The Pharmacist Room

HIV/AIDS




A.    DEFINISI
CDC (The Centers for Disease Control and Prevention) mendefinisikan AIDS meliputi orang dengan penyakit simtomatis yang serius dan semua orang yang terinfeksi HIV dengan jumlah CD4 <200 limfosit/µl atau persentase CD4 limfosit T <14% dari keseluruhan total limfosit. (Wells, et al., 2002)

B.     ETIOLOGI
Disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV adalah grup lentivirinae, sub famili retrovirus. Lentivirus dikarakterisasi oleh sifat indolent infectious Cycle. Terdapat dua tipe HIV yaitu HIV 1 dan HIV 2. HIV 2 ditemukan terutama di Afrika barat, terdiri dari enam filogenetik yang disebut subtype (clades) A sampai F. HIV 1 dibedakan menjadi 3 grup yaitu M(main), N (new or non-M, non-O), dan O (outlier). HIV pada manusia merupakan transmisi antar spesies (zoonosis) dari primata yang terinfeksi oleh simian immunodeficiency virus (SIV) (Fletcher and Kakuda, 2005).

C.    PATOGENESIS
Setelah HIV masuk dalam tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada dalam sel dendritik selama beberapa hari. Kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu (serupa infeksi mononucleosis), disertai viremia hebat dengan keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Pada tubuh, timbul respon imun humoral maupun selular. Sindrom ini akan hilang sendiri setelah 1-3minggu. Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh sistem imun tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan virus baru dan upaya eliminasi oleh respon imun. Titik keseimbangan disebut set point dan amat penting karena menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Bila tinggi, perjalanan penyakit menuju acquired immunodeficiency syndrome (sindrom defisiensi imun yang didapat, AIDS) akan berlangsung lebih cepat.
Serokonversi (perubahan antibodi negative mernjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi, tetapi pernah juga dilaporkan sampai 8 bulan. Kemudian pasien akan memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan bertahap jumlah CD4 (jumlah normal 800-1000) yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus relatif konstan. CD4 adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target sel utama HIV. Mula-mula penurunan jumlah CD4 sekitar 30-60/tahun, tetapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah menjadi lebih cepat, 50-100/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai dibawah 200. (Manssjoer, dkk., 1999)
 

A.    CARA PENULARAN
1.      Hubungan seksual, dengan resiko penularan 0,1-1% tiap hubungan seksual.
2.      Melalui darah, yaitu:
·     Transfusi darah yang mengandung HIV, resiko penularan 90-98%
·     Tertusuk jarum yang mengandung HIV, resiko penularan 0,03%
·     Terpapar mukosa yang mengandung HIV, resiko penularan 0,0051%
3.   Transmisi dari ibu ke anak
·   Selama kehamilan
·   Saat persalinan, resiko penularan 50%
·   Melalui ASI 14%
       (Manssjoer, et al., 1999)

B.     MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik dari infeksi primer HIV dapat beragam, tetapi pasien umumnya mengalami sindrom retroviral akut atau mononucleosis-like illness. Gejala dapat terjadi dalam waktu 2 minggu dan perawatan di rumah sakit diperlukan untuk 15% pasien.  Infeksi primer diasosiasikan dengan tingginya  viral load dan perkembangan respon sistem imun selama periode supresi, akan tetapi tidak mengeliminasi replikasi virus. Kebanyakan anak yang lahir dengan HIV, asimptomatis. Pada pemeriksaan fisik, anak-anak umumnya mengalami tanda fisik seperti lymphadenopathy, hepatomegali, splenomegali, penurunan berat badan dan demam. Data laboratorik meliputi anemia, hipergammaglobulinemia (IgA and IgM), alterasi fungsi sel mononuklear dan alterasi rasio sel T.
Sedangkan pada dewasa presentasi klinik dari infeksi primer HIV meliputi gejala antara lain demam, penurunan BB, sore throat, fatigue, myalgia, morbilliform atau maculopapular rash, diare, mual, muntah, lmphadenopati, night sweats, dan meningitis aseptik mungkin dapat timbul (Fletcher and Kakuda, 2005).
C.    STADIUM KLINIK HIV/AIDS
Tabel 1.  Stadium Klinik HIV/AIDS
Tingkat Infeksi HIV
Gejala
Skala aktivitas
I
Asimptomatik
Asimptomatik, aktivitas normal
Limfadenopati menetap dan menyeluruh
II
Berat badan menurun <10% tanpa sebab
Simptomatik, aktivitas normal
Kelainan kulit dan mukosa ringan
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Infeksi saluran  nafas bagian atas seperti sinusitis bakterialis, tonsilitis, otitis media, pharyngitis
Infeksi jamur pada kuku
III
Berat badan menurun >10%
Pada umumnya lemah, aktivitas di tempat tidur <50%
Diare kronik tanpa sebab >1bulan
Demam berkepanjangan >1bulan
Oral candidiasis
Oral hairy lekoplakia
TBC paru
Infeksi bakteri berat seperti pneumoniae, pyomyositis
Gangguan inflamasi berat pada pelvik
Acute necrotizing ulcerative stomatitis
Trombositopenia kronik (<50 x 109 / l)
IV
HIV wasting syndrome
Pada umumnya sangat lemah, aktivitas di tempat tidur >50%
Pneumocystis carinii Pneumonia
Toksoplasmosis di otak
Kriptosporodiasis dengan diare >1bulan
Krispokokosis ekstraparu termasuk meningitis
Retinitis sitomegalovirus
Infeksi virus herpes symplex pada mukokutan >1bulan
Progressiv multifocal encephalopathy
Mycosis seperti histoplasmosis
Kandidiasis pada esofagus, trakea dan bronki
Mycobakter atipikal pada paru
Salmonella septicaemia non tifoid
TBC ekstraparu
Lymphoma
Kaposi’s sarcoma
Invasive cervical carninoma
(Anonim, 2004)

