The Pharmacist Room: DECOMPENSASI CORDIS

DECOMPENSASI CORDIS

Definisi Gagal jantung adalah sindroma klinik yang ditandai oleh adanya kelainan pada struktur atau fungsi jantung yang mengakibatkan jantung tidak dapat memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
Gagal jantung terjadi bila curah jantung tidak cukup untuk memberikan perfusi yang adekuat ke jaringan, walaupun pengisian jantung berlangsung normal (Parker et al, 2008; Neal, 2006)).
Dekompensasi cordis terjadi bila jantung mengalami kerusakan hebat, tidak ada kompensasi yang dapat membuat pompa jantung yang lemah menghasilkan curah jantung normal, baik oleh saraf simpatis maupun oleh retensi cairan. Akibatnya cairan akan terus diretensi, sehingga penderita semakin edema dan bisa berlanjut pada kematian (Guyton & Hall, 1996)
Gagal jantung adalah sindroma klinik yang ditandai oleh adanya kelainan pada struktur atau fungsi jantung yang mengakibatkan jantung tidak dapat memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan
Gagal jantung terjadi bila curah jantung tidak cukup untuk memberikan perfusi yang adekuat ke jaringan, walaupun pengisian jantung berlangsung normal (Parker et al, 2008; Neal, 2006)).
Dekompensasi cordis terjadi bila jantung mengalami kerusakan hebat, tidak ada kompensasi yang dapat membuat pompa jantung yang lemah menghasilkan curah jantung normal, baik oleh saraf simpatis maupun oleh retensi cairan. Akibatnya cairan akan terus diretensi, sehingga penderita semakin edema dan bisa berlanjut pada kematian (Guyton & Hall, 1996)
Gejala gagal jantung antara lain dyspnea dan fatigue, yang menyebabkan keterbatasan aktivitas, serta retensi cairan yang dapat menyebabkan edema paru atau udema perifer. Fatigue merupakan keadaan meningkatnya rasa ketidaknyamanan, turunnya efisiensi atau kehilangan tenaga. Dyspnea merupakan gawat pernafasan yang diakibatkan meningkatnya usaha pernafasan selama beraktifitas sedangkan orthopnea merupakan dyspnea yang terjadi dalam posisi berbaring. Fatigue terjadi karena turunnya CO sehingga terjadi penurunan perfusi ke jaringan perifer. Hal ini menyebabkan penumpukan sisa metabolisme di jaringan perifer yang selanjutnya akan menyebabkan rasa letih. Turunnya CO juga menyebabkan terjadinya udema perifer. Dyspnea dan gawat pernafasan lainnya yang terjadi pada gagal jantung terjadi karena peningkatan tekanan vena pulmonalis dan tekanan kapiler sehingga menyebabkan pengurangan kelenturan paru dan meningkatkan kerja otot pernafasan yang dibutuhkan untuk mengembangkan paru. (Braunwald, 2000).

1.2       Etiologi 
Gagal jantung dapat disebabkan dari beberapa gangguan yang berefek pada kemampuan jantung untuk berkontraksi (fungsi sistolik) dan/atau relaksasi (fungsi diastolik). Disfungsi Sistolik (penurunan kontraktilitas) terjadi akibat penurunan massa otot (misalnya,  infark miokard), hipertrofi ventrikular yang disebabkan oleh overload tekanan atau volume. Disfungsi diastolik (pembatasan dalam pengisian ventrikel) disebabkan oleh peningkatkan kekakuan ventrikel, stenosis katup mitral atau trikuspid, dan penyakit perikardial (misalnya, perikarditis) (Parker et al, 2008).

