapat memperkirakan, sejumlah orang akan mengembangkan kanker pada kelompok umur ini.”

Justru penelitian itu meningkatkan peluang bagi vitamin B untuk dapat digunakan sebagai obat pencegah penciutan otak. Pasien dapat mengkonsumsi vitamin B dosis tinggi sebagai langkah preventif. “Jika digunakan secara klinis, pasien akan diukur kadar homocystein-nya. Dan jika dianggap berisiko tinggi, mereka disarankan menggunakannya sebagai pencegahan,“ papar Prof. Jacoby.

Namun para peneliti juga mengingatkan, bahwa riset mereka baru berada pada tahapan awal. Mereka hanya dapat menunda proses penciutan otak pada manusia lanjut usia, sebuah proses yang diduga berkaitan dengan penyakit Alzheimer. Dalam penelitian belum dapat dibuktikan, bahwa pemberian vitamin B dosis tinggi dapat mengurangi prevalensi penyakitnya. Penelitian lanjutan akan dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut, kata para peneliti penyakit Alzheimer di Universitas Oxford Inggris.

Harapan bagi Penderita Gejala Alzheimer

Walaupun penelitan pemberian vitamin B dosis tinggi untuk mencegah perkembangan Alzheimer baru memasuki tahapan awal, Andrew Ketteringham dari perhimpunan bagi penyakit Alzheimer menyatakan optimis dan mengharapkan hasil yang lebih nyata, “Jika hal ini ada dampaknya pada gejala pikun, berarti peluangnya adalah kemungkinan menunda munculnya gejala pikun. Jika begitu kasusnya, berarti orang-orang dapat hidup lebih baik dengan kepikunannya. Dan kualitas kehidupan mereka juga meningkat pesat akibat hal itu.“

Memang sejauh ini sejumlah industri farmasi terkemuka terus berusaha menemukan obat-obatan untuk menanggulangi masalah demensia atau menurunnya fungsi otak yang terus meningkat di kalangan warga, seiring dengan juga meningkatnya umur harapan hidup manusia. Jutaan Euro sudah diinvestasikan dalam berbagai proyek penelitian dan pengembangan. Namun hingga kini hasilnya tetap belum memuaskan.

Diharapkan penelitian pencegahan Alzheimer dengan pemberian vitamin B dosis tinggi, akan memberikan terobosan yang cukup berarti. Paling tidak untuk mengerem kecepatan munculnya gejala Alzheimer pada manusia lanjut usia, dan dengan demikian dapat memperbaiki kualitas hidup mereka.

Stephen Beard/Agus Setiawan
Editor: Yuniman Farid


 

Stabilitas Oksitosin

  • Cara penggunaan dan stabilitas injeksi Piton (oksitosin) 
  • Tambahkan 10U oksitosin ke dlm 500 atau 1000 ml NS/RL/D5W sehingga konsentrasi larutan menjadi 20 mU/ml dan 10mU/ml
  • Inj. Piton sebaiknya disimpan pada suhu 20 – 50C, jangan simpan di frizer (Tatro, 2003; DIH 2009-2010, p. 1126)
Stabilitas injeksi ranitidin
  1. Inj. Ranitidin sebaiknya disimpan pada suhu 40-300C, dan hindarkan dari cahaya. Inj. Ranitidin dapat dicampur dg NS atau D5W dan larutan stabil selama 48 jam pada suhu kamar (DIH 2009-2010, p. 1295)
 
Stabilitas dan cara pemberian injeksi ondansetron
  1. Inj. Ondansetron sebaiknya disimpan pada suhu 20 – 300C dan terlindung dari cahaya. Sedangkan untuk infus IV, inj. Ondansetron dapat dilarutkan dlm 50 ml D5W atau NS dan larutan ini stabil selama 48 jam pd suhu kamar
  2. Untuk pencegahan mual dan muntah post operasi sebaiknya dosis tunggal diberikan secara injeksi IV lebih dari 2 – 5 menit (DIH 2009-2010, p. 1102)