D.    INFEKSI OPORTUNISTIK TERKAIT HIV/AIDS
Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh maupun dalam tubuh manusia yang dalam kondisi normal tidak patogen (Anonim, 2006). Perkembangan infeksi oportunistik terkait secara langsung ataupun tidak langsung dengan harga limfosit CD4.


Tabel 2.          Macam-macam infeksi oportunistik pada AIDS

Jenis IO
Penyebab
Rentang CD4
Terapi
Pneumocystis Carinii Pneumonie (PCP)
Pneumocystis carinii
P.  jiroveci
<150- 200/μL
· Terapi akut:
Trimetoprim (15-20mg) + Sulfametoksazol (75-100mg)kg/hari secara IV selama 21 hari
· Maintenance kronik pilihan   pertama:
Cotrimoksazole PO
·PCP berat alternatif:
Pentamidin 4mg/kg IV infus selama 1 jam
·PCP ringan:
Dapson 100mg PO + Trimetoprim 15mg/kg/hari PO; Klindamisin 300-450mg PO; Primakuin 15-30mg PO dan Klindamisisn 600-900mg IV
Pneumonia

Streptococcus pneumonie dan Hemophilus influenzae
200-350 sel/mm3
·Terapi empirik:
Sefalosporin (sefotaksim, seftriakson), Gatifoksasin, levofloksasin, mosifloksasin
·Terapi empirik untuk infeksi berat:
Sefalosporin, makrolid dan  kuinolon
Septisemia
Bakteri gram negatif dan gram positif, jamur
Dapat terjadi pada jumlah sel CD4 berapapun.
Sefalosporin generasi III
Salmonela bacteremia


Salmonella sp.
Dapat terjadi pada jumlah sel CD4 berapapun.
Siprofloksasin 500-750 mg PO atau 400 mg iv sekiranya dapat digunakan selama 7-14 hari.
Trimetoprim - sulfametoksasol PO atau iv
Sefalosporin generasi III (ceftriakson) iv dan ceftiaxim iv.
Diare kronis
Umumnya disebabkan oleh
-Microsporidia
-Cryptosporidia spp.
-Mycobacterium avium complex
-salmonella spp
-shigella spp
-campylobacter spp.
-Giardia lamblia
< 500 sel/mm3
-Rehidrasi oral
-terapi antibiotik sesuai bakteri penyebab diare.
Kotrimoksazol pada infeksi isospora dan cyclospora, Ciprofloksacin pada infeksi salmonella spp dan shigella spp. Infeksi campylobacter spp digunakan eritromisin atau ciprofloksacin.
Giardia lamblia diterapi dengan metronidazol.
Herpes Simpleks
HSV-1 dan HSV-2
Dapat terjadi pada CD4 berapapun
Famsiklovir 500mg PO atau Valasklovir 1 gram PO sehari 2x atau Asiklovir 400mg PO selama 7-14 hari

Jenis IO
Penyebab
Rentang CD4
Terapi
Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis

















Awal HIV>300/μL
TBC ekstra paru<300/μL
·Fase awal(8 minggu):
INH 5mg/kg PO+Rifampisin 10mg/kg(maks 600mg)PO atau Rifabutin 300mg PO +pirazinamid(tergantung BB) PO +Etambutol PO
·Fase lanjutan(18 minggu):
INH 5mg/kg (maks 300mg) PO+Rifampisin 10mg/kg(maks 60mg) atau Rifabutin 300mg PO; INH 15mg/kg(maks 900mg)PO 2-3xsehari + Rifampisin 10mg/kg(maks 600mg)atau Rifabutin 300 mg PO
·Alternatif:
·  Resistensi INH :
Hentikan pemberian INH dan Streptomisin    
Rifamisin, Pirazinamid dan Etambutol selama 6 bulan
·  Resistensi pada Rifampisin:
INH + Pirazinamid + Etambutol + Florokuinolon(levofloksasin 500mg/hari) selama 2 bulan diteruskan INH + Etambutol + florokuinolon selama 10-16 bulan.
· Terapi alternatif pada penderita disfungsi liver :
Rifampisin + Etambutol + Pirazinamid selama 6 bln; INH + Rifampisin + Etambutol selama 2 bln, seterusny INH + Rifampisin untuk 7 bln; jika disfungsi livernya berat Rifampisin + Etambutol selama 12 bln.

