Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang penyebabnya belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Sebagian besar kasus Artitis Reumatoid (AR) kronik mengakibatkan kerusakan sendi yang progresif, kecatatan sampai kematian dini (1).
Patofisiologi Penyakit
Rheumatoid
arthritis adalah penyakit peradangan kronik yang menyebabkan degenerasi
jaringan ikat. Peradangan (inflamasi) pada RA terjadi secara terus – menerus
terutama pada organ sinovium dan menyebar ke struktur sendi di sekitarnya
seperti tulang rawan, kapsul fibrosa sendi, ligament dan tendon. Inflamasi
ditandai dengan penimbunan sel darah putih, pengaktifan komplemen, fagositosis
ekstensif dan pembentukan jaringan glandular Inflamasi kronik menyebabkan
hipertropi dan penebalan pada membrane sinovium sehingga terjadi hambatan
aliran darah dan nekrosis sel dan kemudian inflamasi berlanjut. Inflamasi yang
terjadi dapat menyebabkan pelepasan berbagai protein sitokin. Protein sitokin
memiliki fungsi antara lain memelihara keseimbangan tubuh selama terjadi respon
imun, infeksi, kerusakan, perbaikan jaringan, membersihkan jaringan yang telah
mati, darah yang membeku dan proses penyembuhan. Jika produksi sitokin
meningkat, kelebihan sitokin dapat menyebabkan
kerusakan yang serius pada sendi saat inflamasi RA (6)(7)
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor sistem, dan infeksi virus (6).
C.
Epidemiologi
Penyakit
Prevalensi RA
relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% di seluruh dunia. Insidensi dan
prevalensi RA bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan diantara berbagai
grup etnik dalam suatu negara. Misalnya, masyarakat asli Amerika, Yakima, Pima,
dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara dilaporkan memiliki rasio prevalensi
dari berbagai studi sebesar 7%. Prevalensi ini merupakan prevalensi tertinggi
di dunia. Beda halnya, dengan studi pada populasi di Afrika dan Asia yang
menunjukkan prevalensi lebih rendah sekitar 0,2%-0,4%. Prevalensi RA di India
dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75% (8).
Sedangkan,
di Jerman sekitar sepertiga orang menderita nyeri sendi kronik mulai dari usia
20 tahun dan juga seperduanya berusia 40 tahun. Satu dari penyebab utama nyeri
yang timbul, dengan konsekuensi yang serius, merupakan RA . RA adalah penyakit
inflamasi reumatik yang paling sering dengan prevalensi 0,5% sampai 0,8% pada
populasi dewasa. Insidensinya meningkat seiring usia, 25 hingga 30 orang dewasa
per 100.000 pria dewasa dan 50 hingga 60 per 100.000 wanita dewasa.
Di
Cina, Indonesia dan Filipina prevalensinya kurang dari 0,4% baik didaerah urban
ataupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan
prevalensi RA sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban. Sedangkan
penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusai diatas 40 tahun
mendapatkan prevalensi RA sebesar 0,5% didaerah kotamadya dan 0,6% didaerah
kabupaten. Di poliklinik reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus
baru RA merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru pada tahun 2000 dan pada periode
januari s/d juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus RA dari jumlah seluruh
kunjungan sebanyak 12.346 orang (15,1%). Prevalensi RA lebih banyak ditemukan
pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi
pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada
dekade keempat dan kelima. Prevalensi RA yang hanya
sebesar 1 sampai 2 % diseluruh dunia, pada wanita di atas 50 tahun
prevalensinya meningkat hampir 5%. Puncak kejadian RA terjadi pada usia 20-45
tahun. Berdasarkan penelitian para ahli dari universitas Alabama, AS, wanita
yang memderita RA mempunyai kemungkintan 60% lebih besar untuk meninggal
dibanding yang tidak menderita penyakit tersebut. (8).
D. Manifestasi
Klinis
Manifestasi
klinis RA dibagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular
dan
manifestasi ekstraartikular. Manifestasi artikular dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu
gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel dan gejala
akibat kerusakan struktur persendian yang bersifat ireversibel. Sinovitis
merupakan
kelainan yang umumnya bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pengobatan
medikamentosa atau pengobatan non
surgical lainnya Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis
adalah kaku pagi hari. Beberapa aspek lain yang berhubungan dengan sendi yaitu
:
a.
Vertebrata
Servikalis, merupakan segmen yang sering terlibat pada RA. Proses inflamasi ini
melibatkan persendian diatrodial yang tidak tampak oleh pemeriksaan. Gejala
dini umumnya bermanifestasi sebagai kekakuan pada seluruh segmen leher disertai
dengan berkurangnya lingkup gerak sendi secara menyeluruh.
b.
