The Pharmacist Room: COMBUSTIO

COMBUSTIO

Definisi
Luka bakar merupakan bentuk spesifik dari trauma (Rakel&Bope, 2006). Luka bakar secara sederhana dipahami sebagai trauma panas pada kulit. Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering terjadi yang memperlihatkan morbiditas dan derajat yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain (Sjamsuhidajat & Jong, 2004).

Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya luka bakar, yaitu :
   1. Api
   2. Cairan panas
   3. Bahan Kimia
   4. Listrik
   5. Kontak dengan benda panas
   6. Suhu sangat dingin (forst bite)

Patofisiologi
Patofisiologi dari luka bakar dapat dipahami dengan melihat respon tubuh terhadap luka yang terjadi baik secara lokal ataupun sistemik.

Respon secara lokal
Jackson (1947) telah mendeskripsikan 3 zona dari luka bakar, yaitu :
1.Zona Koagulasi
Luka bakar yang sudah mencapai zona ini menandakan sudah terjadi kerusakan paling parah. Pada kondisi ini, jaringan tubuh rusak secara irreversibel akibat dari koagulasi protein.

2. Zona Stasis
Luka bakar yang mencapai zona ini ditandai dengan menurunnya perfusi jaringan. Jaringan pada zona ini masih dapat membelah untuk regenerasi. Oleh karena itu, terapi resusitasi yang diberikan pada pasien luka bakar ditujukan untuk meningkatkan perfusi jaringan dan mencegah terjadinya kerusakan irreversibel.

3. Zona Hiperaremia
Zona ini merupakan zona paling luar dari kulit yang bila terkena luka bakar juga dapat meningkatkan perfusi jaringan.

Respon secara sistemik
Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya pada area luka bakar memiliki efek secara sistemik. Hal ini terjadi pada luka bakar dengan luas 30% dari luas permukaan tubuh total. Efek sistemik yang terjadi adalah :

1.                      Perubahan sistem kardiovaskular, yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat menyebabkan lolosnya cairan dan protein intravaskuler menuju kompartemen interstitial. Selain itu, juga dapat terjadi vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan splanchnic, penurunan kontraktilitas miokard, dan memungkinkan untuk terjadinya pelepasan tumour necrosis factor. Bila terjadi pelepasan tumour necrosis factor yang disertai dengan kehilangan cairan dari daerah luka dapat mengakibatkan hipotensi sistemik dan end organ hypoperfusion.
2.                      Perubahan sistem pernafasan. Adanya mediator inflamasi dapat menyebabkan bronkokonstriksi dan beberapa sindroma distress pernafasan.
3.                      Perubahan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan laju metabolisme basal hingga 3 kali laju normal. Bila hal ini terjadi disertai dengan hipoperfusi splanchnic maka diperlukan nutrisi enteral tambahan untuk menurunkan katabolisme dan menjaga integritas usus.
4.                      Perubahan sistem imun yang ditandai dengan terjadinya down regulation non spesifik yang dapat memberikan efek terhadap sel-sel terkait dan jalur humoral.

Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari luka bakar tergantung dari kedalaman dan luas luka bakar. Kedalaman luka bakar dinyatakan dalam derajat (grade) sedangkan luas luka bakar dinyatakan dalam persentase.
Kedalaman Luka Bakar
Terdapat 4 macam derajat untuk menyatakan kedalaman luka bakar, yaitu:
1.            Derajat satu
Biasanya disebut superficial burn atau epidermal burn. Luka bakar ini hanya mengenai lapisan epidermis dan biasanya sembuh dalam 5-7 hari. Luka berupa eritema dengan keluhan rasa nyeri dan hipersensitivitas setempat. Misalnya : luka tersengat matahari
2.            Derajat dua
Biasa disebut partial thickness burn. Luka ini mencapai lapisan dermis, tetapi masih terdapat eleman epitel sehat yang masih tersisa. Luka ini dapat sembuh dengan sendirinya dalam 2-3 minggu. Luka bakar derajat dua ini dibagi menjadi dua macam, yaitu superficial dermal (luka yang mengenai lapisan dermis bagian atas, biasanya tampak melepuh) dan deep dermal (luka yang mengenai hingga lapisan dermal bagian bawah). Gejala yang timbul biasanya berupa nyeri, gelembung atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh karena permeabilitas dinding pembuluh yang meningkat.