1.3       Patofisiologi  
Gagal jantung dapat dipicu adanya penyakit jantung koroner dan hipertensi. Selama fungsi jantung menurun akibat adanya infark, jantung mengandalkan mekanisme kompensasi : (1) takikardi dan peningkatan kontraktilitas melalui aktivasi sistem saraf simpatik; (2) mekanisme Frank-Starling, yang mana akan meningkatkan preload sehingga stroke volume meningkat; (3) vasokonstriksi dan (4) ventricular hipertrofi dan remodeling. Mekanisme kompensasi paling penting adalah hipertrofi ventricular. Peningkatan massa otot membantu memelihara fungsi jantung dalam menghadapi efek yang tidak diinginkan seperti kelebihan beban (overload) tekanan atau volume, menghilangnya jaringan fungsional (akibat infark miokardial) atau penurunan kontraktilitas jantung. Dalam perkembangannya, hipertrofi dapat menyebabkan perubahan iskemik, hambatan pengisian diastolik, dan perubahan geometri ventrikuler. Meskipun mekanisme-mekanisme kompensasi dapat mempertahankan fungsi jantung, mekanisme ini juga bertangung jawab atas gejala dan progresivitas gagal jantung ((Katzung, 2001; Parker et al, 2008).

1.4       Klasifikasi Gagal Jantung
Beberapa pembagian kriteria yang dipakai pada gagal jantung, diantaranya klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), dan pembagian stage menurut American Heart Association. Klasifikasi fungsional yang biasanya dipakai menurut NYHA adalah (Parker et al, 2008; Dickstein et al, 2008):
*      Klas 1 : Tidak ada keterbatasan dalam melakukan aktivitas apapun, tanpa muncul keluhan
*      Klas 2 : Mulai ada sedikit keterbatasan dalam melakukan aktifitas, pasien masih bisa melakukan aktivitas ringan dan keluhan berkurang saat istirahat
*      Klas 3 : Terdapat keterbatasan dalam melakukan berbagai aktifitas dan keluhan berkurang saat istirahat
*      Klas 4 : Keluhan muncul dalam berbagai aktivitas, dan tidak berkurang meskipun dengan istirahat
Sedangkan pada tahun 2001 American Heart Association membagi kegagalan jantung menjadi empat stage, yakni:
*      Stage A : Pasien dengan resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Antar lain pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes dan lain-lain, namun belum ditemukan adanya kelainan struktural pada jantung
*      Stage B : Pasien dengan kelainan struktur jantung tetapi belum mengalami gejala gagal jantung.
*      Stage C : Pasien dengan kelainan struktur jantung dan menunjukkan gejala awal gagal jantung
*      Stage D : Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung meskipun sudah diberikan terapi medis yang maksimal.

1.5       Penatalaksanaan terapi
1. Terapi Non Farmakologi
Meliputi Restriksi garam, penurunan berat badan pada penderita obesitas, diet rendah garam dan rendah kolesterol, stop merokok dan olah raga
2. Terapi Farmakologi
Tujuan terapi pada pasien gagal jantung adalah mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi masuk rumah sakit, memperlambat progresifitas penyakit dan memperpanjang hidup pasien (Parker et al, 2008).
Penatalaksanaan terapi pada pasien gagal jantung didasarkan pada tingkat keparahan gagal jantung yaitu :