Gelang bahu,
pergelangan gelang bahu akan mengurangi lingkup gerak sendi gelang bahu.
c.
Kaki dan
pergelangan kaki, keterlibatan persendian metatarsophalangeal (MTP),
telonavikularis dan pergelangan kaki merupakan gambaran yang khas pada RA.
d.
Tangan,
keterlibatan persendian pergelangan tangan, metacarphophalangeal (MCP), dan
proximal inerphalageal (PIP) hampir selalu dijumpai pada RA.
Manifestasi ekstraartikular pada RA meliputi :
a.
Konstitusional,
100% terjadi pada pasien RA dengan ditandai adanya penurunan berat badan, demam
>38,30 C, kelelahan dan pada banyak kasus sering terjadi kaheksia
(malnutrisi) yang secara umum merefleksi derajat inflamasi dan biasanya
mendahului terjadinya gejala awal pada kerusakan sendi.
b.
Nodul,
merupakan level tertinggi pada penyakit ini dan terjadi 30 – 40% pada
penderita.
c.
Sjogren’s
syndrome, terjadi hanya 10% pasien dengan ditandai adanya keratoconjutivitas
sicca (dry eyes).
d.
Vaskulitis,
hanya terjadi <1% pada penderita dengan penyakit RA yang sudah kronis.
e.
Limfoma,
resikonya pada pasien RA mencapai 2–4 kali lebih besar dibandingkan populasi
umum. Hal ini disebabkan karena penyebaran B-cell lymphoma secara luas.
E.
Penatalaksanan
Pengobatan ( Diagnosa, Pengobatan Farmakologi & Non Farmakologi )
1. Diagnosa
(1)
Selama ini diagnosis AR emakai kriteria
ACR tahun 1987 dengan sensitivitas 77 % - 95 % dan spesifitas 85% - 98% Tapi
kriteria ini mulai dipertanyakan kesahihannya dalam mendiagnosis AR dini
sehingga dipandang perlu untuk menyusun kriteria baru yang tingkat kesahihannya
lebih baik Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis
menurut American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism
yaitu :
Tabel
II.1 . Kriteria klasifikasi Arthritis Rheumatoid (1)
Kriteria
ini ditunjukan untuk pasien baru. Disamping itu, pasien dengan gambaran erosi
sendi yang khas AR dengan riwayat penyakit yang cocok untuk kriteria sebelumnya
di klasifikasikan sebagai AR. Pasien dengan penyakit yang lama termasuk yang
penyakit tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan) yang berdasarkan data –
data sebelumnya didiagnosis AR hendaknya tetap diklasifikasikan sebagai AR.
Pada pasien dengan skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikasikan sebagai AR
kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat terpenuhi
seiring berjalannya waktu. Terkenanya sendi adalah adanya bengkak atau nyeri
sendi pada pemeriksaan yang dapat didukung oleh adanya bukti sinovitis secara
pencitraan. Sendi DIP, CMC I, dan MTP I tidak termasuk dalam kriteria.
Penggolongan distribusi sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan jumlah
sedni yang terkena, dengan penempatan kedalam kategori yang tertinggi yang
dapat dimungkinkan.
·
Sendi besar adalah bahu,
siku, lutut, pangkal paha dan pergelangan kaki.
·
Sendi kecil adalah MCP,
PIP, MTP II-V, IP ibu jari dan pergelangan tangan. Hasil laboratorium negatif
adalah nilai yang kurang atau sama dengan batas atas ambang batas normal;
positif
rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari batas atas normal tapi sama atau
kurang dari 3 kali nilai tersebut; positif tinggi adalah nilai yang lebih
tinggi dari 3 kali batas atas. Jika RF hanya diketahui positif atau negatif,
maka positif harus dianggap sebagai positif rendah Lamanya sakit adalah keluhan
pasien tentang lamanya keluhan atau tanda sinovitis (nyeri, bengkak atau nyeri
pada perabaan) Dalam menegakkan diagnosis AR sangatlah penting untuk
mengelompokkannya berdasarkan waktu dimana dikatakan recent onset jika sudah
menderita kurang dari 2 tahun.
Diagnosis
Banding
Pada kasus dengan poliartritis inflamasi
selain AR perlu dipertimbangkan diagnosis banding:
1.
Spondiloartropati seronegatif, misalnya artritis psoriatik.
2.
Artritis gout poliartikular
3.
Lupus eritematosus sistemik
4.
Artritis reaktif
2. Pengobatan
Farmakologi (1)
a. Terapi
Non-Farmakologis :
1) Edukasi Pasien.