     Stabilitas dan cara peberian injeksi furosemid
    1. Simpan injeksi pada suhu kamar dan lindungi dari cahaya, karena bila terpapar cahaya akan menyebabkan perubahan warna. Jangan gunakan larutan furosemid bila berwarna kuning. Larutan furosemin ini tidak stabil pada suasana asam, tetapi stabil pada suasana basa. Bila disimpan dalam lemari es bisa terjadi presipitasi atau kristalisasi
    2. Inj. Furosemid ini seharusnya diberikan secara perlahan dengan kecepatan lebih dari 1 – 2 menit (DIH 2009-2010, p. 676)

      Stabilitas dan cara pemberian injeksi atropin
      1. Simpan injeksi ini pada suhu kamar yang dikontrol pada suhu 150 – 300C, jangan simpan di frizer dan hindarkan dari cahaya
      2. Pemberian injeksi atropin lambat dapat menyebabkan paradoksikal bradikardi (DIH 2009-2010, p. 157)
        Stabilitas injeksi MgSO4
        1. Simpan pada suhu kamar dg suhu 200 – 250C. penyimpanan dalam lemari es menyebabkan terjadinya presipitasi atau kristalisasi (DIH 2009-2010, p. 917)


          Cara pemberian dan stabilitas injeksi ceftriaxone 
      1. Ceftriaxone injeksi diberikan secara perlahan
      2. 3 – 5 menit
      3. Bila direkonstitusi dg pelarut 250 ml ceftriaxone bertahan selama 24 jam bila disimpan pada suhu kamar dan tahan selama 3 hari bila disimpan di lemari es
      4. Bila direkonstitusi dg 100 ml WFI steril, 0,9% NaCl, dan 5% dextrose ceftriaxone bertahan 3 hari dalam suhu kamar dan 10 hari dalam lemari es (Tatro, 2003)
     
    Cara pemberian injeksi fentanil
    1. Pemberian infus fentanil IV pelan sebaiknya lebih dari 1 – 2 menit. Bila diberikan secara IV cepat dapat menyebabkan terjadinya kekauan otot (DIH 2009-2010, p. 610)

      Kontraindikasi, stabilitas, dan cara pemberian injeksi propofol
      1. njeksi propofol kontraindikasi dg pasien yang memiliki alergi telur, kedelai, dan produk-produk yg terbuat dari telur maupun kedelai (DIH 2009-2010, p. 1254). Oleh karena itu sebaiknya sebelum diberikan injeksi ini dipastikan bahwa pasien tidak alergi terhadap makanan tersebut
      2. Jangan gunakan injeksi propofol bila dicurigai terkontaminasi. Selain itu jangan berikan pada IV cateter yg juga digunakan untuk pemberian darah dan plasma. Propofol yg sudah tidak dipakai sebaiknya dibuang setelah 12 jam
      3. Injeksi propofol sebaiknya disimpan pada suhu 40 – 220C, jangan simpan di frizer, dan hindarkan dari cahaya. Jika dipindahkan ke syringe sebelum diberikan, gunakan selama 6 jam. Tetapi jika digunakan langsung dari vial/ prefilled syringe gunakan selama 12 jam. Kocok dulu sebelum digunakan dan jangan gunakan bila fase emulsi pecah. Untuk mendapatkan konsentrasi ≥ 2 mg/ml propofol mungkin dapat dilarutkan dlm D5W dan bisa bertahan selama 8 jam pd suhu kamar (DIH 2009-2010, p. 1254)
         
        Stabilitas injeksi vitamin C
        1. Buang larutan IV setelah 24 jam, dan simpan ditempat yang terlindung dari cahaya (Tatro, 2003)




Blood Specimen Collection Procedures

    