3.            Derajat tiga
Biasanya disebut sebagai full thickness burn. luka ini mengenai hingga seluruh kedalaman kulit dan mungkin sub kutis atau organ yang lebih dalam. Pada luka derajat ini tidak ada elemen epitel hidup yang tersisa yang memungkinkan penyembuhan luka dari dasar luka. Penyembuhan dari luka bakar derajat ini dilakukan dengan pencangkokan kulit (skin grafting). Gejalanya berupa kulit tampak pucat berwarna abu-abu atau hitam dengan permukaan yang lebih rendah dari jaringan sekeliling yang masih sehat, tidak terdapat bula, dan tidak terasa nyeri.

Estimasi Kedalaman Luka Bakar
Memperkirakan kedalaman luka bakar merupakan suatu hal yang sulit. Keterangan dari pasien dapat memberikan bantuan dan petunjuk untuk menentukan kedalaman luka seperti yang diharapkan.
Adapun faktor–faktor yang dapat diperhatikan untuk memperkirakan kedalaman luka bakar adalah
   1. Pendarahan
   2. Sensasi
   3. Penampakan dan timbulnya pemutihan
Adapun tehnik yang dapat digunakan untuk memperkirakan kedalaman luka bakar adalah
   1. Tusukan jarum
   2. Klinis
   3. Pengecatan dengan “evans blue”.
   4. Termografi inframerah

Luas Luka Bakar
Penentuan luas luka bakar harus dilakukan seobyektif mungkin. Pada saat menghitung luas luka bakar tidak mengikutsertakan eritema.

Ada tiga metode yang dapat digunakan untuk menentukan luas luka bakar, yaitu :
1.      Palmar surface
Dilakukan dengan menghitung area telapak tangan yang terbakar. Area permukaan telapak tangan pasien (termasuk jari-jari) memiliki luas secara kasar sebesar 0,8% dari total luas permukaan tubuh. Permukaan telapak tangan relatif dapat digunakan untuk mengestimasi luas luka bakar ringan (<15% dari total luas tubuh) atau luka bakar yang sangat luas (>85%, bila kulit yang tidak terbakar juga tidak dihitung). Metode ini kurang akurat untuk luas luka bakar sedang.
2.      Wallace rule of nine
Metode ini merupakan metode yang baik dan cepat dalam mengestimasikan luka bakar sedang dan luas pada pasien dewasa. Tubuh pasien dibagi menjadi area 9%. Luas area luka bakar diperoleh dengan cara menjumlah keseluruhan persentase area tubuh yang terbakar. Tetapi metode ini kurang akurat bila dilakukan pada anak-anak.

Lund and Browder’s chart
Jika dapat menggunakan dengan benar, metode ini merupakan metode yang paling akurat. Metode ini menkompensasi variasi bentuk tubuh pada berbagai usia. Metode ini memberikan hasil yang akurat untuk kasus luka bakar pada anak-anak.

 Jenis Luka Bakar
American Burn Association mengklasifikasikan luka bakar menjadi 3 macam, yaitu
1.            Luka Bakar Berat (Major)
Yang termasuk luka bakar tingkat ini adalah luka bakar partial- thickness dengan luas lebih dari 25% pada pasien yang berusia 10-50 tahun; luka bakar partial- thickness dengan luas lebih dari 20% pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun dan dewasa yang berusia diatas 50 tahun; luka bakar full thickness dengan luas lebih dari 10%; luka bakar yang mengenai tangan, wajah, kaki, dan perineum; luka bakar yang sampai mengenai persendian; luka bakar yang mengenai circumferential dari ekstremitas; luka bakar yang memiliki komplikasi pada saluran pernafasan; luka bakar yang terjadi pada pasien anak dan lansia; dan luka bakar yang disertai dengan fraktur atau trauma lain.

2.            Luka Bakar Moderate
Yang termasuk luka bakar tingkat ini adalah luka bakar partial-thickness dengan luas kurang dari 15% pada pasien dengan usia 10-50 tahun; luka bakar partial- thickness dengan luas 10-20% pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun dan dewasa yang berusia diatas 50 tahun; luka bakar full thickness dengan luas kurang dari 10%; dan luka bakar partial-thickness yang tidak mengenai tangan, wajah, kaki, perineum, ataupun circumferential dari ekstremitas.