CMV
Cytomegalovirus
< 50/μL
Valgansiklovir 900 mg PO 2xsehari selama 14 - 21 hari; Foskarnet 90 – 120 mg/kg IV; Gansiklovir IV diteruskan sampai gejala hilang
·Pemeliharaan untuk kronik :
Cidofovir 5mg/kg setiap minggu dengan probenesid 2 g PO; Fomivirse 1 vial (300 mg) diulang 2-4 minggu
Kandidiasis
Esofageal, tracheal atau bronchial.

Candida albican (paling banyak), Candida tropicalis,Candida parapsilosis, Candida glabrata, Candida kruseii
<100 sel/mm3
·Orofaring
Flukonazol 100 mg PO
Itrakonazol 200 mg PO
Klotrimazol troches 10 mg PO
Nistatin 4-5 ml
·Esofagus
Flukonazol 100 mg PO atau IV
Itrakonazol 200 mg PO
Vorikonazol 200 mg PO
Kaspofungin 50 mg
· Kandidiasis
Azole topikal (klotrimazole, butokonazol, mikonazol, tikonazol).
Nistatin topikal 100.000 unit/hari sebagai tablet vaginal untuk 14 hari.
Itrakonazol 200 mg sehari 2 kali.
Apabila flukonazol tidak dapat menyembuhkan orofaring kandidiasis maka diberikan :
Itrakonazol > 200 mg PO
Amfoterisin 100 mg PO
Amfoterisin deoksikolat 0,3 mg/kg
Apabila Flukonazol tidak dapat menyembuhkan esofageal kandidiasis maka diberikan :
Kaspofungin 50 mg iv
Vorikonazol 200 mg Po atau iv
Amfoterasin 0,3-0,7 mg/kg iv
Amfoterisin liposoma 3-5 mg/kg
(Anonim, 2006; Nadler, 2006; Hoy and Lewin, 2003)

Tujuan pengobatan terapi antiretroviral adalah (Price S.A, 1995) :
·         Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat,
·         Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV,
·         Memperbaiki kualitas hidup ODHA,
·         Memulihkan dan atau memelihara fungsi kekebalan tubuh,
·         Menekan replikasi virus secara maksimal dan terus-menerus.
 
Terapi antiretroviral
v  Reverse transcriptase inhibitors (RTIs)
a.       Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NsRTIs);
b.      Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs);
c.       Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NtRTIs).
v  Protease inhibitors (PIs).
NsRTIs
NNRTIs
NtRTIs
PIs
Zidovudin (AZT atau ZDV)
Nevirapine (NVP)
Tenofovir
Saquinavir/Ritonavir (SQV/r)
Didanosine (ddI)
Efavirenz (EFV)

Indinavir/Ritonavir (IDV/r)
Stavudine (d4T)
Delavirdine (DLV)

Nelfinavir (NFV)
Lamivudine (3TC)


Lopinavir/Ritonavir (LPV/r)
Abacavir (ABC)


Amprenavir (APV)
Zalcitabine (ddC)


Ritonavir (RTV, r) *
Keterangan : Ritonavir hanya digunakan dalam kombinasi dengan indinavir,
                      lopinavir dan  saquinavir sebagai booster (penguat) dan tidak
                      sebagai obat tersendiri.

Komplikasi yang terjadi pada infeksi HIV berkembang terkait secara langsung atau tidak langsung dengan level CD4 limfosit. Infeksi oportunistik yang sering terjadi adalah Pneumocystis Carinii Pneumonia (45%), Mycobacterium avium complex (25%), Wasting syndrome (25%), Bacterial pneumonia (24%), Cytomegalovirus (23%) dan Candidiasis (22%).
























H. TERAPI ANTI RETROVIRAL VIRUS (ARV)
ARV sampai saat ini merupakan satu-satunya obat yang memberikan manfaat besar dalam pengobatan ODHA. ARV adalah obat yang menghambat replikasi HIV. Tujuan pengobatan ARV adalah mengurangi penularan HIV di masyarakat, memulihkan dan memelihara fungsi imunologis (stabilisasi atau peningkatan sel CD4), menurunkan komplikasi akibat HIV, memperbaiki kualitas hidup ODHA, menekan replikasi virus secara maksimal dan terus-menerus, menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV (Anonim, 2006).
Rekomendasi untuk memulai terapi dengan ARV pada remaja dan dewasa berdasarkan fase klinik dan tanda imunologi :
Fase klinik WHO
Test CD4 tidak tersedia
Test CD4 tersedia
1
Tidak di terapi
Terapi bila CD4 < 200 sel/mm3a
2
Tidak diterapi
3
Terapi
Pertimbangankan terapi bila CD4 < 350 sel/ mm3acd dan terapi bila CD4 turun < 200 sel/mm3e
4
Terapi
Terapi tanpa memperhatikan nilai CD4
Keterangan :
a.       Nilai hitung CD4 yang disarankan untuk membantu menetapkan kebutuhan terapi segera seperti TB pulmonal dan infeksi bakteri berat yang mungkin terjadi pada tiap tingkat CD4
b.      Total limfosit 1200/mm dapat menggantikan hitung CD4 bila nilai CD4 tidak ada atau infeksi HIV ringan. Ini tidak berguna pada pasien tanpa gejala.
c.       Pemberian terapi ARV direkomendasikan untuk perempuan hamil dengan fase klinik 3 da nilai CD4 < 350 sel/mm3.
d.      Pemberian ARV direkomendasikan untuk seluruh pasien HIV dengan nilai CD4 < 350 sel/mm3 dan TBC pulmonal atau infeksi bakteri berat.
e.       Tepatnya nilai CD4 > 200/mm3 pada infeksi HIV belum ditetapkan.