a.             Stage A (pasien dengan risiko gagal jantung tinggi)
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi dan mengubah faktor risiko. Pengobatan yang diberikan adalah golongan ACE inhibitor
b.            Stage B (pasien dengan penyakit jantung struktural tetapi tanpa gejala gagal jantung)
Target terapi adalah untuk meminimalkan injury dan mencegah atau memperlambat proses remodelling. Pasien yang telah mengalami infark miokard diterapi dengan  kombinasi ACE Inhibitor dan ß bloker
c.             Stage C (pasien dengan penyakit jantung struktural dengan gejala gagal jantung)
Kebanyakan pasien harus diterapi dengan empat macam obat : penghambat ACE, diuretik, pengeblok adrenergik β, dan digoksin.
d.             Stage D (pasien dengan gejala meskipun dengan terapi medis maksimal).
Pada pasien dengan stage D harus dipertimbangkan terapi khusus seperti terapi inotropik positif kontinyu, transplantasi jantung dan hospice care
(1)         Inotropik Positif
Pada pasien gagal jantung, komplikasi berupa syok kardiogenik sering terjadi. Untuk menurunkan resiko terjadinya syok kardiogenik diberikan inotropik positif. Inotropik positif akan menstimulasi kontraksi miokardium, meningkatkan kadar kalsium sitosol atau meningkatkan sensitivitas protein yang berkontraksi terhadap kalsium. Semua inotropik positif akan memberikan efek perbaikan simtomatik, tetapi hanya penggunaan digoksin yang menunjukkan adanya penurunan resiko kematian pada pasien gagal jantung (Harris, 2000). Inotropik positif dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu glikosida jantung, amina simpatomimetik, agonis adrenergik, dan inhibitor phosphodiesterase (Kelly, 2001).
(2)         Diuretik
Diuretika merupakan senyawa yang merangsang pengeluaran urine dengan meningkatkan laju ekskresi natrium dan air. Cara kerja diuretik pada pengobatan gagal jantung adalah dengan menurunkan retensi garam dan air sehingga akan menurunkan preload ventrikuler. Penurunan pada tekanan vena memiliki dua manfaat yaitu : menurunkan edema dan gejalanya, dan menurunkan ukuran jantung yang dapat menyebabkan perbaikan efisiensi dari fungsi pompa (Katzung, 2001).
Penggunaan diuretika yang memberi respon terbaik pada pasien gagal jantung yaitu penggunaan furosemide. Dosis yang digunakan yaitu 10-40 mg secara i.v. dan jika masih perlu dapat diulangi setiap 3-4 jam, efek penggunaan furosemide i.v. akan diperoleh 15 menit kemudian (Antman, 2001). Oleh karena furosemide merupakan diuretika kuat sehingga perlu dilakukan monitoring keseimbangan elektrolit dan pemeriksaan kadar urea dalam urine. Efek samping penggunaan furosemide yaitu hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemia, hipovolemik, hiperurisemia, dan alergi pada pasien hipersensitif terhadap golongan sulfonamida (Kaplan, 2005).
Pengeluaran cairan pada pasien gagal jantung dengan edema pulmonal sebaiknya dilakukan perlahan agar tidak terjadi deplesi volume pada pembuluh darah, hipotensi maupun penurunan CO yang drastis. Parameter yang digunakan untuk mengontrol pengeluaran cairan tersebut adalah dengan memonitoring penurunan berat badan pasien. Penurunan berat badan pasien sebaiknya sekitar 1 kg per hari untuk mencegah efek samping tersebut (Kradjan, 1995).
(3)         Penghambat ACE
Inhibitor ACE merupakan terapi awal yang selalu diberikan pada pasien. Inhibitor ACE akan menghambat jalur perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor poten. Angiotensin II juga dapat menstimulasi pengeluaran aldosteron dan arginin vasopressin, serta mengaktivasi sistem saraf simpatis perifer maupun sentral. Terjadinya penghambatan oleh inhibitor ACE akan menyebabkan penurunan preload dan afterload, sehingga akan menghambat progresivitas remodelling ventrikel yang terjadi pada pasien gagal jantung (Goldsmith, 1992).
Captopril merupakan inhibitor ACE yang paling pertama digunakan pada klinik. Pengunaan kaptopril yaitu dengan dosis awal 6,25 mg, yang dapat diikuti dengan dosis 12,5 – 50 mg tiga kali sehari bila diperlukan.
Selain itu, dapat digunakan lisinopril, yang merupakan senyawa dengan waktu paruh yang lebih panjang mencapai 24 jam. Lisinopril diekskresi dalam keadaan tidak berubah pada urine, sehingga pada pasien gagal ginjal dosis harus diturunkan. Dosis awal yang digunakan yaitu 2,5–5 mg yang diikuti dosis penjagaan 5-20 mg per hari (Pfeffer, 2005).
