The Pharmacist Room

Pembahasan Antivirus, Antibiotik


PEMBAHASAN
2.1         Definisi Antibiotik
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat membunuh atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya terhadap manusia relatif kecil.
Penggolongan Antibiotik
Antibiotik digolongkan berdasarkan :
·         Struktur kimia,
·         Spektrum kerja,
·         Mekanisme kerja

Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dapat digolongkan menjadi
beberapa macam, yaitu :
a.       Golongan Aminoglikosida
Diantaranya amikasin, dibekasin, gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin, paromomisin, sisomisin, streptomisin, tobramisin.
b.      Golongan Beta-Laktam
Diantaranya golongan karbapenem (imipenem, meropenem), golongan sefalosporin (sefaleksin, sefazolin), golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin dan amoksisilin).
c.       Golongan Glikopeptida
Diantaranya vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin.
d.      Golongan Poliketida
Diantarnya golongan makrolida (eritromisin, azitromisin), golongan ketolida (telitromisin), golongan tetrasiklin (doksisiklin, klortetrasiklin).
e.       Golongan Polimiksin
Diantaranya polimiksin dan kolistin.
f.        Golongan Kinolon
Diantaranya ofloksasin, norfloksasin.
g.       Golongan Sulfonamid
Diantaranya kotrimoksazol dan trimetoprim.
h.      Antibiotika lain yang penting, seperti kloramfenikol, klindamisin dan asam fusidat (Surini, 2006).

2.2        Spektrum Kerja
Berdasarkan spektrum kerjanya, antibiotik digolongkan menjadi :
-          Antibiotik berspektrum luas (broad spectrum)
yaitu antibiotik yang sekaligus dapat menghambat atau memusahkan bakteri gram positif, gram negatif. Contohnya : sefalosporin (Surini, 2006).
-          Antibiotik berspektrum sempit (narrow spectrum)
yaitu antibiotik yang hanya menghambat bakteri gram negatif atau gram positif. Contohnya : penisilin (Surini, 2006).

2.3        Mekanisme Kerja
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik digolongkan menjadi :
1.      Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel mikroba
Antibiotik ini bekerja dengan cara mencegah digabungkannya asam Nasetilmuramat, yang dibentuk didalam sel, ke dalam struktur mukopeptida yang biasanya memberi bentuk kaku pada dinding sel bakteri. Oleh karena tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi daripada diluar sel maka kerusakan dinding sel kuman akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek bakterisidal pada kuman yang peka. Contoh:
penisilin, sefalosporin, basitrasin, amoksisilin (Setiabudy dan Ganiswarna, 1995).
2.      Antibiotik yang menggangu metabolisme sel mikroba
Untuk kelangsungan hidupnya, mikroba membutuhkan asam folat. Kerja antibiotik ini adalah berkompetisi dengan zat pemula asam folat yaitu asam para amino benzoat (PABA) yang akan digunakan oleh mikroba tersebut. Dengan demikian yang terbentuk adalah analog dari asam folat yang mengakibatkan kehidupan mikroba akan terganggu. Contoh : sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon (Setiabudy dan Ganiswarna, 1995).
3.      Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat
Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini adalah rifampisin dan golongan kuinolon. Rifampisin berikatan dengan enzim polimerase RNA (pada subunit) sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut. Sedangkan golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada kuman, yang fungsinya menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral hingga bisa muat dalam sel kuman yang kecil
(Setiabudy dan Ganiswarna, 1995).

4.      Antibiotik yang menghambat sintesa protein
Untuk kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri dari dua sub unit, yaitu ribosom 30S dan 50S. Untuk berfungsi pada sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S. Penghambatan sintesis protein terjadi dengan berbagai cara. Misalnya : streptomisin berikatan dengan komponen ribosom 30S dan menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein. Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan nonfungsional pada sel mikroba. Contoh : golongan aminoglikosida, makrolid, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol (Setiabudy dan Ganiswarna, 1995).
Contoh obat Antibiotik
-          Ampisilin
-          Amoksisilin
-          Supertetra (Tetrasiklin)
-          Kloramfenikol
-          Ciprofloksasin


