1.1 DEFINISI TETANUS
Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh infeksi Clostridium tetani, pada kulit/ luka. Tetanus merupakan manifes dari intoksikasi terutama pada disfungsi neuromuscular, yang disebabkan oleh tetanospasmin, toksin yang dilepaskan oleh Clostridium tetani. Keadaan sakit diawali dengan terjadinya spasme yang kuat pada otot rangka dan diikuti adanya kontraksi paroksismal. Kekakuan otot terjadi pada rahang (lockjaw) dan leher pada awalnya, setelah itu akan merata ke seluruh tubuh.(Brook I., 2002).
Gambar 1. Clostridium tetani dilihat dari mikroskop cahaya (Guilfoile, 2008)
1.2 ETIOLOGI TETANUS
Basil tetanus terdapat dalam bentuk vegetatif dan spora. Merupakan bakteri gram positif anaerob tanpa kapsul yang tipis dan motil yang wujud terakhirnya dapat berupa spora yang berbentul seperti drumstick.
Toksin yang terdapat pada tetanus ialah tetanospasmin yang bersifat sangat poten. Dimana 130 μg tetanospasmin yang telah dimurnikan dapat bersifat mematikan bagi manusia.
Tetanospasmin dapat terikat pada ganglioside pada sistem saraf pusat. Aksi fisiologis dari tetanospasmin ialah mensupresi hambatan pengaruh pada motor neuron dan interneuron tanpa menambah aksi eksitasi pada sinapsis. Aksi lain dari tetanospasmin terlihat pada neurosirkulatori, neuroendokrin, dan sistem saraf vegetatif. Juga terdapat postulat yang menyatakan tetanospasmin mempengaruhi secara langsung pada perubahan yang terus-menerus pada elektrolit di sistem sarcotubular dari otot dan transmisi sinapsis pada myoneural junction.
Sekali terikat pada jaringan, toksin tidak dapat lepas atau dinetralkan dengan antitoksin tetanus. Anti toksin tetanus hanya dapat mencegah pengikatan toksin pada sistem saraf pusat, apabila pengikatan toksin hanya terjadi pada jaringan perifer.(Brook I., 2002)
1.3. PATOGENESIS TETANUS
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-eksotoksin tetanus. Yang terpenting untuk manusia adalah tetanospamin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke susunan saraf pusat. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah pengeluaran neurotransmitter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat kuman masuk atau pada otot masseter (trismus), pada saat toksin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang makin berat pada ekstremitas, otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, penderita akan mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospamin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernapasan, metabolisme, hemodinamik, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme Larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi., hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom. (PDT Ilmu Kesehatan Anak edisi III, 2008).
1.4 KLASIFIKASI TETANUS
* Derajat penyakit Tetanus Surabaya (PDT Ilmu Kesehatan Anak edisi III, 2008)
1. Derajat I (tetanus ringan)
· trismus (lebar antara gigi sama atau lebih 2 cm)
· kekakuan unum
· tidak dijumpai kejang dan gangguan respirasi
2. Derajat II (tetanus sedang)
· Trismus (lebar kurang dari 1 cm)
· Kekakuan umum makin jelas
· Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan
3. Derajat IIIA (tetanus berat)
· Trismus berat (kedua baris gigi rapat)
· Otot sangat spastic, timbul kejang spontan
· Takipnea, takikardia
· Apneic spell (Spasme larynx)
4. Derajat IIIB (tetanus dengan gangguan saraf otonom)
· Gangguan otonom berat
· Hipertensi berat dan takikardia, atau
· Hipotensi dan bradikardia
· Hipertensi berat datau hipotensi berat
* Klasifikasi Tetanus berdasarkan Ablett (Bhatia, 2002; Poudel, 2009)
Grade | Clinical features | |
I | Mild | Mild to moderate trismus, generalised spasticity, no respiratory embarrassment, no spasms, little or no dysphagia. |
II | Moderate | Moderate trismus, marked rigidity, mild to moderate but short spasms, moderate respiratory embarrassment with an increased respiratory rate (>30), mild dysphagia. |
III | Severe | Severe trismus, generalised spasticity, refl ex prolonged spasms, RR >40, apnoeic spells, severe dysphagia, tachycardia( heart rate >120) |
IV | Very severe | Grade III and violent autonomic disturbances involving the cardiovascular system. Severe hypertension and tachycardia alternating with relative hypotension and bradycardia, either of which may be persistent. |
1.5 MANIFESTASI KLINIK BLADDER NECK STENOSIS
Gejala klinis yang dominan adalah kekakuan otot bergaris yang disusul dengan kejang tonik dan klonik. Masa inkubasi 5-14 hari, waktu antara gejala pertama sampai timbul kejang pertama yang pendek dapat dijadikan indikator tetanus berat dengan berbagai penyulit. Gejala awal adalah trismus, pada neonatus tidak dapat/sulit menetek, mulut mencucu. Pada anak yang sudah besar berupa trismus, akibat kekakuan otot masseter, disertai dengan kaku kuduk, rasa sardonikus (karena kekakuan otot mimic, opistotonus, perut papan). Selanjutnya dapat diikuti kejang apabila dirangsang atau menjadi makin berat dengan kejang spontan, bahkan pada kasus berat terjadi status konvulsivus. Spasme larynx merupakan penyebab kematian yang sering dijumpai, bronkopneumonia akibat kekakuan rongga dada, gagal nafas dan status konvulsivus. (PDT Ilmu Kesehatan Anak edisi III, 2008).