Rekomendasi regimen lini pertama terapi dan perubahan terapi ke lini kedua infeksi HIV pada orang dewasa :
Regimen lini pertama
Regimen lini kedua
RTi
Pi
Standar
AZT atau d4T + 3TC + NVP atau EFV
ddI + ABC atau TDF + ABC atau TDF + 3TC (± AZT)
PI/r
TDF + 3TC + NVP atau EFV
ddI + ABC atau ddI + 3TC (± AZT)
ABC + 3TC + NVP atau EFV
ddI + 3TC (± AZT) atau TDF + 3TC (± AZT)
Alternative
AZT atau d4T + 3TC + TDF atau ABC
EFV atau NVP ± ddI
Keterangan :
·         3TC = lamivudine
·         ABC = abacavir
·         AZT = zidovudine
·         D4T = stavudine
·         DdI = didanosine
·         NFV = nelfinavir
·         NNRTI (non nucleoside reverse transcriptase inhibitor)
·         NRTI = nucleoside reverse trancriptase inhibitor
·         NVP = nevirapine
·         TDF = tenofovir disoproxil fumarate.
Ada tiga golongan utama ARV yang digolongkan berdasarkan mekanisme kerja yaitu :
1).    Penghambat masuknya virus kedalam sel
Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel di hambat.
Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah Enfuvirtid.
2).    Penghambat reverse transcriptase enzyme 
a.       Analog Nukleosida/Nukleotida (NRTI/NtRTI)
·         NRTI diubah secara intraseluler dalam tiga tahap penambahan tiga gugus fosfat dan selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA.
·         Contoh : analog nukleosida, analog thymin (Zidovudin-ZDV/AZT dan Stavudin-d4T), analog adenin (Didanosine-ddI) dan analog guanin (Abacavir-ABC).
·         Analog nukleotida analog adenosin monofosfat mekanisme kerja sama dengan NRTI menghambat replikasi HIV tetapi hanya memerlukan dua tahapan proses fosforilasi, contoh: Tenofovir.
b.      Nonnukleosida (NNRTI)
·         NNRTI bekerja tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural.
·         Aktivitas terhadap HIV-2 tidak kuat.
·         Contoh: Nevirapin (NVP) dan Efavirenz (EFV).
3).    Penghambat enzim protease (PI)
·         PI merupakan terapi ARV yang potensial. Protease inhibitor berikatan secara reversibel dengan enzim protease yang mengkatalisa pembentukkan protein yang dibutuhkan untuk pematangan akhir virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain.
·         Contoh : Saquinavir (SQV), Indinavir (IDV) dan Nelnavir (NFV).
(Anonim, 2006)


Cara Mengatasi Cegukan Dengan Sangat Cepat Tanpa Obat

                 Anda pasti pernah merasakan cegukan. Hal itu sangat mengganggu dan cukup menyebalkan. Mau tahu cara mengatasinya? Ini dia!
Cegukan disebabkan karena adanya gangguan di saluran pernapasan. Jika tidak diatasi, cegukan bisa berlangsung lama. Charles Osborne pria asal Amerika Serikat tercatat sebagai orang yang mengalami cegukan paling lama dalam Guinness World Records yaitu 68 tahun. Mau tahu cara mengatasinya?
Coba Anda lakukan beberapa tips berikut :
  1. Saat cekugan makanlah gula satu sendok teh. Sebuah penelitian menyatakan metode ini dapat menghilangkan cegukan. Ulangi sampai 3 kali dalam waktu 2-3 menit jika cegukan tak juga hilang.
  2. Jika cegukan tak juga hilang, Anda bisa coba minum satu gelas air secara perlahan untuk membuat saluran pernafasan kembali normal.
  3. Makan roti dengan perlahan juga bisa mengatasi cegukan. Makan roti itu sedikit demi sedikit.
  4. Ulangi langkah-langkah tadi jika cegukan tak juga bisa hilang.
Empat cara di atas adalah anjuran dari Detikcom.
Cara Alfonso:
Jika cara yang sering saya gunakan adalah: Tarik napas dalam-dalam, kemudian tahan. Jika cegukan muncul lagi, ulangi lagi sekitar 5-6 kali. Ga perlu makan apa-apa, gampang dilakukan di mana saja dan kapan saja.
Cara Jet Li (di film apa saya lupa):
Bersandar di dinding di atas kasur dengan posisi kepala di bawah, kaki di atas. Tapi, cara ini cukup berisiko karena biasanya cegukan terjadi setelah makan. Kalau posisi kepala di bawah, apa yang akan terjadi?
Selamat mencoba!
(Alfonso)
Diambil dari : Detik
NB : Kebiasaan yang dilakukan oleh penulis bila mengalami cegukan adalah,  ambil nafas dalam2 lalu tahan, setelah itu minum air putih biasa beberapa tegukan. Bila masih belum sembuh ulangi lagi, biasanya 2 kali mencoba juga sudah sembuh. Ternyata banyak juga cara mengatasinya ya….., terserah anda mau mencoba yang mana, Selamat mencoba.