Efek samping penggunaan inhibitor ACE yaitu hipotensi, batuk berkepanjangan, insufisiensi renal, dan pada pasien hiponatremia akan meningkatkan resiko terjadinya penurunan tekanan darah secara drastis pada awal penggunaan inhibitor ACE (Pfeffer, 2005).
(4)         Vasodilator
Penggunaan vasodilator pada terapi gagal jantung didasarkan pada konsep bahwa gagal jantung tidak hanya disebabkan oleh penurunan fungsi kontraktilitas myokardial tetapi juga disebabkan oleh vasokonstriksi perifer yang selanjutnya dapat menyebabkan penurunan fungsi myokardial. Vasodilator digunakan untuk mengatasi vasokonstriksi dan menurunkan beban kerja jantung serta kebutuhan oksigen jaringan. Vasodilator yang digunakan pada terapi gagal jantung yaitu derivat nitrat dan hidralazin. Derivat nitrat (misal Isosorbid dinitrat/ISDN) dan hidralazin dikombinasi pada terapi gagal jantung karena aksi hemodinamik yang komplementer (saling melengkapi). Nitrat merupakan venodilator utama yang akan menghasilkan penurunan preload, sedangkan hidralazin merupakan vasodilator langsung yang bekerja pada otot polos arteri yang akan menurunkan SVR dan meningkatkan volume sekuncup (SV) dan cardiac output (CO). Selain itu nitrat akan menghambat proses remodelling ventrikel dan hidralazin akan mencegah toleransi nitrat dan menurunkan progresivitas gagal jantung (Parker et al, 2008).
(5)         Penyekat Adrenoreseptor-Beta
Pada pasien gagal jantung dapat terjadi aktivasi sistem saraf simpatis yang berlebihan. Penggunaan β-blocker bertujuan untuk menghambat aktivasi berlebihan sistem neurohormonal tersebut, karena dapat menyebabkan kematian sel, hipertrofi, iskemia dan aritmia. Dari beberapa penelitian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan β-blocker dapat memperbaiki ejection fraction ventrikel kiri dan menurunkan dilatasi ventrikel kiri karena penggunaan β-blocker akan memberi efek penghambatan proses remodelling ventrikel. (Packer, 2004).
Pada pasien gagal jantung β-blocker yang bisa dipakai yaitu β-blocker generasi II dan generasi III. Hal ini disebabkan karena β-blocker generasi II tidak memblok presinaptik maupun postsinaptik reseptor β2, sedangkan β-blocker generasi III bisa digunakan karena memiliki efek penurunan afterload yang akan meringankan penurunan CO pada withdrawal β-adrenergik (Kelly, 2001; Poole-Wilson, 2005).
β-blocker yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung yaitu metoprolol dan bisoprolol yang merupakan β-blocker generasi II, serta carvedilol yang merupakan β-blocker generasi III (Braunwald, 2005).
(6)         Antagonis aldosteron
Menurunnya CO pada pasien gagal jantung akan mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) sehingga akan terjadi peningkatan kadar angiotensin II maupun aldosteron. Peningkatan tersebut akan menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas simpatis yang akan menyebabkan hipertrofi dan remodelling jantung. Selain itu terjadi vasokonstriksi yang akan mempengaruhi kepekaan arteri dan retensi natrium dan air sehingga dapat menyebabkan udema (Braunwald, 2001).
Pengobatan yang digunakan pada mulanya adalah dengan ACEI namun berdasarkan penelitian selanjutnya diketahui bahwa setelah dilakukan terapi beberapa bulan terhadap pasien gagal jantung dengan ACEI, masih dapat terjadi peningkatan produksi angiotensin II dan aldosteron. Sehingga terjadi perubahan strategi penghambatan RAAS yaitu dengan menggunakan kombinasi ACEI dan antagonis aldosteron. Kombinasi tersebut telah terbukti secara klinik, dapat menurunkan resiko kematian pada pasien gagal jantung (Kelly, 2001).
Antagonis aldosteron yang sering digunakan yaitu spironolakton yang juga merupakan diuretika hemat kalium. Pada pengunaan dosis kecil yaitu 25 mg/hari akan menurunkan resiko serangan dan kematian, selain itu terjadi perbaikan simptom yang diamati melalui perubahan tingkatan gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA). Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan spironolakton yaitu ginekomasti dan peningkatan konsentrasi serum kalium (hiperkalemia) (Schwinghammer, 2003).