2.4        Antivirus
Obat-obat antivirus dipakai untuk membasmi, mencegah, atau menghambat penyebaran inveksi virus.virus bereplikasi sendiri dalam beberapa tahap. Tujuan dari obat-obat antivirus adalah untuk mencegah replikasi virus dengan menghambat salah satu dari tahap-tahap tersebut, sehingga dengan demikian menghambat virus untuk bereproduksi.kelompok obat-obat ini efektif untuk melawan influenza, spesies herpes, dan human immunodeficiency virus (HIV).
Penggolongan Antivirus
Penggolongan obat Anti Virus
Untuk memudahkan pemahaman, maka obat-obat anti virus digolongkan atas dua golongan besar yaitu :
1.      Antinonretrovirus, yang terdiri dari :
·         Antvirus untuk herpes
·         Antivirus untuk influenza
·         Antivirus untuk HBV dan HCV

2.      Antiretrovirus, yang terdiri dari :
·         NRTI  (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)
·         NtRTI (Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor)
·         NNRTI (Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)
·         PI (Protease Inhibitor)
·         Viral entry inhibitor (Viral Entry Inhibitor)

2.5        Antijamur
Obat anti jamur adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Sebuah jamur adalah anggota kelompok besar eukariotik organisme yang meliputi mikroorganisme seperti ragi dan jamur, serta lebih akrab jamur. Kadang disebt juga Fungi yang diklasifikasikan sebagai sebuah kerajaan yang terpisah dari tanaman, hewan dan bakteri. Salah satu perbedaan utama adalah bahwa sel-sel jamur memiliki dinding sel yang mengandung kitin, tidak seperti dinding sel tumbuhan, yang mengandung selulosa.
Secara klinik, infeksi jamur dapat digolongkan menurut lokasi infeksinya, yaitu :
1.      Mikosis Sistemik (infeksi jamur sistemik) terdiri dari deep mycosis (misalnya aspergilosis, blastomikosis, koksidioidomikodid, kriptokokosis.
2.      Dermatofit, yaitu infeksi jamur yang menyerang kulit, rambut, dan kuku, biasanya disebabkan oleh epidermofitron dan mikrosporum.
3.      Mikosis mukokutan, yaitu infeksi jamur pada mukosa dan lipatan kulit yang lembap, biasanya disebabkan oleh kandida.

Menurut indikasi klinis obat-obat antijamur dapat dibagi atas 2 golongan, yaitu :
1.      Antijamur untuk infeksi sistemik, termasuk : amfoterisin B, flusitosin, imidazol (ketokonazol, flukonazol, mikonazol), dan hidroksistilbamidin.
2.      Antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan, termasuk griseofulvin, golongan imidazol (mikonazol, klotrimazol, ekonazol, tiokonazol, dan bifonaloz), nistatin, tolnaftat, dan antijamur topikal lainnya (kandisidin, asam undesilenat, dan natamisin)



Daftar Pustaka

Kee, Joyce L. (1996). Farmakologi : Pendekatan proses keperawatan. Jakarta : 1996

Interaksi manusia dan Ketrampilan Melaksanakan Konseling di Apotek


Tujuan adanya interaksi manusia dan konseling yang dilakukan di apotek adalah antara lain untuk membina hubungan saling percaya antara pasien dan profesionl kesehatan, membantu pasien pulih lebih cepat, membantu psien sehingga kesakitan yang dderita berkurang, membantu pasien dan professional kesehatan mendapatkan manfaat lebih besar dalam hal fisiologis, psikologis dan perilaku.
            Variable – variable yang mempengaruhi proses interaksi manusia :
1.      Komunikasi sebagai pertukaran pesan / informasi : Ide yang muncul diterjemahkan dalam bentuk kata-kata lisan, tulisn dan bahasa tubuh. Selanjutnya akan diterima melalui pendengaran dan penglihatan yang kemudian akan diterjemahkan untuk memaknai maksud pesan. Jika makna yang diterima sesuai maka akan menmbulkan pemahaman, jika tidak sesuai mka akan menimbulkan umpan balik
2.      Aspek Psikologi : sifat manusia dibagi dalam dua kategori umum yaitu Ekstrovert (berfikir keluar untuk bertindak) dan Introvert (orientasi kedalam/ perenungan). Sementara itu, dalam pengambilan keputusan secara umum dibagi menjadi dua yaitu pengambilan keputusan berdasar pikiran (objektif) dan berdasarkan perasaan (subjektif).
3.      Teori Analisis Transaksional : dijelaskan bahwa kepribadian setiap orang terdiri dari 3 status ego yaitu ego orang tua (berdasarkan ajaran yang diterrima dari orang tua), ego orang dewasa (berupa respon analitis, mengumpulkan informasi, member alas an dan prediksi konsekuensi dari tindakan), dan ego anak-anak (repon emosional)
4.      Kebutuhan manusia meliputi kebutuhan fisiologis, rasa aman, kebutuhan untuk dimiliki, penghargaan dan aktualisasi diri
5.      Nilai-nilai individu apoteker dan nilai-nilai individu pasien
6.      Budaya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam interaksi Apoteker-Pasien meiputi membangun hubungan yang baik, menunjukkan empati, memperhatikan komunikasi non verbal, bersifat Asertif, menyediakan privasi an menjaga kerahasiaan, serta objektivitas klinis.
Ketrampilan yang harus dimiliki oleh apoteker untuk melakukan konseling diantaranya : 1. Keterampilan mendengar, 2. Keterampilan menyelidiki ( susunan pertanyaan dan susunan kata-kata dalam pertayaan), dan 3. Keterampilan memotivasi.