TERAPI ANTIBIOTIK PADA SEPSIS FEBRILE NEUTROPENIA



        Sepsis adalah sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) yang dipicu oleh infeksi. Sindrom respon inflamasi sistemik dapat terjadi pada pasien tanpa adanya infeksi, misalnya pada luka bakar, polytrauma atau keadaan awal di pancreatitis dan pneumonitis kimia.
Selain ditandai dengan gejala yang berhubungan dengan infeksi, sepsis ditandai dengan adanya peradangan akut di seluruh tubuh. Karena itu sering dikaitkan dengan demam dan peningkatan sel darah putih (leukositosis) atau penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia). Konsep modern sepsis adalah bahwa respon kekebalan host terhadap infeksi adalah penyebab sebagian besar gejala sepsis yang berakibat pada konsekuensi hemodinamik dan kerusakan organ. Respon host ini disebut sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS). SIRS didefinisikan sebagai dua atau lebih hal berikut :
·    Suhu > 38 ºC atau < 36 ºC
·    Heart Rate (HR) > 90 x/menit
·    Respiratory Rate (RR) > 20x/menit atau PaCO2 < 32mmHg
·    Leukosit < 4000 sel/mm3 atau > 12.000 sel/ mm3
Berikut klasifikasi sepsis yaitu :
1.    Severe sepsis adalah sepsis dengan disfungsi organ, hipotensi, aliran darah tidak cukup (hipoperfusi) untuk satu atau lebih organ menyebabkan misalnya asidosis laktat, penurunan produksi urin, atau status mental berubah.
2.    Septic shock adalah severe sepsis dengan hipotensi responsive terhadap resusitasi cairan.
Febrile neutropenia adalah Kondisi yang ditandai dengan demam dimana jumlah neutrofil yang  lebih rendah dari nilai normal dalam darah, yaitu jumlah neutrofil absolute (ANC) yang kurang dari 1000 sel/mm3 dan suhu tubuhnya lebih besar atau sama dengan 38 º C atau jika pasien secara sistemik tidak sehat dengan klinis kecurigaan sepsis. Neutrofil adalah jenis sel darah putih yang membantu melawan infeksi terutama infeksi bakteri. Neutropenia dapat disebabkan oleh penyakit leukemia. Selain itu dapat juga terjadi sebagai akibat pengobatan untuk kanker seperti kemoterapi dan radioterapi. Neutropenia merupakan efek samping yang umum dari kemoterapi dan dapat menempatkan pasien pada resiko infeksi yang parah.
Infeksi merupakan penyebab kematian yang paling umum pada pasien kanker. Neutropenia dikaitkan dengan gangguan mendalam pada respon inflamasi yang gejala infeksinya seperti eritema, bengkak, panas, nyeri dan pembentukan nanah. Pasien dengan jumlah neutrofil kurang dari 1000 sel/mm3 memiliki resiko peningkatan infeksi bakteri terutama dari endogen yang diperoleh bakteri dari kulit, hidung, dan tenggorokan atau flora saluran pencernaan. Komplikasi utama febrile neutropenia adalah septic shock dan pengobatan diarahkan untuk mencegah pengembangan dari komplikasi ini.
Berikut ini merupakan factor resiko febrile neutropenia :
1.    High risk patient
Pasien dengan kanker ditambah setidaknya satu atau lebih hal berikut
·    Keganasan hematologis
·    Myelosuppresive kemoterapi
·    Kemoterapi dan radioterapi
·    Usia > 60 tahun
·    Co-morbiditas, misalnya diabetes, status gizi buruk
·    Kanker sumsum tulang
·    Penyembuhan yang tertunda pada bedah atau luka terbuka
·    Jumlah neutrofil yang rendah
·    Riwayat neutropenia
2.    Low risk patient
Pasien dengan kanker dan :
·    Solid tumor (keganasan no hematological)
·    Tidak ada co-morbiditas
·    Darah dan kultur urin normal
·    X – Ray dada normal
·    Tidak ada kecurigaan sepsis



METODE PENULISAN
Metode yang digunakan adalah review jurnal (studi pustaka) yang berkaitan dengan terapi antibiotik pada sepsis febrile neutropenia melalui jurnal-jurnal ilmiah dengan mengumpulkan data-data dan teori yang mendukung penulisan ini. Jurnal yang digunakan adalah jurnal yang relevan dengan karya tulis dan merupakan jurnal eksperimental. Jurnal ilmiah tersebut didapat dari searching elektronik melalui situs ilmiah yang dilakukan dengan memasukkan kata kunci “treatment, antibiotik, sepsis, febrile, neutropenia”, diperoleh 7 jurnal yang relevan dengan karya tulis dan merupakan jurnal eksperimental. Jurnal hasil seleksi dipaparkan ke dalam karya tulis kemudian data dianalisis.