     Proper specimen collection presumes correct technique and accurate timing when necessary. Most hematology tests use liquid ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) as an anticoagulant. Tubes with anticoagulants should be gently but completely inverted end over end 7 to 10 times after collection. This action ensures complete mixing of anticoagulants with blood to prevent clot formation. Even slightly clotted blood invalidates the test, and the sample must be redrawn.
For plasma coagulator studies, such as prothrombin time (PT) and partial thromboplastin time (PTT), the tube must be allowed to fill to its capacity or an improper blood-to-anticoagulant ratio will invalidate coagulator results. Invert 7 to 10 times to prevent clotting.
Capillary Puncture (Skin Puncture)
Capillary blood is preferred for a peripheral blood smear and can also be used for other hematology studies. Adult capillary blood samples require a skin puncture, usually of the fingertip. For children, the tip of the finger is also often the choice. Infants younger than 1 year of age and neonates yield the best samples from the great toe or side of the heel.
Procedure
Capillary Blood
  • Observe standard precautions (see Appendix A). Check for latex allergy. If allergy is present, do not use latex-containing products.
  • Obtain capillary blood from fingertips or earlobes (adults) or from the great toe or heel (infants). Avoid using the lateral aspect of the heel where the plantar artery is located.
  • Disinfect puncture site, dry the site, and puncture skin with sterile disposable lancet, perpendicular to the lines of the patient's fingers, no deeper than 2 mm. If povidone-iodine is used, allow to dry thoroughly.
  • Wipe away the initial drop of blood. Collect subsequent drops in a microtube or prepare a smear directly from a drop of blood.
  • After collection, apply a small amount of pressure briefly to the puncture site to prevent painful extravasation of blood into the subcutaneous tissues.
     Dried Blood Spot
    • In this method, a lancet is used, and the resulting droplets of blood are collected by blotting them with filter paper directly.
    • Check the stability of equipment and integrity of supplies when doing a finger stick. If provided, check the humidity indicator patch on the filter paper card. If the humidity circle is pink, do not use this filter paper card. The humidity indicator must be blue to ensure specimen integrity.
    • After wiping the first drop of blood on the gauze pad, fill and saturate each of the circles in numerical order by blotting the blood droplet with the filter paper. Do not touch the  
    • patient's skin to the filter paper; only the blood droplet should come in contact with the filter pape.
    • If an adult has a cold hand, run warm water over it for approximately 3 minutes. The best flow occurs when the arm is held downward, with the hand below heart level, making effective use of gravity. If there is a problem with proper blood flow, milk the finger with gentle pressure to stimulate blood flow or attempt a second finger stick; do not attempt more than two.
    • When the blood circles penetrate through to the other side of the filter paper, the circles are fully saturated.
    •  


    Customer Satisfaction (Kepuasan Pelanggan)



              Kepuasan adalah evaluasi purnabeli dimana persepsi terhadap kinerja alternatif produk/jasa yang dipilih memenuhi atau melebihi harapan sebelum pembelian. Apabila persepsi terhadap kinerja tidak memenuhi harapan, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan (Umar, 2003).
    Pengukuran Kepuasan
                6 konsep yang umum dipakai dalam mengukuran kepuasan pelanggan yaitu (Umar,2003) :
    1.      Kepuasan pelanggan keseluruhan
    Cara pengukuran yaitu dengan menanyakan pelanggan mengenai tinggkat kepuasan atas jasa yang bersangkutan serta menilai dan membandingkan dengan tingkat kepuasan pelanggan keseluruhan atas jasa yang mereka terima dari para pesaing.
    2.      Dimensi kepuasan pelanggan
    Prosesnya melalui empat langkah.
    ·         Pertama, mengidentifikasi dimensi – dimensi kunci kepuasan pelanggan.
    ·         Kedua, meminta pelanggan menilai jasa perusahaan berdasarkan item – item spesifik seperti kecepatan pelayanan atau ketepatan pemberian informasi kepada pelanggan.
    ·         Ketiga meminta pelanggan menilai jasa pesaing berdasarkan item – item spesifik yang sama.
    ·         Keempat, meminta pelanggan menentukan dimensi – dimensi yang menurut mereka ada di kelompok penting dalam menilai kepuasan pelanggan keseluruhan.