Volume 4 EU Guidelines to Good Manufacturing Practice Medicinal Products for Human and Veterinary Use Annex 19


1.                  Scope

1.1 This Annex to the Guide to Good Manufacturing Practice for Medicinal Products (“the GMP Guide”) gives guidance on the taking and holding of reference samples of starting materials, packag-ing materials or finished products and retention samples of finished products.

1.2 Specific requirements for investigational medicinal products are given in Annex 13 to the Guide.


1.3 This annex also includes guidance on the taking of retention samples for parallel imported/ distributed medicinal products.


2.                  Principle

2.1 Samples are retained to fulfil two purposes; firstly to provide a sample for analytical testing and secondly to provide a specimen of the fully finished product. Samples may therefore fall into two categories:

Reference sample: a sample of a batch of starting material, packaging material or finished product which is stored for the purpose of being analysed should the need arise during the shelf life of the batch concerned. Where stability permits, reference samples from critical intermediate stages (e.g. those requiring analytical testing and release) or intermediates, that are transported outside of the manufacturer’s control, should be kept.

Retention sample: a sample of a fully packaged unit from a batch of finished product. It is stored for identification purposes. For example, presentation, packaging, labelling, patient information leaflet, batch number, expiry date should the need arise during the shelf life of the batch concerned. There may be exceptional circumstances where this requirement can be met without retention of duplicate samples e.g. where small amounts of a batch are packaged for different markets or in the production of very expensive medicinal products.

For finished products, in many instances the reference and retention samples will be presented identi-cally, i.e. as fully packaged units. In such circumstances, reference and retention samples may be re-garded as interchangeable.

2.2 It is necessary for the manufacturer, importer or site of batch release, as specified under sec-tion 7 and 8, to keep reference and/or retention samples from each batch of finished product and, for the manufacturer to keep a reference sample from a batch of starting material (subject to certain excep-tions – see 3.2 below) and/or intermediate product. Each packaging site should keep reference samples of each batch of primary and printed packaging materials. Availability of printed materials as part of the reference and/or retention sample of the finished product can be accepted.

2.3 The reference and/or retention samples serve as a record of the batch of finished product or starting material and can be assessed in the event of, for example, a dosage form quality complaint, a query relating to compliance with the marketing authorisation, a labelling/packaging query or a phar-macovigilance report.

2.4 Records of traceability of samples should be maintained and be available for review by com-petent authorities.


3.                  Duration of Storage

3.1 Reference and retention samples from each batch of finished product should be retained for at least one year after the expiry date. The reference sample should be contained in its finished primary

2

packaging or in packaging composed of the same material as the primary container in which the prod-uct is marketed (for veterinary medicinal products other than immunologicals, see also Annex 4, para-graphs 8 & 9).

3.2 Unless a longer period is required under the law of the Member State of manufacture, samples of starting materials (other than solvents, gases or water used in the manufacturing process) shall be retained for at least two years after the release of product. That period may be shortened if the period of stability of the material, as indicated in the relevant specification, is shorter. Packaging materials should be retained for the duration of the shelf life of the finished product concerned.


4.                  Size of Reference and Retention Samples

4.1 The reference sample should be of sufficient size to permit the carrying out, on, at least, two occasions, of the full analytical controls on the batch in accordance with the Marketing Authorisation File which has been assessed and approved by the relevant Competent Authority / Authorities. Where it is necessary to do so, unopened packs should be used when carrying out each set of analytical con-trols. Any proposed exception to this should be justified to, and agreed with, the relevant competent authority.

4.2 Where applicable, national requirements relating to the size of reference samples and, if nec-essary, retention samples, should be followed.