2.         Tinjauan Ventricular Septal Deffect
2.1       Definisi
      Defek Septum Ventrikel atau VSD merupakan kelainan jantung bawaan berupa lubang pada septum interventrikular. Lubang tersebut dapat berjumlah satu atau lebih yang terjadi akibat kegagalan fusi septum interventrikuler semasa janin dalam kandungan (Rilantono, 2002). Septum ventrikel terbagi menjadi bagian membran yang kecil dan bagian membran yang besar. Muskular septum mempunyai tiga komponen yaitu septum inlet, septum trabekular (septum muskular), dan septum outlet (septum infundibular). Septum trabekular terbagi menjadi bagian anterior, posterior, tengah, dan bagian apikal. Sehingga VSD dapat diklasifikasikan menjadi membran, inlet, outlet, midtrabekular, anterior trabekular, posterior trabekular, atau defek bagian atas muskular (apical muscular defect). Defek yang terjadi bermacam-macam ukurannya, mulai dari yang sangat kecil tanpa adnya perubahan hemodinamik yang signifikan sampai defek ukuran besar yang diikuti adanya CHF dan hipertensi pulmonal (Park, 2008)

2.2       Etiologi
   Penyebab dari VSD tidak diketahui, tetapi adanya kombinasi dari genetik dan beberapa faktor lain diduga sebagai faktor penyebabnya. VSD secara umum tidak dapat dihubungkan dengan sindrom genetik, meskipun pada beberapa anak memiliki abnormalitas pada kromosomnya atau diduga memiliki sindrom VSD, karena VSD merupakan penyakit jantung bawaan yang paling sering terjadi. (McDaniel, 2001).

2.3       Patofisiologi
   Penjelasan mengenai VSD asianotik adalah merupakan gangguan atau adanya kebocoran pada sekat jantung bagian ventrikel sehingga aliran darah pada jantung mengalir dari ruang jantung kiri menuju ruang jantung kanan. Derajat dari VSD tidak tergantung dari lokasi tetapi tergantung dari ukuran kebocoran yang terjadi dan derajat terjadinya pulmonary vascular resistance (PVR). Pada kebocoran kecil (small defect) terjadi resistensi dan kebocoran tidak tergantung pada PVR. Penurunan PVR secara normal terjadi pada kondisi VSD. Namun pada kebocoran yang lebih besar (large VSD), resistensi terjadi lebih minimal dibandingkan small defect dan kebocoran sangat tergantung pada PVR.  Pada pasien bayi yang baru lahir dengan VSD, terjadi peningkatan PVR namun kebocoran yang besar tidak terjadi hingga pasien berusia 6-8 minggu, dimana jika terjadi kebocoran yang lebih besar maka chronic heart failure (CHF) dapat terjadi (McDaniel, 2001).