    3.      Konfirmasi harapan
    Pada cara ini, kepuasan tidak di ukur langsung tetapi disimpulkan berdasarkan kesuaian/ketidaksesuaian antara harapan pelanggan dengan kinerja aktual jasa yang dijual/ditawarkan.
    4.      Minat pembeli ulang
    Kepuasan pelanggan di ukur berdasarkan apakah mereka akan mengadakan pembelian ulang atas jasa yang sama yang dia konsumsi.
    5.      Kesediaan untuk merekomendasikan
    Cara ini merupakan ukuran yang penting, apalagi bagi jasa yang pembelian ulangnya relatif lama, seperti jasa pendidikan tinggi.
    6.      Ketidak puasan pelanggan
    Cara ini dapat dikaji misalnya dalam hal komplain, biaya garansi, serta defection.
    Dikatakan untuk mendapatkan konsumen tidak sulit, tetapi yang lebih sulit
    mempertahankan konsumen. Kepuasan konsumen merupakan faktor penentu kesetiaannya terhadap apotik (Anief, 2000).
                Mempertahankan konsumen agar tetap loyal terhadap apotek adalah lebih
    sulit. Kepuasan klien/konsumen adalah merupakan faktor yang menentukan (Supranto, 2006).
    Ada lima faktor utama yang menentukan tingkat kepuasan konsumen/klien, yaitu :
    a.       Kualitas produk farmasi yaitu kemampuan menyembuhkan penyakit. Hal ini menyangkut ketersediaan farmasi dan ketersediaan hayati, sehingga tercapai tujuan efek terapi. Persepsi konsumen/klien terhadap produk farmasi dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan sesungguhnya kualitas produk farmasi dan komunikasi.
    b.      Kualitas pelayanan terhadap klien. Klien akan merasa puas bila mereka dapat pelayanan yang baik, ramah, sesuai dengan yang diharapkan.
    c.       Merupakan komponen emosional yaitu pengaruh atau pertimbangan yang bersifat emosional seperti : karena sugesti, angan-angan, gambaran yang indah, perasaan bangga, agar kelihatan lain dari yang lain. Kepuasan tersebut membuat konsumen merasa puas terhadap produk farmasi tersebut.
    d.      Harga. Meskipun produk farmasi yang dipilih mempunyai kemanjuran khasiat yang sama dengan produk farmasi yang lain tetapi harganya relatif lebih murah. Hal tersebut juga merupakan faktor penting untuk menentukan tingkat kepuasan.
    e.       Faktor biaya untuk memperoleh produk farmasi tersebut. Konsumen tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan juga tidak perlu membuang waktu untuk memperoleh obat tersebut (Anief, 2000).