Edukasi pasien meliputi penjelasan
mengenai penyakit RA terhadap pasien, bagaimana perjalanan penyakitnya, dan
kondisi pasien saat ini. Pasien juga diberitahu tentang resiko dan keuntungan
pemberian obat.
2) Diet dan terapi komplementer.
Pengaruh diet tidak berpengaruh terhadap
perjalanan penyakit, namun disarankan untuk diet banyak makan sayuran, buah,
ikan serta mengurangi konsumsi lemak atau daging merah.
3) Latihan atau program rehabilitasi.
Pada saat terdiagnosis RA direkomendasikan
untuk melakukan latihan fisik aerobik. Latihan fisik disesuaikan secara
individual berdasarkan kondisi penyakit dan komorbiditas yang ada.
Terapi fisik dengan menggunakan laser
kekuatan rendah dan TENS (transcutaneos electrical nerve stimulation), efektif
mengurangi nyeri dalam jangka pendek.
Terapi psikologis yang diberikan seperti
relaksasi, mengatasi stres, dan memperbaiki pandangan hidup yang positif, dapat
membantu pasien RA menyesuaikan hidup dengan kondisi mereka.
b. Terapi
Farmakologis
Tujuan dari pengobatan RA yaitu untuk :
1) Menghilangkan
gejala inflamasi baik lokal maupun sistemik.
2) Mencegah
terjadinya destruksi jaringan.
3) Mencegah
terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam keadaan
baik.
4) Mengembalikan
kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar dapat menjadi normal
kembali.
Terapi RA harus dilakukan sedini mungkin
supaya menurunkan angka perburukan penyakit. Beberapa ahli menganjurkan untuk
menggunakan pendekatan step down bridge dengan menggunakan kombinasi beberapa
jenis DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs) yang dimulai sejak dini kemudian
dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas RA sudah dapat terkontrol.
a) Terapi
DMARD
DMARD berfungsi mengurangi kerusakan
sendi, mempertahankan integritas dan fungsi sendi serta meningkatkan
produktivitas pasien RA. Golongan DMARD yang sering digunakan pada pengobatan
RA yaitu MTX (metroteksat), sulfasalazin, leflunomid, klorokuin, siklosporin,
azatioprin. DMARD bersifat slow acting yang menghasilkan efek 1-6 bulan
pengobatan. Pemberian DMARD dapat diberikan tunggal atau kombinasi. Pada pasien
yang tidak respon dengan pengobatan DMARD dengan dosis dan waktu optimal,
diberikan pengobatan DMARD tambahan atau diganti dengan jenis DMARD lainnya
Prinsip–prinsip penggunaan DMARD pada
pasien RA adalah :
1. Semua
pasien yang terdiagnosa RA sedini mungkin diberikan DMARD kurang lebih 3 bulan
pertama setelah mengalami gejala.
2. Pemilihan
jenis DMARD ditentukan atas 3 faktor yaitu, faktor obat yang dilihat dari
keefektifitasnya, waktu yang diperlukan obat untuk menghasilkan khasiatnya dan
biaya pengobatan. Faktor pasien, yang bisa dilihat dari
kepatuhan pasien, komorbiditas, beratnya
penyakit dan kemungkinan prognosisnya. Faktor dokter, dilihat dari kompetensi
dalam pemberian obat dan pemantauan obat. Cara memulai dan menghentikan DMARD
pada pasien RA yaitu :
1. Pertimbangkan
pengobatan jangka pendek dengan glukokortikoid untuk memperbaiki gejala secara
cepat pada pasien yang baru terdiagnosa RA jika belum menerima glukokortikoid
sebagai bagian dari terapi kombinasi dengan DMARD.
2. Pada
pasien yang merespon cepat pada terapi kombinasi DMARD dan memberikan hasil
yang memuaskan, kurangi dosis obat dengan hati-hati.
3. Pada
pasien yang baru terdiagnosis RA tidak boleh diberikan kombinasi DMARD apabila
pasien memiliki riwayat penyakit penyerta, dimulai monoterapi DMARD.
4. Pada
pasien RA yang kondisi penyakitnya sudah stabil, kurangi dosis DMARD dengan
hati-hati.
5. Ketika
memulai obat baru untuk memperbaiki pengendalian penyakit pada rejimen
pengobatan pasien RA, pertimbangkan mengurangi atau menghentikan obat DMARD
yang sudah ada saat penyakit telah dapat dikendalikan.