Gambar 2.1        Patofisiologi VSD
Pada VSD sedang, terjadi pelebaran atau pembesaran ruang jantung ventrikel kiri (LV), atrium kiri (LA) dan pembuluh darah arteri pulmo (PA). Hal ini menandai terjadinya peningkatan resistensi pada pembuluh darah pulmo. Pada VSD, ventrikel kiri bekerja melebihi kapasitas sehingga jantung mengkompensasi hal ini dengan memperbesar ukuran ventrikel kiri. Karena VSD terjadi  selama systole yaitu pada saat ventrikel kanan (RV) mengalami kontraksi, dimana hal ini menyebabkan aliran darah secara langsung menuju ke PA dimana jumlah darah yang mengalir sesuai dengan jumlah darah yang terdapat pada RV. Oleh karena itu, RV tidak mengalami kompensasi sehingga ukuran RV juga tidak mengalami perubahan yang berarti.  Pada VSD juga terjadi pembesaran LA, sedangkan hal ini nidal terjadi pada atrium septal defect (ASD) (McDaniel, 2001).
VSD dibagi menjadi VSD kecil (small VSD), sedang (moderate VSD) dan besar. Pembesaran ruang jantung dan terjadinya hambatan pada pembuluh darah pulmo pada VSD kecil (small VSD) tidak terlihat secara signifikan pada hasil sinar X. Kebocoran yang terjadi juga menyebabkan terjadinya murmur (regurgitant systolic). Untuk VSD sedang (moderate VSD), kardiomegali yang terjadi dapat terlihat pada hasil sinar X. Di samping itu, pada pemeriksaan ECG dapat terlihat terjadinya left ventricular hypertrophy (LVH). Sedangkan pada VSD besar pembesaran jantung (kardiomegali) yang terjadi lebih besar dibandingkan VSD sedang, karena defek yang terjadi jauh lebih besar (McDaniel, 2001).

Gambar 2.2        Klasifikasi VSD
Pasien dengan VSD kecil tidak menunjukkan gejala dengan pertumbuhan normal. Untuk pasien VSD sedang hingga besar sering mengalami terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan, penurunan toleransi aktivitas, terjadinya infeksi paru dan CHF (chronic heart failure). Sedangkan untuk EKG (electrocardiogram) pada pasien VSD kecil menunjukkan EKG normal. Sedangkan untuk pasien VSD sedang mengalami LVH (left ventricular hypertrophy) dan terkadang mengalami left atrial hypertrophy (LAH) (Park, 2008). Gejala yang terjadi pada pasien VSD sedang, tidak berat namun mudah mengalami kelelahan, batuk karena radang paru atau gagal jantung ringan (Ontoseno, dkk., 2008). Pasien dengan VSD besar, sering dengan gagal jantung yang terjadi pada umur 1-3 bulan, sering dengan infeksi paru dan kenaikan berat badan lambat (Ontoseno, dkk., 2008)
2.4       Manifestasi Klinik
      Gejala dan tanda yang terjadi pada pasien VSD yaitu kadang-kadang asimtomatik, lekas lelah, batuk, sesak nafas waktu istirahat, kenaikan berat badan lambat. Pada pemeriksaan radiologi dapat dijumpai gambaran sebagai berikut :
-          Jantung dalam batas normal dengan atau tanpa corakan pembuluh darah bertambah (VSD kecil)
-          Kardiomegali, pembesaran batang arteri pulmonalis sehingga tonjolan pulmonal prominen dan corakan pembuluh darah hilus berlebih (VSD sedang dan besar)
-          Batang arteri pulmonalis besar dengan cabang-cabang arteri pulmonalis lebih sedikit (VSD besar dengan hipertensi pulmonal menetap atau sindroma Eisenmenger) (Ontoseno dkk., 2008).