    Ukur Kualitas Jasa
                Pelayanan konsumen dapat berupa produk, jasa, atau campuran produk dan jasa. Apotek merupakan pelayanan produk dan jasa. Apotek merupakan pelayanan produk dan jasa yang dikaitkan dengan kepuasan klien (Khasanah et al, 2003).
                Tingkat kualitas pelayanan tidak dapat dinilai dari sudut pandang perusaan, tetapi harus dilihat dari sudut pandang konsumen (Rangkuti, 2002). Karena itu Parasuraman, Zeithaml dan Berry membentuk model kualitas jasa yang menyoroti syarat – syarat untuk memberikan kualitas jasa yang lebih tinggi, dengan lima penentu kualitas jasa yang lebih tinggi, dengan lima penentu kualitas jasa yang muncul dari persepsi klien pada kualitas jasa yaitu (Kotler, 1997; Umar, 2003).
    Reliability (Kehandalan)
    Yaitu kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan terpercaya dan akurat. Pada pemberian informasi, kehandalan dapat tercermin dari kemampuan farmasis untuk memberikan informasi, sehingga memudahkan klien untuk melakukan swamedikasi.
    2.      Responsiveness (Kehandalan)
    Yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu pelanggan/klien dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, meliputi kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam menangani transaksi dan penanganan keluhan pelanggan/klien
    3.      Assurance (Jaminan)
    Yaitu pengetahuan dan kesopanan farmasis dan kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan pada klien. Aspek ini merupakan gabungan dari beberapa aspek yaitu kompetensi (Competence), kesopanan (Courtesy), kredibilitas (Credibility), dan Keamanan (Security).
    4.      Empathy (empati)
    Yaitu kesediaan untuk peduli dan memberi perhatian pribadi pada klien. Aspek ini merupakan gabungan dari aspek – aspek kemudahan akses (access), komunikasi (communication), dan pemahaman pada pelanggan (Understanding the consumer).
    5.      Tangibles (bukti langsung)
    Meliputi penampilan fasilitas fisik, seperti gedung dan ruangan, tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapian dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan komunikasi dan penampilan karyawan.
    Kelima penentu kualitas jasa inilah yang digunakan sebagai dasar pengukuran tingkat kepuasan klien terhadap pelayanan informasi obat pada swamedikasi sebagai pelayanan jasa yang disediakan oleh apotek. Karena pada dasarnya pengertian kepuasan klien (pelanggan) mencakup perbedaan antara tingkat kepentingan dengan kinerja dirasakan (Rangkuti, 2002), maka kepuasan klien dapat diukur dengan membandingkan antara tingkat kepentingan klien dengan tingkat kinerja apotek pada swamedikasi.

    Self medication (Swamedikasi)




    Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat baik obat modern maupun obat tradisional oleh seseorang untuk melindungi diri dari penyakit dan gejalanya (WHO,1998).
    Sedangkan menurut The International Pharmaceutical Federation (FIP) yang dimaksud dari swamedikasi atau self medication adalah penggunaan obat non resep oleh seseorang atas inisiatif sendiri (FIP,1999).

    Penggunaan Obat yang Rasional dalam Swamedikasi
    Swamedikasi memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pemerintah dalam pemeliharaan kesehatan secara rasional. Namun bila tidak dilakukan secara benar justru menimbulkan bencana yaitu tidak sembuhnya penyakit atau munculnya penyakit baru karena obat dengan segala konsekuensinya. Untuk melakukan swamedikasi secara aman, efektif dan terjangkau, masyarakat perlu melakukan bekal pengetahuan dan ketrampilan. Masyarakat mutlak memerlukan informasi yang jelas dan terpecaya agar penentuan kebutuhan jenis atau jumlah obat dapat diambil berdasarkan alasan yang rasional (Suryawati,1997).
    Untuk mengetahui kebenaran swamedikasi (Menggunakan Obat secara rasional) dapat digunakan indikator sebagi berikut (Depkes RI, 1996) :
    1.      Tepat Obat, pelaku swamedikasi dalam melakukan pemilihan obat hendaknya sesuai dengan keluhan yang dirasakannya dan mengetahui kegunaan obat yang diminum.
    2.      Tepat golongan, pelaku swamedikasi hendaknya menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas dan bebas terbatas.
    3.      Tepat dosis, pelaku swamedikasi dapat menggunakan obat secara benar meliputi cara pemakaian, aturan pakai dan jumlah obat yang digunakan.
    4.      Tepat waktu (Lama pengobatan terbatas), pelaku swamedikasi mengetahui kapan harus menggunakan obat dan batas waktu menghentikannya untuk segera meminta pertolongan tenaga medis jika keluhannya tidak berkurang.
    5.      Waspada efek samping, pelaku swamedikasi mengetahui efek samping yang timbul pada penggunaan obat sehingga dapat mengambil tindakan pencegahan serta mewaspadainya.
    Tanggung jawab dalam swamedikasi menurut World Health Organization (WHO) terdiri dari dua yaitu (WHO,1998) :
    1.      Pengobatan yang digunakan harus terjamin keamanan, kualitas dan keefektifannya.
    2.      Pengobatan yang digunakan diindikasikan untuk kondisi yang dapat dikenali sendiri dan untuk beberapa macam kondisi kronis dan tahap penyembuhan (Setelah diagnosis medis awal). Pada seluruh kasus, obat harus didesain spesifik untuk tujuan pengobatan tertentu dan memerlukan bentuk sediaan dan dosis yang benar.
    Masalah – masalah yang umum dihadapi pada swamedikasi antara lain sakit kepala, batuk, sakit mata, konstipasi, diare, sakit perut, sakit gigi, penyakit pada kulit seperti panu, sakit pada kaki dan lain sebagainya (Edwards & stillman,2000).