HASIL
Berdasarkan kata kunci yang digunakan yaitu “treatment, antibiotik, sepsis febrile, neutropenia”, terdapat 7 jurnal yang relevan dengan karya tulis. Jurnal tersebut dipaparkan pada tabel I.

Judul Jurnal    Pengarang, Tahun    Ringkasan      
Management of febrile neutropenia    Saman kannangara, MD., 2006    Monoterapi dengan cephalosporin generasi III/ IV atau dengan Carbapenem sama efektifnya dengan terapi kombinasi pada pasien dengan febrile neutropenia.      
Guidelines for the management of neutropenic sepsis    Moyra taylor, dkk ., 2007    Penatalaksanaan pasien yang memiliki resiko yang tinggi adalah dengan monoterapi penggunaan meropenem sedangkan duoterapinya bisa dengan penggunaan antipseudomonal penicilin (misalnya Tazocin 4,5 g) ditambah dengan gentamicin (3-5 mg/kg BB) atau Meropenem ditambah gentamicin. Sedangkan yang memiliki resiko yang rendah terapinya dengan kombinasi IV Ciprofloxacin dan Co-amoxiclav.      
Guidelines for the management of febrile neutropenia in oncology patients.    Rena Chauhan, dkk., 2009    Pada pasien yang tidak alergi terhadap penisillin bisa diberikan piperasillin / tazobactam 4,5g IV 3 x sehari. Pada pasien dengan status alergi penisillin yang tidak berat (sedang) pilihan obat yang digunakan adalah meropenem 1g IV 3 x sehari. Sedangkan pada pasien dengan status alergi penisillin yang berat pilihan obat yang digunakan adalah ciprofloxacin 750mg PO 2 x sehari atau jika tidak bisa secara oral bisa dengan IV 400mg 2 x sehari yang dikombinasi dengan Vancomycin 1g IV 2 x sehari (>65 th bisa dengan oral 1g vancomicin 1 x sehari). Pada semua status alegi, jika pasien mengalami shok bisa diberikan Gentamisin.      
Management of febrile neutropenia in adult    Gippsland Oncology Nurses Group., 2010    Bagi pasien dengan resiko tinggi terapi yang diberikan adalah dengan Ceftazidime 2g IV 3 x sehari atau Ciprofloxacin 400mg IV 2 x sehari yang dikombinasi dengan Gentamicin IV 1x sehari. Bila ada sepsis terapi bisa ditambah dengan Vancomycin 1g IV 2 x sehari (modifikasi dosis bagi yang memiliki gangguan ginjal). Sedangkan untuk pasien dengan resiko rendah dapat diterapi dengan Ceftazidime 2g IV 3 x sehari atau Ciprofloxacin 400mg IV 2 x sehari saja.
      
Empirical antibiotic monotherapy for febrile neutropenia : systemic review and meta-analysis of randomized controlled trials.    Mical paul, dkk., 2005    Penggunaan cefepime untuk febrile neutropenia harus dipertimbangkan dan hati-hati karena memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. Penggunaan Carbapenem secara empiris menggunakan sedikit modifikasi tetapi memberikan peningkatan  pada colitis pseudomembran. Ceftazidime, piperacillin/tazobactam, imipenem/cilastatin dan meropenem merupakan agen yang cocok digunakan secara monoterapi.
      
Meropenem monotherapy versus combination therapy with ceftazidime and amikacin for emprical treatment of febrile neutropenic patients    Behre, dkk., 1997    monoterapi meropenem sama efektifnya dengan terapi kombinasi dengan ceftazidime dan amikacin  untuk terapi empiris pada pasien febrile neutropenia.
      
Meropenem versus ceftazidime in the treatment of cancer patient with febrile neutropenia : a randomized, double-blind trial    Ronald Feld, dkk., 2000    monoterapi dengan  menggunakan meropenem merupakan pilihan yang cocok untuk terapi awal empiris antibiotic pada pasien demam dengan kanker neutropenia.   