4.3 Reference samples should be representative of the batch of starting material, intermediate product or finished product from which they are taken. Other samples may also be taken to monitor the most stressed part of a process (e.g. beginning or end of a process). Where a batch is packaged in two, or more, distinct packaging operations, at least one retention sample should be taken from each individual packaging operation. Any proposed exception to this should be justified to, and agreed with, the relevant competent authority.

4.4 It should be ensured that all necessary analytical materials and equipment are still available, or are readily obtainable, in order to carry out all tests given in the specification until one year after ex-piry of the last batch manufactured.

5.                  Storage Conditions

5.1 Storage of reference samples of finished products and active substances should be in accor-dance with the current version of the Note for Guidance on Declaration of Storage Conditions for Me-dicinal Products and Active Substances.

5.2 Storage conditions should be in accordance with the marketing authorisation (e.g. refriger-ated storage where relevant).


6.                  Written Agreements

6.1 Where the marketing authorisation holder is not the same legal entity as the site(s) responsible for batch release within the EEA, the responsibility for taking and storage of reference/retention sam-ples should be defined in a written agreement between the two parties in accordance with Chapter 7 of the EC Guide to Good Manufacturing Practice. This applies also where any manufacturing or batch release activity is carried out at a site other than that with overall responsibility for the batch on the EEA market and the arrangements between each different site for the taking and keeping of reference and retention samples should be defined in a written agreement.

6.2 The Qualified Person who certifies a batch for sale should ensure that all relevant reference and retention samples are accessible at all reasonable times. Where necessary, the arrangements for such access should be defined in a written agreement.


3

6. 3 Where more than one site is involved in the manufacture of a finished product, the availability of written agreements is key to controlling the taking and location of reference and retention samples.


7.                  Reference Samples – General Points

7.1 Reference samples are for the purpose of analysis and, therefore, should be conveniently available to a laboratory with validated methodology. For starting materials used for medicinal prod-ucts manufactured within the EEA, this is the original site of manufacture of the finished product. For finished products manufactured within the EEA, this is the original site of manufacture.

7.2         For finished products manufactured by a manufacturer in a country outside the EEA;

7.2.1    where an operational Mutual Recognition Agreement (MRA) is in place, the reference sam-ples may be taken and stored at the site of manufacture. This should be covered in a written agreement (as referred to in section 6 above) between the importer/site of batch release and the manufacturer located outside the EEA.

7.2.2    where an operational MRA is not in place, reference samples of the finished medicinal prod-uct should be taken and stored at an authorised manufacturer located within the EEA. These samples should be taken in accordance with written agreement(s) between all of the parties concerned. The samples should, preferably, be stored at the location where testing on impor-tation has been performed.

7.2.3    reference samples of starting materials and packaging materials should be kept at the original site at which they were used in the manufacture of the medicinal product.

8.                  Retention Samples – General Points

8.1 A retention sample should represent a batch of finished products as distributed in the EEA and may need to be examined in order to confirm non-technical attributes for compliance with the market-ing authorisation or EU legislation. Therefore, retention samples should in all cases be located within the EEA. These should preferably be stored at the site where the Qualified Person (QP) certifying the finished product batch is located.

8.2 In accordance with 8.1 above, where an operational MRA is in place and reference samples are retained at a manufacturer located in a country outside the EEA (section 7.2.2 above), separate re-tention samples should be kept within the EEA.

8.3 Retention samples should be stored at the premises of an authorised manufacturer in order to permit ready access by the Competent Authority.

8.4 Where more than one manufacturing site within the EEA is involved in the manufacture im-portation/packaging/testing/batch release, as appropriate of a product, the responsibility for taking and storage of retention samples should be defined in a written agreement(s) between the parties con-cerned.


9.                  Reference and Retention Samples for Parallel Imported/Parallel Distributed Products.

9.1 Where the secondary packaging is not opened, only the packaging material used needs to be retained, as there is no, or little, risk of product mix up.

9.2 Where the secondary packaging is opened, for example, to replace the carton or patient infor-mation leaflet, then one retention sample, per packaging operation, containing the product should be taken, as there is a risk of product mix-up during the assembly process. It is important to be able to identify quickly who is responsible in the event of a mix-up (original manufacturer or parallel import assembler), as it would affect the extent of any resulting recall.