    Peran Farmasis dalam Swamedikasi
    Pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari drug oriented menjadi klien oriented yang berdasarkan pada konsep “ Pharmaceutical Care” . Yang dimaksud dengan Pharmaceutical care adalah tanggung jawab farmakoterapi dari seorang farmasis untuk mencapai dampak tertentu dalam meningkatkan kualitas hidup klien (ISFI,2004). Peran farmasis diharapkan tidak hanya menjual obat tetapi lebih kepada menjamin tersedianya obat yang berkualitas, mempunyai efikasi, jumlah yang cukup, aman, nyaman bagi pemakaiannya dan harga yang wajar serta pada saat pemberiannya disertai informasi yang cukup memadai, diikuti pemantauan pada saat penggunaan obat dan akhirnya di evaluasi. Pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan klien atau masyarakat yang berkaitan dengan sediaan farmasi yang memenuhi standart dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Menurut World Health organization (WHO)peran farmasis dalam swamedikasi yaitu (WHO,1998) :
    1.      Komunikator (Communicator)
    Farmasis harus mempunyai inisiatif untuk berdialog dengan klien (dan dokter, jika dibutuhkan) untuk menggali tentang riwayat kesehatan klien. Untuk mendapatkan informasi yang benartentang kondisi klien, farmasis mengajukan beberapa pertanyaan kepada klien misalnya mengenai keluhan atau pengobatan yang pernah dilakukan klien. Dalam hal ini farmasis harus mampu mengenali gejala penyakit tanpa melangkahi wewenang dokter.
    Farmasis harus memberikan informasi yang objektifyang diperlukan klien misalnya mengenai cara penggunaan obat atau cara penyimpanan obat. Untuk itu farmasis harus dapat memenuhi kebutuhan klien sebagai sumber informasi tentang obat, mendampingi dan membantu klien untuk melakukan swamedikasi yang bertanggung jawab atau bila perlu memberikan referensi kepada klien untuk melakukan rujukan kepada dokter.
    2.      Penyedia obat yang berkualitas (quality drug supplier)
    Seseorang Farmasis harus menjamin bahwa obat yang disediakan dalam swamedikasi berasal dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan dan berkualitas bagus. Selain itu farmasis juga harus menjamin bahwa obat – obat tersebut disimpan dengan baik.
    3.      Pengawas dan pelatih (trainer and supervisor)
    Untuk menjamin bahwa pelayanan yang diberikan berkualitas, maka farmasis harus selalu membekali diri dengan ilmu – ilmu terbaru untuk meningkatkan kemampuan profesional seperti mengikuti pendidikan berkelanjutan.
    Farmasis harus menjamin bahwa pelayanan yang dilakukan oleh staf – staf yang bukan farmasis memiliki kualitas yang sama. Karena itu farmasis harus membuat protokol sebagai referensi bagi farmasis dan juga protokol bagi pekerja kesehatan masyarakat yang terlibat dengan penyimpanan dan distribusi obat.
    Farmasis juga harus menyediakan pelatihan dan menjadi pengawas bagi staf-staf yang bukan farmasis.
    4.      Kolaborator (collaborator)
    Farmasis harus membangun hubungan profesional yang baik dengan profesional kesehatan yang lain, asosiasi profesi nasional, industri farmasi, pemerintah ( Lokal/Nasional ), klien dan masyarakat umum.
    Pada akhirnya hubungan yang baik ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dalam swamedikasi.
    5.      Promotor Kesehatan (Health promotor)
    Sebagai bagian dari kesehatan, farmasis harus berpartisipasi dalam mengidentifikasi masalah kesehatan dan resikonya bagi masyarakat, berpartisipasi dalam promosi kesehatan dan pencegahan penyakit dan memberikan saran secara individual untuk membantu dalam menentukan pilihan informasi tentang kesehatan.
    FIP juga merumuskan empat tanggung jawab farmasis dalam swamedikasi yang dituangkan dalam kesempatan bersama asosiasi industri obat (WSMI).
    Empat tanggungjawab tersebut yaitu (FIP,1999) :
    1.      Tanggungjawab profesional farmasis untuk memberi informasi dan saran yang objektif tentang swmedikasi dan obat – obatan yang tersedia untuk swmedikasi.
    2.      Tanggungjawab profesional farmasis untuk melapor kepada pemerintah dan industri farmasi apabila ditemukan adanya efek samping yang muncul pada individu yang melakukan swamedikasi dengan menggunakan obat produk dari industri farmasi tersebut.
    3.      Tanggungjawab profesional farmasis untuk merekomendasikan rujukan kepada dokter apabila swamedikasi yang dilakukan tidak tepat.
    4.      Tanggungjawab profesional farmasis untuk memberi penjelasan kepada masyarakat bahwa obat adalah produk khusus dan harus disimpan serta diberi perhatian khusus. Farmasis juga tidak diperbolehkan melakukan hal yang dapat memicu masyarakat membeli obat dalam jumlah banyak sekaligus.