PEMBAHASAN
Sepsis adalah sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) yang dipicu oleh infeksi. Selain ditandai dengan gejala yang berhubungan dengan infeksi, sepsis ditandai dengan adanya peradangan akut di seluruh tubuh. Karena itu sering dikaitkan dengan demam dan peningkatan sel darah putih (leukositosis) atau penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia). SIRS didefinisikan sebagai dua atau lebih hal berikut :
·    Suhu > 38 ºC atau < 36 ºC
·    Heart Rate (HR) > 90 x/menit
·    Respiratory Rate (RR) > 20x/menit atau PaCO2 < 32mmHg
·    Leukosit < 4000 sel/mm3 atau > 12.000 sel/ mm3 
Febrile neutropenia adalah Kondisi yang ditandai dengan demam dimana jumlah neutrofil yang  lebih rendah dari normal dalam darah. Neutrofil adalah jenis sel darah putih yang membantu melawan infeksi. Dimana jumlah neutrofil absolute (ANC) yang kurang dari 1000 sel/mm3. Memiliki jumlah neutrofil terlalu sedikit meningkatkaan resiko terjadinya infeksi.
Berdasarkan literatur yang disusun oleh Saman kannangara, MD (2006) dengan judul “Management of febrile neutropenia” disebutkan bahwa monoterapi dengan cephalosporin generasi III/ IV atau dengan Carbapenem sama efektifnya dengan terapi kombinasi pada pasien dengan febrile neutropenia.
Dari hasil guidelines yang disusun oleh Moyra taylor, dkk (2007) yang berjudul “Guidelines for the management of neutropenic sepsis”, febrile neutropenia ditangani berdasarkan keadaan pasien. Bagi pasien yang memiliki resiko tinggi seperti mereka yang sudah rawat inap ketika demam yang berkembang menjadi neutropenia, pasien yang membutuhkan perawatan rumah sakit akut untuk masalah selain demam dan neutropenia, pasien dengan kanker tidak terkendali (misalnya leukemia akut,tumor dan selama terapi antikanker), dalam keadaan hamil, penyakit HIV, dalam penggunaan antibiotik (dalam waktu 72 jam sebelumnya), nyeri abdomen, mual, muntah, diare, gagal ginjal (clearance kreatinin < 30ml/min) dan gagal hati. Sedangkan pasien yang memiliki resiko yang rendah adalah mereka yang tidak termasuk dalam kategori resiko tinggi di atas. Jika penggolongannya ragu maka pasien dianggap memiliki resiko yang tinggi.
Penatalaksanaan pasien yang memiliki resiko yang tinggi adalah dengan monoterapi penggunaan meropenem sedangkan duoterapinya bisa dengan penggunaan antipseudomonal penicilin (misalnya Tazocin 4,5 g) ditambah dengan gentamicin (3-5 mg/kg BB) atau Meropenem ditambah gentamicin. Sedangkan yang memiliki resiko yang rendah terapinya dengan kombinasi IV Ciprofloxacin dan Co-amoxiclav.
Berdasarkan hasil guidelines yang disusun oleh Rena Chauhan, dkk (2009) yang berjudul “Guidelines for the management of febrile neutropenia in oncology patients” membagi pengobatan sepsis febrile neutropenia berdasarkan status alergi pasien terhadap penicillin. Pada pasien yang tidak alergi terhadap penisillin bisa diberikan piperasillin / tazobactam 4,5g IV 3 x sehari. Pada pasien dengan status alergi penisillin yang tidak berat (sedang) pilihan obat yang digunakan adalah meropenem 1g IV 3 x sehari. Pada kondisi tertentu kedua status alergi ini bisa dikombinasikan dengan vancomycin 1g IV 2 x sehari ( pada pasien dengan gangguan ginjal dosis di sesuaikan). Sedangkan pada pasien dengan status alergi penisillin yang berat pilihan obat yang digunakan adalah ciprofloxacin 750mg PO 2 x sehari atau jika tidak bisa secara oral bisa dengan IV 400mg 2 x sehari yang dikombinasi dengan Vancomycin 1g IV 2 x sehari (>65 th bisa dengan oral 1g vancomicin 1 x sehari). Pada semua status alegi, jika pasien mengalami shok bisa diberikan Gentamisin.
Dilihat dari hasil guidelines yang disusun oleh Gippsland Oncology Nurses Group (2010) yang berjudul “Management of febrile neutropenia in adult” juga membagi terapi sepsis febrile neutropenia berdasarkan keadaan pasien tetapi berbeda terapi. Bagi pasien dengan resiko tinggi terapi yang diberikan adalah dengan Ceftazidime 2g IV 3 x sehari atau Ciprofloxacin 400mg IV 2 x sehari yang dikombinasi dengan Gentamicin IV 1x sehari. Bila ada sepsis terapi bisa ditambah dengan Vancomycin 1g IV 2 x sehari (modifikasi dosis bagi yang memiliki gangguan ginjal). Jika terjadi kondisi klinis oropharyngeal kandidiasis atau penggunaan steroid dosis tinggi perlu ditambahkan Fluconazole 400mg IV atau oral 1 x sehari. Apabila febrile atau demam telah mereda selama 48 jam dengan kultur yang negatif dan tidak ada indikasi klinis dari sepsis maka penambahan Vancomycin dapat dipertimbangkan. Jika demam masih berlanjut >48 jam maka yang dipertimbangkan adalah penambahan Fluconazole 400mg IV 1 x sehari. Sedangkan untuk pasien dengan resiko rendah dapat diterapi dengan Ceftazidime 2g IV 3 x sehari atau Ciprofloxacin 400mg IV 2 x sehari saja.
Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Mical paul, dkk (2005) yang berjudul “Empirical antibiotic monotherapy for febrile neutropenia: systemic review and meta-analysis of randomized controlled trials”diperoleh hasil kesimpulan bahwa penggunaan cefepim untuk febrile neutropenia harus dipertimbangkan dan hati-hati karena memiliki tingkat mortalitas yang tinggi. Penggunaan Carbapenem secara empiris menggunakan sedikit modifikasi tetapi memberikan peningkatan  pada colitis pseudomembran. Ceftazidime, piperacillin/tazobactam, imipenem/cilastatin dan meropenem merupakan agen yang cocok digunakan secara monoterapi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh G. Behre, dkk (1997) yang berjudul “Meropenem monotherapy versus combination therapy with ceftazidime and amikacin for emprical treatment of febrile neutropenic patients” diperoleh hasil bahwa monoterapi meropenem sama efektifnya dengan terapi kombinasi dengan ceftazidime dan amikacin  untuk terapi empiris pada pasien febrile neutropenia.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ronald Feld, dkk (2000) yang berjudul “Meropenem versus ceftazidime in the treatment of cancer patient with febrile neutropenia : a randomized, double-blind trial” diperoleh hasil bahwa monoterapi dengan  menggunakan meropenem merupakan pilihan yang cocok untuk terapi awal empiris antibiotic pada pasien demam dengan kanker neutropenia.