3.            Luka Bakar Ringan (Minor)
Luka bakar yang termasuk dalam tingkatan ini adalah luka bakar partial-thickness dengan luas kurang dari 15% pada pasien dengan usia 10-50 tahun; luka bakar partial- thickness dengan luas kurang dari 10% pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun dan dewasa yang berusia diatas 50 tahun; luka bakar full thickness dengan luas kurang dari 2% tanpa disertai dengan luka yang lainnya
Terapi
1.      Manajemen pernafasan (airway management)
Pada pasien luka bakar, hal terpenting yang harus diperiksa adalah terjadinya gangguan di bagian pernafasan. Bila terjadi gangguan hingga menimbulkan kesulitan bernafas pada pasien, maka tindakan intubasi dapat dilakukan. intubasi dilakukan dengan segera pada pasien yang tidak sadar dengan riwayat terkena paparan asap ataupun api dalam ruangan tertutup ataupun pada pasien dengan resiko tinggi terkena edema pada saluran pernafasan. Beberapa pasien memerlukan PEEP (positif end-expiratory pressure) untuk menjaga agar jalan nafas bagian distal tetap terbuka. Bila sekresi ataupun partikel inhalasi pada saluran nafas pasien terlalu berlebihan yang dapat mengakibatkan terjadinya bronkospasma, maka pemberian bronkodilator sangat efektif untuk mengatasi hal tersebut.

2.      Resusitasi cairan (fluid resuscitation)
Suatu konsep yang harus dipegang dalam shock luka bakar adalah terjadinya pergeseran cairan besar-besaran walaupun sisa cairan tubuh total tidak berubah. Oleh karena itu, resusitasi cairan baik yang berupa koloid, protein ataupun kristaloid harus segera diberikan kepada pasien luka bakar. Terapi replacement cairan ini dimodifikasi berdasarkan respon klinik pasien. Resusitasi yang berlebihan dapat menimbulkan respon udema. Volume cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi pada pasien tergantung dari keparahan luka, status psikologis, usia, dan komplikasi lain. Perhitungan kebutuhan cairan dihitung dari lama waktu pasien dari kejadian terkena luka bakar bukan dari waktu pertama kali pasien datang ke UGD. Untuk penanganan luka bakar yang luasnya lebih dari 15 %, kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama biasanya menggunakan rumus Parkland, yaitu: 4 mL RL(Ringer Lactat) x kg BB x %
                                                                                            Luas Permukaan Tubuh

Setengah dari hasil perhitungan diberikan dalam waktu 8 jam pertama dan sisanya diberikan selama 16 jam berikutnya. Pada banyak instansi,rumus ini memberikan output urine yang ideal.
Selain rumus diatas, ada juga rumus modifikasi Brooke yang merekomendasikan bahwa resusitasi untuk shock luka bakar sebaiknya dimulai dengan pemberian 2 cc/kg BB/% pada 24 jam pertama. Penggunaan rumus ini menghasilkan edema yang kecil. Rumus ini sangat sesuai untuk kondisi pasien yang disertai problem seperti penyakit jantung, insufisiensi ginjal, atau pasien yang membutuhkan dialisis. Pada beberapa burn center, seringkali menggunakan larutan salin hipertonik  (RL+50 mEq NaHCO3) dalam 8 jam pertama menggunakan rumus Parkland untuk pasien luka bakar dengan luas lebih dari 40%, pasien pediatrik, dan pasien yang memiliki komplikasi pada saluran pernafasan.
Plasma protein sangat penting peranannya dalam sirkulasi dalam menjaga tekanan onkotik untuk mengimbangi tekanan hidrostatik kapiler. Akan tetapi batasan jumlah optimal dari protein ataupun waktu infus yang dibutuhkan belum jelas. Biasanya bentuk fresh frozen plasma (0,5-1 cc/kgBB/% luka bakar) diberikan pada 24 jam pertama, dimana pada 8-10 jam pertama akan menghasilkan respon edema kecil dan penjagaan yang lebih optimal pada stabilitas hemodinamik pasien tertentu. Terapi ini sesui untuk pasien lansia, pasien dengan luka bakar yang disertai gangguan pernafasan,dan pasien dengan luka bakar yang luasnya lebih dari 50%.
Untuk pasien anak-anak, resusitasi yang dibutuhkan lebih tinggi dari pada pasien dewasa dengan luka yang sama. Rata-rata kebutuhan cairan pada anak-anak adalah 5.8 cc/kg/% luka bakar. Pemberian salin hipertonik dan albumin menjadi terapi standar pada pasien anak-anak. Output urine pada anak dijaga 0,5-1 ml/kg/jam pada pasien dengan berat badan kurang dari 30 kg. Selain itu, pasien dengan gangguan pernafasan membutuhkan cairan kristaloid rata-rata 5.7 cc/kg/% luka bakar.
3.      Pengatasan nyeri (pain management)
Nyeri dapat menjadi parah, terutama pada pasien dengan luka bakar partial-thickness. Biasanya, obat-obatan untuk mengatasi rasa nyeri diberikan secara intravena. Obat-obat yang diberikan biasanya berupa golongan narkotika. Morfin digunakan dengan dosis 0.1 mg/kg pada pasien dewasa atau 0.05 mg/kg pada lansia. Selain itu, juga dapat digunakan fentanil dengan dosis 50-100 mcg IV selama 1-3 menit. Penggunaan fentanil dengan durasi yang pendek (45-90 menit) menimbulkan efek hipotensi yang ringan (sebagai efek vasodilatasi dari golongan narkotik) karena pemberian yang cepat dapat dijadikan pilihan terapi bagi pasien yang intoleransi terhadap morfin. Bila pasien sangat cemas, tidak hipoksia ataupun hipotensi, maka digunakan lorazepam IV dalam dosis kecil. Sedangkan untuk pasien yang stabil dengan nyeri yang parah yang akan dilakukan tindakan seperti hand escharotomies, major debridement atau fracture reductions membutuhkan obat dengan tingkat sedasi sedang sampai dalam.