    Terdapat beberapa hal yang harus di kuasai oleh seorang farmasis pada pelayanan swamedikasi, yaitu (Blenkinsopp & paxton,2002):
    1.      Membedakan antara gejala minor dan gejala yang lebih serius.
    “Triaging” adalah istilah yang diberikan untuk membedakan tingkat keseriusan gejala penyakit yang timbul dan tindakan yang harus di ambil. Farmasis telah memiliki prosedur untuk mengumpulkan informasi dari klien, sehingga dapat memberikan saran untuk melakukan pengobatan atau menyarankan rujukan ke dokter.
    2.      Kemampuan mendengarkan (Listening skills)
    Farmasis membutuhkan informasi dari klien untuk membatu membuat keputusan dan merekomendasikan suatu terapi. Proses ini dimulai dengan suatu pertanyaan pembuka dan penjelasan kepada klien kemungkinan diajukannya pertanyaan yang bersifat lebih pribadi. Hal ini diperlukan agar farmasis dapat mengenali gejala lebih jauh, sehingga dapat merekomendasikan terapi yg benar.
    3.      Kemampuan bertanya (Questioning skills)
    Farmasis harus memiliki kemampuan untuk mengajukan pertanyaan dalam usaha untuk mengumpulkan informasi tentang gejala klien. Farmasi harus mengembangkan suatu metode untuk mengumpulkan informasi yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus diajukan. Ada dua metode umum yang digunakan. 
    Yang pertama disingkat sebagai WHAM
    ·         W : Who is the patient and what are the symptoms (siapakah klien dan apa gejalanya)
    ·         H : How long have the symptoms (berapa lama timbulnya gejala)
    ·         A : Action taken (Tindakan yang sudah dilakukan)
    ·         M : Medication being taken (obat yang sudah digunakan)
    Yang kedua dikembangkan oleh Derek Balon, seorang farmasis di london yaitu ASMETHOD
    ·         A : Age / appearance (Usia klien)
    ·         S : Self or someone else (dirinya sendiri atau orang lain yang sakit)
    ·                    M : Medication (regularly taken on preskription or OTC) (Pengobatan yang sudah digunakan baik dengan resep maupun dengan non resep)
    ·         E : Extra medicine (Usaha lain untuk mengatasi gejala sakit)
    ·         T : Time persisting (lama gejala)
    ·         H : History (iwayat klien)
    ·         O : Other symptoms (gejala lain)
    ·         D : Danger symptom (Gejala yang berbahaya).
    4.      Pemilihan terapi berdasarkan bukti keefektifan.
    Farmasis memiliki dasar pengetahuan farmakologi, terapeutik dan farmasetika yang dapat digunakan untuk memberikan terapi yang rasional, didasarkan pada kebutuhan klien. Selain melihat kefektifan bahan aktif suatu obat, farmasis juga harus memperhatikan interaksi potensial, kontraindikasi, peringatan, dan profil efek samping dari bahan – bahan tambahan yang terkandung.