4

10.              Reference and Retention Samples in the Case of Closedown of a Manufacturer

10.1 Where a manufacturer closes down and the manufacturing authorisation is surrendered, re-voked, or ceases to exist, it is probable that many unexpired batches of medicinal products manufac-tured by that manufacturer remain on the market. In order for those batches to remain on the market, the manufacturer should make detailed arrangements for transfer of reference and retention samples (and relevant GMP documentation) to an authorised storage site. The manufacturer should satisfy the Competent Authority that the arrangements for storage are satisfactory and that the samples can, if necessary, be readily accessed and analysed.

10.2 If the manufacturer is not in a position to make the necessary arrangements this may be dele-gated to another manufacturer. The Marketing Authorisation holder (MAH) is responsible for such delegation and for the provision of all necessary information to the Competent Authority. In addition, the MAH should, in relation to the suitability of the proposed arrangements for storage of reference and retention samples, consult with the competent authority of each Member State in which any unex-pired batch has been placed on the market.

10. 3 These requirements apply also in the event of the closedown of a manufacture located outside the EEA. In such instances, the importer has a particular responsibility to ensure that satisfactory ar-rangements are put in place and that the competent authority/authorities is/are consulted.

ANTI-INFLAMATORY STUDY OF A SELECTED FORMULA Part-2


Bahan kimia
Sodium diklofenak {monosodium 2-[(2,6-dichlorophenyl)amino]benzene acetate} (CAS 15307-79-6) disuply oleh Roig Farma. (Barcelona, Spanyol). Isopropylamine, d-limonen, lauric acid, oleic acid, dan carragenan diperoleh dari Aldrich (Alcobendas, Spanyol). Polyglyceryl oleate (Plurol oleique®), isostearyl isostearate, saturated polyglycolyzed glyceride (Labrasol®) dan diethylene glycol monoethyl ether (Trancutol®) disediakan oleh Gattefosse (Saint-Priest, Perancis). Methanol, acetonitril, disodium phosphate, moopotasium phosphate, sodium chloride, ammonia 30% dan asam asetat glacial, semuanya memiliki grade HPLC, didapat dari Merck (Darmstadt, Jerman).

2.2. Membrane permeasi
Kulit manusia diperoleh dari operasi plastic (Hospitaal de Barclona, SCIAS, Barcelona, Spanyol) digunakan sebagai membrane permeasi. Kulit tersebut diperoleh dari kulit wanita sehat berusia 40 tahun. Setelah didinginkan sampai -20°C, kulit tersebut dipotong dengan dermatome (Model GA 630, Aesculap, Tuttlingen, Jerman) menjadi bagian-bagain yang memiliki ketebalan 400 µm, dari stratum corneum (OECD, 2000).
Subyek telah mengisi informed consent berkenaan penggunaan kulit tersebut untuk tujuan penelitian. Protokol eksperimen telah disetujui oleh Bioethics Committee of Hospital de Barcelona, SCIAS (Spanyol).

2.3. Hewan
Tikus Sprague-Dewley betina (150 – 200 g) dan kelinci jantan (1,9 – 2 kg) diperoleh dari Harlam Iberica (Sant Feliu de Codines, Barcelona, Spanyol).
Institusi komisi etik hewan (Institutional Animal Ethics Committee) universitas Barcelona menyetujui semua prosedur experiment in vivo yang dilakukan.

2.4. Formulasi
Tiga jenis system pelarut (M4, M5 dan M6) dan mikroemulsi (M3) disiapkan untuk penggunaan topical. Semuanya mengandung 1% (w/w) sodium dikkofeak dan dikarakterisasi dengan hamburan cahaya (light scattering) di Departement of Tensioactive Technology di  Center for Researce and Development, CSIC (Barcelona, Spanyol). Formulasi dipreparasi untuk skala laboratorium dan pada suhu kamar dengan melarutkan sodium diklofenak dalam campuran transcutol/air, dan kemudian menambahkan dan mengaduk bahan yang lainnya. Campuran akhir disonikasi selama 3 menit.
Sebagai tambahan, 1% (w/w) sodium diklofenak dalam sediaan komersial dan larutan 1% (w/w) sodium diklofenak dalam transcutol/buffer (19:80) diuji sebagai ormula standar.  
Konsentrasi obat yang tetap yang digunakan pada masig-masing formula, digunakan untuk membandingkan efek pembawa pada absorbsi perkutan dari sodium diklofenak, dan karena formula digunakan secara klinis pada kulit dengan dosis terbatas. Komposisi masing-masing formula dapat dilihat dari Tabel 1.