2.5       Manajemen Terapi
  1. Terapi Farmakologis
Terapi untuk mengatasi CHF (Chronic Heart Failure) dapat menggunakan digoksin dan diuretika selama 2-4 bulan. Penggunaan spironolakton dapat juga digunakan, dimana spironolakton dapat mencegah terjadinya kehilangan kalium. Captopril dapat digunakan untuk menurunkan afterload. Apabila telah digunakan captopril, yang merupakan salah satu Angiotensin-converting enzyme inhibitors, maka penggunaan spironolakton atau suplemen kalium sebaiknya dihentikan untuk mencegah terjadinya kondisi hiperkalemia. Anemia pada pasien VSD juga sering terjadi, sehingga dapat diberikan terapi oral yang mengandung besi. Penggunaan antibiotika profilaksis dapat digunakan untuk mencegah terjadinya endokarditis (Park, 2008).
  1. Terapi Non-Farmakologis
Pasien dengan VSD dengan CHF dan retardasi atau gangguan pertumbuhan dapat menggunakan digoxin, diuretik dan penurun afterload sebagai terapi awal. Apabila gangguan pertumbuhan tidak dapat diatasi dengan terapi oral dapat dilakukan operasi pada pasien. Namun operasi hanya bisa dilakukan pada pasien berumur lebih dari 6 bulan (Park, 2008).
Pada VSD kecil biasanya tidak diperlukan tindakan operatif, kadang-kadang menutup spontan. Pada VSD sedang kalau tidak ada gagal jantung dapat ditunggu sampai anak berusia 2-4 tahun dengan berat badan minimal 10 kg. sedangkan untuk VSD besar dengan hipertensi pulmonal yang belum menetap, dilakukan operasi paliatif setelah gagal menangani gagal jantungnya (operasi tidak langsung menutup defek, tetapi dengan operasi pengikatan batang arteri pulmonalis), jika setelah umur 4-6 tahun defek belum menutup maka dilakukan koreksi total (Ontoseno dkk., 2008).



Contoh kasus :

Pasien Sf MRS dengan keluhan sesak sejak ± 1 minggu disertai dengan makin membengkaknya kedua kaki dan kedua tangan serta perut. Pasien juga mengeluh batuk sejak 5 hari yang lalu. Sebelumnya ± 2 bulan pasien pernah dirawat di RS dengan keluhan yang sama (bengkak kedua kaki dan sesak) dan ± 7 bulan yang lalu pasien pernah didiagnosa dokter CVA emboli dan suspec VSD (Ventrikel Septal Defect). Kondisi klinik pasien meliputi TD normal yaitu 127/64 mmHg , tapi nadi dan RR cenderung tinggi yaitu 126 kali/menit dan 45 kali/menit sehingga pasien diberi terapi O2 nasal canule 10L/mnt karena mengalami sesak.  Gejala klinis dari gagal jantung adalah  sesak nafas karena jantung tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen tubuh (Fauci et al, 2008).Pasien juga diberi ceftriaxone 2x1 g secara i.v karena keluhan batuk selama 5 hari disertai dengan suhu tubuh 37,5 . Berdasarkan  keluhan, pemeriksaan umum dan fisik pasien maka pasien didiagnosa awal SOB + edema anasarka + Susp. Decompensasi cordis dan susp VSD, namun dalam perkembangannya diagnosa decompensasi cordis dan VSD ditegakkan berdasarkan pemeriksaan EKG, Echocardiografi dan Doppler. Terapi Decom Cordis pasien mendapatkan ISDN, Lisinopril, digoxin, dan Valsartan.






 DAFTAR PUSTAKA

Anderson P.O., Knoben J.E., Troutman W.G. (Eds), 2002, Handbook of Clinical Drug Data, 10th edition, New York; McGraw-Hill Medical Publishing Devision.

Antman, E.M. and Braunwald, E., 2001, Acute Myocardial Infarction, In: E. Braunwald, D.P. Zypes, and P. Libby (Eds.). Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, Ed. 6th, USA: W.B. Saunders Company.

Braunwald (a), E., 2005, Heart Failure and Cor Pulmonale, In: Kasper, A.S. Fauci, D.L. Longo, E. Braunwald, S.L. Hauser, and J.L. Jameson (Eds.). Harrison’s: Principles of Internal Medicine, Ed. 16th, USA: McGraw-Hill Companies Inc.