1.6 PENATALAKSANAAN
Terapi dasar tetanus :
1 Antibiotik diberikan selama 10 hari atau 2 minggu bila ada komplikasi
· penicillin procaine 50.000 IU/kg BB/kali i.m tiap 12 jam
· metronidazole loading dose 15 mg/kg BB/jam secara drip, selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6 jam
Catatan : bila ada sepsis/pneumonia, dapat ditambahkan antibiotik yang sesuai.
2 Imunisasi aktif-pasif
· Anti tetanus serum (ATS) 5000-10.000 UI, diberikan i.m. Untuk neonatus, bisa diberikan iv; apabila tersedia dapat diberikan Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 UI i.m
· dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi lain, pada saat bersamaan.
3 Antikonvulsi
Pada dasarnya, kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinis (titrasi) :
· Bila datang dengan kejang diberi diazepam :
- neonatus : bolus 5 mg iv
- anak : bolus 10 mg iv
· Dosis rumatan maksimal
- anak : 240 mg/hari
- neonatus : 120 mg/hari
· Bila dengan dosis 240 mg/hari masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari, dengan atau tanpa kurarisasi
· Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus. Bila tidak ada syringe pump, diberikan bolus tiap 2 jam (12x/hari).
· Dapat dipertimbangkan penggunaan antikonvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada gangguan saraf otonom. Perawatan luka atau port d’entrée yang dicurigai, dilakukan sekaligus dengan pembuangan jaringan yang diduga mengandung kuman dan spora (debridement), sebaiknya dilakukan setelah diberikan antitoksin dan antikonvulsi.
Terapi suportif
· Bebaskan jalan napas
· Hindarkan aspirasi (dengan menghisap lendir perlahan-lahan dan memindah-mindahkan posisi pasien)
· Pemberian oksigen
· Perawatan dengan stimulasi minimal
· Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak memperkuat kejang
· Bantuan nafas pada tetanus berat/ tetanus neonatorum
· Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit
- Tetanus ringan dan sedang diberikan pengobatan tetanus dasar.
- Tetanus sedang
· Terapi dasar tetanus
· Perhatian khusus pada keadaan jalan napas (akibat kejang dan aspirasi)
· Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi parenteral
- Tetanus berat/ sangat berat
· Terapi dasar seperti di atas
· Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi dan tracheostomi
· Balance cairan dimonitor secara ketat
· Apabila spasme sangat hebat (tetanus berat), perlu ventilasi mekanik dengan Pancuronium bromide 0,02 mg/kg BB intravena, diikuti 0,05 mg/kg BB/kali, diberikan tiap 2-3 jam
· Apabila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan, berikan β-blocker seperti propanolol/ α dan β blocker labetalol
Pencegahan
- Imunisasi aktif
· Imunisasi dasar Diphteri Pertusis Tetanus (DPT) diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu, ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun
· Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada ibu hamil, wanita usia subur, minimal 5 kali suntikan untuk mencapai tingkat TT lifelong card)
2. Pencegahan pada luka
· Luka dibersihkan jaringan nekrotik dan benda asing dibuang
· Luka ringan dan bersih
· Imunisasi lengkap: tidak perlu Anti Tetanis Serum (ATS)/ tetanus imunoglobulin
· Luka sedang/berat dan kotor
· Imunisasi (-)/tidak jelas: ATS 3000-5000 IU, atau tetanus immunoglobulin 250-500 IU. Toksoid tetanus pada sisi lain
· Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun: ulangan toksoid, ATS 3000-5000 IU, tetanus immunoglobulin 250-500 IU
Monitoring
· Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus berlangsung lebih lama
· Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat
· Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan berlangsung selama 1-2 minggu
Tumbuh kembang
· Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relative tidak mengganggu tumbuh kembang anak
· Pada tetanus neonatum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang oleh karena hipoksia yang berat (PDT Ilmu Kesehatan Anak edisi III, 2008)
DAFTAR PUSTAKA
SKFT, 2008. Pedoman Diagnosa dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak edisi III, RSUD Dr. Soetomo : Surabaya, hal 118-122, 152-154)
Brook, I., 2002. Pediatric Anaerobic Infections : Diagnosis and Management 3th edition, Marcell-Dekker, Inc. : New York, p. 531-544
Chouinard, G., 2004. Issues in the Clinical Use of Benzodiazepines: Potency, Withdrawal, and Rebound, J Clin Psychiatry 2004;[supl 5]:7-12
Ehrenpreis, S., 2001. Clinician’s Handbook of Prescription Drugs, McGraw-Hill, p. 273.
Guilfoile, P., 2008. Deadly Diseases and Epidemics Tetanus, Chelsea House, An imprint of Infobase Publishing : New York .
Ismoedijanto, Nassiruddin, M., Prajitno, B.W., 2004. Diazepam in Severe Tetanus Treatment. Case Report. Southeast Asian J Trop Med Public Health, Vol.35 No.1: p. 175-180.
Neftel, K.A., Walti, M., Schulthess, H.K., and Gubler, J. 1984. Adverse Reactions Following Intravenous Penicillin-G Relate to Degradation of the Drug in vitro, Springer-Verlag : KIin Wochenschr (1984) 62: 25-29
Sweetman, S.C., 2009. Martindale : The Complete Drug Reference 36thedition, Pharmaceutical Press: London, p. 986 – 994.
Schramell, W., Zeidler, C., Dettmering, D., Spiteller, M., 1999. Compatibility of Various DrugsUsed in Intensive Care Medicine in Polyethylene, PVC and Glass Infusion Containers.
Trissel, L.A., 2007. Pocket Guide to Injectable Drugs, American Society of Health-System Pharmacists: Bethesda, MD, p 117-119, 283-285.
Winsnes, M., Jeppson, R., Sjorberg, B., 1981. Diazepam absorption to infusion sets and plastic syringes, Acta Anaesthasiol Scand 25: 93-96
No comments:
Post a Comment