Ukuran partikel fase terdispers (dalam nm) dari tiap-tiap formulasi ditentukan dengan hamburan cahaya dinamis (dynamic light scattering) (Photon correlation spectrometer Malvern 4700, Malvern Instruments, Malvern, UK) adalah 37.40±0.62 untuk M3, 3.30±0.28 untuk M4 dan 11.63±0.21 untuk M5. Sedangkan M6 tidak dapat ditentukan ukuran partikelnya karena berada di bawah tingkat sensitivitas dari teknikyang digunakan.
2.5. Prosedur Analisis
Kandungan sodium diklofenak pada masing-masing sample dianalisis dengan HPLC (HPLC system 400, Kontron Instruments, Switzerland). Kromatograf dilengkapi dengan dua pompa (model 420), variable detector UV diatur pada 258 nm, 460 auto-sampler, dan 450 data-system. Analisis dilakukan pada suhu kamar dengan kolom C18 Nova pack (diameter partikel 4 µm, 8 x 10 mm) (Waters, Milfford, MA, USA). Fase gerak, mengandung methanol – 20 mM ammonium asetat pada pH 7.0 dengan 0.1% isopropyl amine (65:35), yang dipompakan dengan laju 1.5 ml/min. kalibrasi dibuat dengan metode standard external.
Kurva kalibrasi dengan rentang konsentrasi dari 20 – 0.05µg/ml digunakan untuk mengukur kadar sodium diklofenak dari sample dan untuk memvalidasi teknik analisis yang digunakan. Teknik analisis, divalidasi secara intra- dan inter-day (n=6), adalah linier (P>0.05) berdasarkan statistic yang diterapkan, presisi dengan persentase koefisien variasi (CV%) antara 1.90 dan 7.39%, dan akurasi dengan relative error sebesar – 4.7 dan 2.20%.

2.6. Studi permeasi
Studi permeasi dilakukan di gelas amber Franz-type sel difusi (FDC 400, Crown Glass, Somerville, NY, USA) dengan area difusi seluas 1.86 cm2 yang dilekatkan dalam automated setup (Microette®, Hanson Research, NY, USA). Sample kulit disituasikan antara ruang donor dan receptor dari sel, dengan sisi kulit yang kontak dengan reseptor medium. Studi formulasi (1 g) bertempat di kompartemen donor dan selnya ditutup dengan aluminium foil. Ruang receptor diisi dengan 11 ml PBS (phosphate-buffered saline, pH 7.4) dan disimpan pada 32±0.5 °C dengan jaket aliran air (circulating-water jacket). Sebesar 500µl diambil secara otomatis dari kompartemen receptor setelah 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, 20, 22 dan 24 jam dan digantikan dengan PBS dengan volume yang sama pada suhu 32 °C. Kondisi sink dijumpaipada semua kasus. Penentuan parallel keempatnya dilakukan menggunakan kulit dari donor yang sama.
2.7. Penentuan jumlah obat yang tersisa di kulit
Di akhir dari studi permeasi, formulasi yang tersisa pada kulit dieliminasi dan kulit dipindahkan dari Franz cell, dibersihkan dengan kain kasa tipis yang direndam dalam 0.05% larutan sodiumlauril sulfat dan dicuci dalam aquadest. Area permeasi pada kulit diambil dan ditimbang, dan kandungan diklofenaknya diekstraksi dengan methanol. Menghasilkan larutan yang disentrifuse (1500 rpm) dan kadar sodium diklofenaknya (dinyatakan dengan µg/g kulit) diukur dengan HPLC.

2.8. Parameter penyebaran pada kulit
Data eksperiment diproses menurut metode dosis terbatas ( OECD, 2000 ) menggunakan persamaan (1) untuk menyesuaikan permeasi obat versus waktu (Hashida et al., 1988), mengaplikasikan software LAPLACE (Micromath, Salt Lake City, UT, USA) dan menggunakan parameter P1 dan P2 menurut Okamoto et al. (1986):