Kesimpulan
Dari beberapa hasil penelitian, guidelines maupun literatur yang diperoleh dapat di simpulkan bahwa :
1.    Pengobatan sepsis febrile neutropenia dapat diatasi dengan menggunakan mono atau duo terapi antibiotik. Ceftazidime, piperacillin/tazobactam, imipenem/cilastatin dan meropenem merupakan agen yang cocok digunakan secara monoterapi.
2.    Pengobatan terapi febrile neutropenia pada pasien dengan resiko tinggi bisa dengan mono terapi meropenem atau duo terapi meropenem /  ceftazidime / ciprofloksasin plus gentamicin. Sedangkan pada pasien dengan resiko rendah bisa dengan monoterapi antara ceftazidime atau ciprofloxacin atau dengan duoterapi yaitu kombinasi antara ciprofloxacin plus co-amoxiclav. Bila ada sepsis maka bisa dikombinasikan dengan Vancomycin.
3.    Pengobatan sepsis febrile neuropenia dapat dibagi berdasarkan status alergi terhadap penisillin. Pada pasien yang tidak alergi bisa diberikan piperasillin / tazobactam, pada pasien dengan status alergi yang sedang bisa dengan menggunakan meropenem pada kedua status ini bisa ditambahkan vancomycin jika dalam keadaan tertentu dibutuhkan, sedangkan pada status alergi berat pada penisillin bisa diberikan ciprofloxacin plus vancomycin. Pada semua status alergi jika pasien mengalami shok bisa ditambah dengan penggunaan gentamycin.
4.    Pengobatan dengan cara monoterapi lebih efektif jika dibandingkan dengan terapi kombinasi misalnya monoterapi dari golongan cephalosporin generasi III/ IV atau dengan golongan Carbapenem.
5.    Meropenem adalah alternatif pengobatan monoterapi yang lebih efektif.

REKOMENDASI
    Golongan carbapenem dan golongan cephalosporin generasi III/IV adalah agen yang cocok digunakan sebagai pengobatan untuk pengobatan sepsis febrile neutropenia. Namun pengobatan dengan cara monoterapi lebih efektif jika dibandingkan dengan terapi kombinasi. Misalnya terapi febrile neutropenia pada pasien dengan resiko tinggi bisa dengan monoterapi meropenem atau duo terapi yaitu meropenem/ceftazidime/ciprofloksasin dikombinasikan dengan gentamicin. Sedangkan pada pasien dengan resiko rendah bisa dengan monoterapi ceftazidime/ciprofloxacin atau dengan duo terapi yaitu kombinasi antara ciprofloxacin plus co-amoxiclav. Bila ada sepsis maka bisa dikombinasikan dengan Vancomycin

DAFTAR PUSTAKA
Behre, G.; Link, H.; Maschmeye, G.; P. U. Paaz, Meyer; Wilhelm, M.; Hiddemann,W., 1998, Meropenem monotherapy versus combination therapy with ceftazidime and amikacin for emprical treatment of febrile neutropenic patients,  journal of Department of Hematology/Oncology,  University of Göttingen, Germany.

Chauhan, Rena; Potter, Dr Vanessa, 2009, Guidelines for the management of febrile neutropenia in oncology patients, Guidelines. Nottingham Antibiotic Guidelines Committee.

Feld, Ronald; DePauw, Ben; Berman, Steven; Keating, Armand; Ho, Winston, 2000, Meropenem versus ceftazidime in the treatment of cancer patient with febrile neutropenia : a randomized, double-blind trial, Journal of Clinical Oncology, Vol 18, American Society of Clinical Oncology.

Gippsland Oncology Nurses Group, 2010, Management of febrile neutropenia in adult Guidelines.
Kannangara, Saman; MD, 2006, Management of febrile neutropenia. Division of Infectious Diseases, Pennsylvania Hospital, University of Pennsylvania Health System, Philadelphia, PA.

Paul, Mical; Yahav, Dafna; Frase, Abigail; Leibovici, Leonard, 2005, Empirical antibiotic monotherapy for febrile neutropenia : systemic review and meta-analysis of randomized controlled trials. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, Department of Medicine E, Rabin Medical Center, Beilinson Campus, Israel.

Taylor, Moira; Mutton, Ken; Mutton, Ken, 2007, Guidelines for the management of neutropenic sepsis, Guidelines, Consultant Microbiologist, Stepping Hill Hospital, Consultant Virologist, Christie Hospital & MRI.