Cruz, Eduardo da., dan Rimensberger, Peter C., 2008, Inotropic and Vasoactive Drugs In : Munoz, Ricardo., Schmitt, Carol G., Roth, Stephen J., dan Eduardo da Cruz, 2008, Handbook of Pediatric Cardiovascular Drugs, London : Springer-Verlag

Dickstein, Kenneth. 2008. ESC Guidlines for the diagnosis and treatmnet of acut and chronic heart failure 2008. In Europen Heart Journal , Ed 29

Goldsmith, S.R., and Francis, G., 1992, Treatment of Cardiovascular Disorders: Congestive Heart Failure, In: K.L. Melmon, H.F. Morelli, B.B. Hoffman, and D.W. Nierenberg (Eds.). Melmon and Morelli’s Clinical Pharmacology: Basic Principles in Therapeutics, Ed. 3rd, USA: McGraw-Hill, Inc.

Guyton, A. C., Hall, J. E. 1996. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia, Pensylvania : W.B Saunders Company., p. 333-394

Kaplan, N.M., and Opie, L.H., 2005, Diuretics, In: L.H. Opie, and B.J. Gersh (Eds.). Drugs for the Heart, Ed 6th, USA: Elsevier Inc.

Katzung, B.G and Parmley, W.W.  2007. Drug Used In Heart Failure. In:Katzung, R-bertram G. Basic and Clinical Pharmacology, Ed 9th, Singapore: McCraw-Hill Co

Kelly, R.A., port, J.D., and Bristow, M.R., 2001, Treatment of Heart Failure: Pharmacological Methods, In: E. Braunwald, D.P. Zypes, and P. Libby (Eds.). Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, Ed. 6th, USA: W.B. Saunders Company.

Kradjan, W.A., 1995, Congestive Heart Failure, In: L.Y. Young, M.A. Koda-Kimble, W.A. Kradjan, and B.J. Guglielmo (Eds.). Applied Therapeutics: The Clinical Usage of Drugs, Ed 6th, USA: Applied Therapeutics, Inc

Lacy C.F., et al, 2008,  Drug Information Handbook, 17th edition : Lexy-comp

McDaniel, N.L., 2001. Ventricular and Atrial Septal Defect. In : Pediatric in review vol 22 No.8 August, Virginia : University of Virginia., p 265-270

Neal, M.J., 2005. Medical Pharmacology at a Glance, Ed 4th . London : Blackwell Scienc

Ontoseno, Teddy., Poerwodibroto, Soebijanto., Rahman, Mahrus A., 2008, Defek Septum Ventrikel dan Infeksi/Pneumonia In : Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III, Buku Satu. Surabaya : Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo, hal.156-160

Parker, R.B., Rodgers, J.E., and Cavallari, L.H. 2008. Heart Failure. In : DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Ed. 7th, New York : McGrawhill Co

Pfeffer, M.A., Poole-Wilson, P.A., and Opie, L.H., 2005, Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitors, Angiotensin-II Receptor Blockers (ARBs), and Aldosterone Antagonist, In: L.H. Opie, and B.J. Gersh (Eds.). Drugs for the Heart, Ed. 6th, USA: Elsevier Inc.

Pfeffer, M.A., Poole-Wilson, P.A., and Opie, L.H., 2005, Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitors, Angiotensin-II Receptor Blockers (ARBs), and Aldosterone Antagonist, In: L.H. Opie, and B.J. Gersh (Eds.). Drugs for the Heart, Ed. 6th, USA: Elsevier Inc.

Riantono, L.I., Baraas, F., Karo, S.K., Roebono, P.S., 2002. Buku Ajar Kardiologi, Jakarta : Universitas Indonesia, hal 232-235

Schwinghammer, T.L., 2003, Cardiovascular Disorder, In: B.G. Wells, J.T. Dipiro, T.L. Schwinghammer, and C.W. Hamilton (Eds.). Pharmacotherapy Handbook, Ed 5th, USA: McGraw-Hill Companies, Inc.




No comments:

Post a Comment