Jenis DMARD yang digunakan pada pengobatan
rheumatoid arthritis adalah:
1) Metotreksat
Metotreksat saat ini digunakan sebagai
lini pertama dalam pengobatan rheumatoid arthritis. Obat ini mampu menghambat
produksi sitokin dan menstimulasi pelepasan adenosin. Dosis yang digunakan
adalah 7,5-15 mg/minggu. Metotreksat memiliki onset yang cepat, hasilnya dapat
dilihat setelah 2-3 minggu terapi. Metotreksat dikontraindikasikan pada ibu
hamil, ibu menyusui, pasien dengan gangguan hati kronis dan pasien dengan gangguan
ginjal. Penggunaan metotreksat pada usia lanjut perlu di hindari dan dipantau
dengan hati-hati karena dapat menurunkan metabolisme, menurunkan fungsi ginjal
dan adanya interaksi dengan riwayat penyakit. Pasien juga harus mendapatkan
asam folat saat menggunakan metotreksat, karena metotreksat dapat menyebabkan
defisiensi asam folat. Efek samping dari obat ini adalah mual, diare, dan
muntah.
2) Sulfasalasin
Sulfasalasin merupakan suatu prodrug yang
diubah menjadi obat oleh bakteri di dalam kolon, dimana obat ini metabolitnya
diekskresikan lewat urin. Efek antireumatik dapat dilihat setelah 2 bulan.
Dosis yang digunakan yaitu 2x500 mg/hari ditingkatkan sampai 3x100 mg.
3) Hidroksiklorokuin
Hidroksiklorokuin biasa digunakan pada
rheumatoid arthritis ringan atau sebagai adjuvant pada kombinasi DMARD untuk
penyakit yang lebih progresif. Onset dari obat ini salama 6 minggu. Dosis yang
diberikan adalah 6,5 mg/kg bb/hari.
4) Leflunamid
Leflunamid bekerja menghambat enzim
dihidroorotat dehydrogenase sehingga pembelahan sel limfosit T auto menjadi
terhambat. Dosis yang digunakan adalah 20 mg/hari.
5) Siklosporin
Siklosporin bekerja menghambat IL-1 dan
IL-2. Dosis yang digunakan adalah 2,5-5 mg/kgbb. Efek samping yang dapa terjadi
adalah gagal ginjal. Pengobatan OAINS. OAINS merupakan obat yang mampu
menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga mampu menghambat pembentukan
prostaglandin, prostasiklin, dan trombokson, maka OAINS mempunyai sifat
analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Pemakaian OAINS mampu mengurangi
kekakuan yang terjadi pada rheumatoid arthritis. Pemberian OAINS pada pasien RA
tidak mempengaruhi perjalanan penyakit ataupun mencegah kerusakan sendi.
Penggunaan OAINS pada pasien RA harus diberikan dengan dosis efektif serendah
mungkin dan dalam waktu sesingkat mungkin. Penggunaan kombinasi OAINS harus
dihindari karena tidak akan menambah efektivitas tetapi meningkatkan efek
samping
Beberapa OAINS
yang sering digunakan dalam terapi rheumatoid arthritis yaitu, diklofenak yang
merupakan turunan asam fenilasetat dan merupakan non selektif inhibitor COX,
meloxicam merupakan enolkarboksamida yang berkaitan dengan piroxicam dan
terbukti menghambat COX-2 daripada COX-1 khususunya dalam penggunaan dosis
rendah 7,5 mg/hari, celecoxib dan rofecoxib merupakan
selektif COX-2.
c. Pengobatan
Agen Biologik
Penggunaan agen
biologik diberikan pada pasien yang tidak menunjukkan respon baik dengan
kombinasi DMARD. Penggunaan agen biologik yang baru diharapkan dapat mengontrol
penyakit rheumatoid arthritis. Agen biologik merupakan molekul protein hasil rekayasa
genetika yang menghambat sitokin proinflamasi TNF-α (infliximab, etanercept,
adalimumab) dan IL-1 (anakinra). Obat ini efektif digunakan jika penggunaan
DMARD gagal, namun harganya jauh lebih mahal untuk digunakan.
d. Pengobatan
Kortikosteroid
Kortikosteroid
oral dosis rendah atau sedang dapat digunakan dalam pengobatan rheumatoid
arthritis. Kortikosteroid yang biasa digunakan dalam pengobatan RA yaitu
prednison dan metilprednisolon. Penatalaksanaan kronis dapat digunakan
prednison dosis rendah 5-10 mg/hari untuk pengendalian aktivitas penyakit pada
pasien rheumatoid arthritis. Namun, penggunaan terapi prednison dosis rendah
beresiko osteoporosis. Glukokortikoid dosis tinggi diperlukan untuk pengobatan
ekstraartikular berat pada rheumatoid arthritis. ACR merekomendasikan
pencegahan primer osteoporosis akibat glukokortikoid dengan bisphosphonate.
No comments:
Post a Comment