    Farmasis dapat menyarankan rujukan kepada dokter jika gejala timbul dalam waktu yang lama, masalah berulang dan semakin parah, timbul nyeri yang hebat, penggobatan gagal, timbul efek samping, dan gejala yang berbahaya.
    Informasi Obat dalam Swamedikasi
                Salah satu faktor penentu yang berperan dalam tindakan pengobatan sendiri atau self medication yaitu tersedianya sumber informasi tentang obat dan pengobatan. Ketersedianya sumber informasi tentang obat dapat menentukan keputusan dalam pemilihan obat (Sukasedati, 1999). Informasi obat disini merupakan tanggungjawab farmasis dan merupakan bagian dari konsep pharmaceutical Care.
                Seorang farmasis harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi yang dapat diberikan oleh seorang farmasis dalam pelayanan swamedikasi yaitu
    (Jepson, 1990; Rudd C.C, 1983; WHO, 1998; MENKES RI,2004) :
    1.      Nama obat dan kekuatannya, farmasis harus menjelaskan kesamaan penggunaan obat paten dan obat generik, apabila suatu saat terjadi penggantian obat.
    2.      Indikasi dan aturan pakai, hal ini merupakan faktor penting yang harus di ketahui klien saat menerima obat. Sehingga klien benar – benar mengerti tentang waktu penggunaan obat dan instruksi khusus yang harus di perhatikan oleh klien, misalnya “kocok dahulu” atau “harus diminum saat lambung kosong”.
    3.      Mekanisme kerja farmasis harus menjelaskan kerja obat sesuai dengan gejala yang diderita klien. Sebab beberapa obat memiliki mekanisme kerja yang berbeda, sesuai dengan indikasi terapinya.
    4.      Efek pada gaya hidup, beberapa terapi dapat menimbulkan perubahan pada gaya hidup klien misalnya mengurangi mengkonsumsi alkohol, merokok, mengurangi olah raga berlebihan.
    5.      Penyimpanan obat, informasi tentang cara penyimpanan obat sangat penting terutama untuk obat – obat yang memiliki aturan penyimpanan tertentu, misalnya harus di simpan di lemari es, harus disimpan terlindung dari cahaya atau di jauhkan dari jangkauan anak – anank.
    6.      Efek samping potensial, klien harus diinformasikan tentang efek samping yang mungkin timbul dalam penggunaan obat. Efek samping tersebut dapat berupa efek samping ringan yang dapat di prediksi, contoh perubahan warna urin, sedasi, bibir kering dan efek samping yang perlu perhatian medis, misalnya reaksi alergi, nausea, vomiting dan impotensi.
    7.      Interaksi antar obat dan makan, farmasis harus memberikan informasi tentang kemungkinan adanya interaksi antar obat yang digunakan ataupun dengan makan yang di konsumsi oleh klien, sehingga klien dapat mengetahui aturan pakai yang benar dari masing – masing obat, contohnya pemberian antikoagolan berinteraksi dengan pemberian aspirin.
    Informasi tambahan lainya yaitu pembuangan obat yang telah kadaluarsa dan kapan saatnya berkonsultasi ke dokter.