Text Box: Q =
Persaman (1) dimana :
P1= K.L     (2) dan
P2= D/L2    (3)
K adalah koefisien partisi fase membrane/ donor, L adalah ketebalan membran dan D adalah koefisien distribusi. A, X0, V1 dan s secara berturut-turut adalah area membran jumlah obat pada waktu  ke-0 pada kompartemen donor, volume kompartemen donor dan operator Laplace.
Persamaan (1) telah dicoba untuk data eksperimen (permeasi obat vs waktu) dan parameter P1 dan P2 telah dihitung. Koefisien permeabilitas diperoleh dari persamaan
Kp= P1.P2   (4)
Untuk menentukan flux maksimum menggunakan model dosis terbatas(Jmax), dinyatakan sebagai waktu vs permeasi obat (Q):
   = Q . S            (5)
Dimana s adalah operator kompleks dari Laplace dan   transformasi
         ( 6 )
Permeasi obat pada 24 jam telah diukur pada  percobaan sebagai parameter independen dari model.
Menurut Flynn dan Stewart (1988), prediksi maksimal konsentrasi obat yang berpenetrasi ke dalam kulit manusia setelah pemberiaan topikal dapat diprediksi dari
C = Jmax . A/Clp                                             (7)
Dimana Jmax adalah maksimum flux yang ditentukan, a adalah area aplikasi dan Clp adalah clearence plasmatik.

2.9. Tes Anti-inflamasi
Tikus betina Sprague-Dewley (6-12 per grup) ditetapkan sebagai grup berat-seimbang (kontrol tanpa perlakuan, M4 dan perlakuan preparasi semisolid). Untuk menginduksi lokal inflamasi, 50 μl dari 1% karagenan (w/v) dalam saline telah diinjeksikan dalam permukaan datar kaki belakang  sebelah kiri tikus pada wktu ke-0, meggunakan jarum no.27 dengan 100 μl Hamilton syringe. Pada percobaan pertama, 30 menit kemudian, 100 μl dari M4 atau preparat semisolid diaplikasikan, tidak oklusif, ke kaki binatang pada grup kedua dan ketiga dioleskan dengan lembut. Pada percobaan kedua 500 μl dari preparat topikal diaplikasikan ke 4x3 cm2 area punggung yang telah dicukur dan digosokan secara lembut ke kulit. Punggung telah dicukur sebelumnya dengan electric clippers. Bintang kemudian ditempatkan pada kandang polypropylene dengan kerangka logam berlubang diatas lantai untuk mencegah absorpsi produk yang telah diaplikasikan oleh serbuk gergaji. Binatang dirawat tanpa pemberian makan dan minum selama percobaan. Seluruh percobaan dilakukan antara jam 9 pagi sampai 3 siang.
Peningkatan pada ketebalan tulang telapak kaki diukur dengan Mitutoyo dial thickness no.7301 sebelum waktu ke-0 dan 1, 2, 3, 4 dan 5 jam setelah pemberian karagenan. Prosentase peningkatan volume kaki dari waktu ke-0 dihitung. Waktu dari efek anti-inflamasi ditentukan.

2.10 Perkiraan Iritasi Kulit
Iritasi M4 dan preparat semisolid ditentukan pada kelinci albino jantan(1.9-2 kg) mengikuti petunjuk internasional masa ini (OECD, 1992) berdasarkan metode yang dideskripsikan  Draize et al. (1944). Area punggung yang telah dicukur dengan clippers 24 jam sebelum dimulainya pengujian. Tiga kotak digambarkan pada tiap bagian punggung tiap kelinci, dan tiga  bagian kotak kulit tersebut digores dengan pisau bedah. Kemudian 0,5 ml tiap produk diaplikasikan pada tiap kotak. Tempat tersebut kemudian di bungkus dengan gauze dan polyethylene film (parafilm) dan ditutup dengan plester lengket hypoallergenic. Tiga binatang digunakan tiap produk. Setelah pemaparan selama 24 jam, zat tes telah hilang dan kulit yang tidak terlindungi dibuat penilaian untuk pembentukan edema (tingkatan 0-4), dan erythema (tingkatan 0-4). Penilaian diulangi 72 jam kemudian. Penunjuk iritasi utama individu ditentukan tiap kelinci oleh penambahan nilai edema dan erythema pada 24 jam dan 72 jam dan membagi hasilnya dengan 4, disarankan oleh ”journal official de la Republique Francaise” pada 24 oktober 1984. nilai rata-rata untuk tiga kelinci dihitung. Menurut perhitungan indeks nilai iritasi, formula diklasifikasikan sebagai ”non-irritant”(<0,5), ”irritant”(2-5), ”highly irritant” (5-8).

2.11. Statistik
Nilai rata-rata perbandingan antara area kromatografi dan konsentrasi yang diharapkan (AUC/C) dibandingkan oleh ANOVA untuk tes liniearitas metode analisis (P≤0,05). Logaritmik parameter permeasi dibandingkan menggunakan pengujian statistik parametrik (ANOVA tes), mengikuti tes perbandingan perkalian Scheffe’s (P≤0,05). Data inflamasi dianalisis menggunakan ANOVA dari model linier berisi formulasi dan waktu sebagai penyebab variasi.