   4. Pengatasan komplikasi yang potensial ataupun aktual dari luka bakar (Management of Associated Injuries)

Komplikasi dari luka bakar tergantung dari kronologis peristiwa luka bakar yang dialami. Salah satu contoh adalah pasien luka bakar yang pada saat peristiwa disertai dengan paparan CO, maka terapi standarnya adalah dengan cara memberikan oksigen 100% selama 6-12 jam. Terapi oksigen hiperbarik diperlukan ketika pasien yang terpapar CO kondisi level carboxyhemoglobinnya lebih dari  25% disertai status depresi mental. Pasien seperti ini harus stabil secara hemodinamik dahulu sebelum memperoleh resusitasi cairan. Pasien luka bakar dengan luas lebih dari 25% harus dipasang NGT (nasogastric tube) untuk mencegah terjadinya vasokonstriksi splanik.

   5. Perawatan luka (wound care)

Pasien dengan luka besar yang akan dibawa ke burn center, lukanya sebaiknya ditutup dengan pembalut atau kasa steril untuk meminimalkan paparan organisme multiresisten diluar rumah sakit. Apabila masih memungkinkan sebaiknya sebelum ditutup, luka dicuci dengan larutan salin steril dan dibersihkan dengan sabun yang lembut. Pada kasus luka bakar, sebagian besar antibiotik topikal yang digunakan adalah silver sulfadiazin (SSD) yang merupakan antibiotik broadspectrum yang non toksik. Tetapi, penggunaan SSD ini dapat menimbulkan alergi dengan kejadian sebesar 5-7%. Antibiotik ini sebaiknya tidak digunakan pada ibu hamil ataupun ibu menyusui serta tidak digunakan pada wajah karena dapat meninggalkan noda. Sebaiknya SSD tidak diberikan pada pasien yang akan dibawa ke burn center, karena dapat mempersulit assessment kondisi luka, selain itu juga SSD akan tercuci sebagai upaya pembersihan luka. Salah satu contoh pembalut yang digunakan untuk perawatan luka adalah duoderm. Duoderm merupakan pembalut steril fleksibel yang memiliki dua lapisan yaitu lapisan terluar berupa polyurethane foam dan lapisan perekat bagian dalam yang berupa hydrocolloid polyurethane complex. Duoderm ini dapat menyembuhkan luka lebih cepat dengan memperbaiki penampilan luka, dan dibutuhkan dalam jumlah sedikit serta tidak begitu mahal. Pemilihan jenis pembalut sebaiknya didasarkan pada beberapa pertimbangan sesuai dengan kondisi luka pasien.


DAFTAR PUSTAKA


Hettiaratchy, S., et.al., 2004. ABC of Burn. An electronic publishing media. London : BMJ 329:504–6

Kurt Z. Long, Teresa Estrada-Garcia, et all. The Effect of Vitamin A Supplementation on the Intestinal Immune Response in Mexican Children Is Modified by Pathogen Infections and Diarrhea. Department of Nutrition, Harvard School of Public Health, Boston MA. J. Nutr. 2006.136: 1365–1370.

Lampiris, H.W and Maddix, D.S., 2001. Clinical Use of Antimicrobial Agent. In: B. Katzung. Basic & Clinical Pharmacology, Ed. 7th, San Fransisco: Appleton & Lange

McEvoy, G.K., 2004. AHFS Drug Information, USA: American Soc Health System

Mehta, D.K. (Ed.), 2008. British National Formulary, Edisi 56, London: BMJ Publishing Group Ltd.

MIMS Indonesia, 2009. MIMS Indonesia, edisi 8 Petunjuk Konsultasi. Jakarta : Info master.

Sazawal S dkk. Zinc supplementation in young children with acute diarrhea in India .N Enggl J Med 1995;333:839-44

No comments:

Post a Comment