ANTI-INFLAMATORY STUDY OF A SELECTED FORMULA Part 1


Non Steroidal Antiinflamatory Drug (NSAIDs) adalah obat yang secara umum digunakan untuk mengurangi inflamasi dan rasa sakit. NSAIDs menghalangi ekspresi dari cyclooksigenase 2 pada pusat inflamasi, tetapi sebagian besar juga menghalangi ciclooksigenase mukosa lambung yang memproduksi gastric damage (Mitchel dan Warner 1999). Diklofenak adalah inhibitor non selektif cyclooksigenase 1 dan 2 ketika diuji secara in vitro, tetapi lebih sebagai inhibitor cyclooksigenase 2 ketika diuji secara in vivo (Guiliano dan Warner 1999). Walaupun gastropati merupakan salah satu efek klasik yang timbul pada pemakaian NSAIDs tetapi hal itu muncul pada pemakaian oral NSAIDs ( McCarty 1999). Therefore, peningkatan formula diklofenak dengan tingkat permeasi kulit yang tinggi dapat berguna dalam pengobatan tidak hanya pada keadaan inflamasi local pada jaringan kulit(Galer et al 2000), tetapi juga pada keadaan inflamasi dan rasa sakit pada struktur penyangga pada tubuh contohnya tulang, ligament, joint, tendon dan otot. Saat ini, formula – formula dengan kadar diklofenak yang lebih tinggi dari kadar biasanya (Hewitt et al,1988; Hui et al 1998 ; Grace et al 1999) telah dikembangkan untuk pengobatan dari osteoarthritis pada lutut. Akan tetapi, efek terapetik yang sama bisa didapatkan dengan kadar standar diklofenak (1%) jika penetrasinya menggunakan enhancer yang sesuai.
Pemilihan enhancer yang sesuai untuk meningkatkan permeasi trandermal dari obat (diklofenak) sangat sulit termasuk beberapa factor yaitu sifat alami dan konsentrasi bahan aktif dan eksipien dan jenis dari system penghantaran ayng digunakan (Sinha dan Paul Kaur 2000). Asan lemak jenuh dan tidak jenuh seperti lauric acid dan oleic acid baru – baru ini mendapatkan perhatian besar sebagai enhancer penetrasi. Keduanya dapat memasuki bagian hidrofobik dari lipid bilayer stratum korneum, mengacak susunannya, meningkatkan fluiditas dan menurunkan resistensi difusi (Golden et al 1987). Oleic acid meningkatkan permeasi pada banyak jenis obat, khususnya permeasi diklofenak melewatikulit tikus (Takahashi et al 1995). Peningkatan permeasi diklofenak yang diinduksi oleh monoterpen siklik d0limonene juga terluhat pada hairless rat (Obata et al 1993).
Pemilihan solven spesifik untuk enhancer juga penting (Yamane et al 1995; Cho dan Choi 1998). Diethylene glycol monoethyl ether (Transcutol®) telah dipilih sebagai solven yang baik untuk enhancher dan juga utnuk efek peningkatan intrinsic pada absorbsi perkutan pada beberapa obat (Harrison et al 1996 ; Mura et al 2000). Selain tiu, untuk meningkatkan  absorpsi, afinitas dari obat dengan kulit harus lebih besar dari afinitas obat dengan pembawa. Untuk tujuan itulah kami memilih formilasi liquida (system solven dan mikroemulsi). Beberapa system solven telah dikembangkan untuk meningkatkan kelarutan bahan aktif (Suk et al 1999). Solven tersebut harus dapat mencampurkan bahan dengan tingkatan lipofilisitas yang berbeda, obat (diklofenak) dan promoter permeasi (d-limonene, oleic acid dan lauric acid). Mikroemulsi secara termodinamika stabil, transparan dan konsistensi yang licin dan dengan  viskositas yang rendah (Ceglie et al 1987a,b). Mereka merarutkan pada range dari bahan (Hsu et al 1994 ; Okabe et al 1994) dan juga meningkatkan jumlah dari obat yang melewati kulit (Neubert dan Schmalfuss 1999).
Pada studi terakhir, kami menyelidiki efek in vitro dari macam – macam pembawa dan enhancer pada absorpsi perkutan dari sodium diklofenak (1% b/b). Selain itu, aktifitas akut anti inflamatori  dari formula yang telah di terima secara in vivo telah dites.