The Pharmacist Room: Obat senyawa kimia sintetik yang pertama kali ditemukan disebut sbg NCE (NCE=new chemical entity/ obat innovator)

Obat senyawa kimia sintetik yang pertama kali ditemukan disebut sbg NCE (NCE=new chemical entity/ obat innovator)


Obat senyawa kimia sintetik yang pertama kali ditemukan disebut sbg NCE (NCE=new chemical entity/ obat innovator) yg dilindungi paten selama 20 tahun, sementara obat yg muncul setelah paten NCE habis dilempar bebas di pasar disebut obat copy atau lebih familiar disebut me too product.

Obat NCE contoh Penisilin (saat pertama ditemukan tahun 1939 oleh ilmuwan Australia penerima Nobel Fisiologi Kedokteran Howard W Florey, penisilin sintetik oleh Dorothy C Hodgkin), di tahun 1939 hingga 1945 harus melalui serangkaian uji pada tikus utk membuktikan efek farmakologinya (khasiat). Uji pertama dan utama suatu senyawa bisa dianggap sbg obat (lihat definisi obat di atas) adl uji FARMAKODINAMIK preklinik baik in vitro maupun in vivo. Utk antibiotic selain harus diuji khasiatnya pada hewan juga pada hewan. Uji ini disebut uji in vivo (pd hewan hidup) dan in vitro.

efek farmakologi, dosis terapi ED50=dosis yang menghasilkan 50% efek maksimum.

Setelah diketahui khasiatnya, obat harus aman. Maka diuji TOKSIKOLOGI. Minimal obat harus menunjukkan keamanan secara akut, sub kronik dan kronik=uji toksisitas tak khas. Uji toksisitas kuncinya adalah menemukan DOSIS TOKSIK, maka hanya bias dilakukan pada hewan utuh, kecuali utk uji toksisitas spesifik spt mutagenic, kanker, kulit, dll. Hewan diberi obat sengaja mulai dosis terapi hingga dosis toksik. Pengamatan dilakukan selama 24 jam (toksisitas akut), selama 3 bulan (toksisitas sub kronik) dan 9 bulan-1 tahun utk toksisitas kronik. Pada pengamatan 24 jam dilakukan observasi baik gejala klinis di semua system tubuh hingga timbulnya kematian, diikuti dengan pembedahan dan pemeriksaan histopatologis semua organ tubuh utk menentukan mekanisme yg memerantarai kematian.Pada uji sub akut akan ditemukan LD50=dosis yang menyebabkan 50% subyek uji mati. LD50 adl parameter keamanan suatu senyawa (ada table konversi utk menilainya).



Sedangkan toksisitas sub kronim dan kronik tdk diinginkan dosis toksik mematikan, maka lbh penting pengamatan pemakaian obat jangka panjang gejala efek samping obat yg timbul.



Perbandingan antara LD50/ED50 menjadi parameter indeks terapi/jendela terapi, sbg penentu mudah tidaknya obat menimbulkan efek toksik/samping bila obat dikonsumsi melebihi indeks terapinya/IT. Beberapa obat digolongkan memiliki IT yg lebar shg aman dikonsumsi spt parasetamol, krn efek toksik baru muncul pada pemakaian 20 tablet @500 mg/hari, namun utk obat asma teofilin/aminofilin krn ITnya sempit, maka seseorang mungkin akan dapat efek samping rasa berdebar2 di jantung meskipun minum obat dosis terapi 1 tablet sehari saat ada serangan asma.



Jadi Uji toksikologi sama pentingnya dg uji farmakologi.



Selain itu masih ada uji toksisitas spesifik tgt jenis obat tertentu diharuskan diuji. Antara lain uji fertilitas, mutagenic, reproduksi, teratogenik, kanker, kelainan kulit, dll.



Utk obat yg kemungkinan dikonsumsi oleh ibu hamil, maka wajib melakukan uji TERATOGENIK. Hewan uji biasanya tikus jenis SD dan juga kelinci (keduanya harus dilakukan, tdk boleh hanya rodent saja), dibuntingkan dan sengaja dipejani obat dengan dosis bervariasi, diamati efek samping yang muncul di janin dan korpora lutea yg mencerminkan adanya abortus, cacad menetap pada organ tertentu. Perlu skill tinggi utk membungtingkan hewan uji, memejankan senyawa saat masa pembentukan organ janin/organogenesis yg lamanya tgt hewan, melakukan bedah cesar sblm akhir kehamilan hewan, mengamati uterus, janin satu persatu hingga organ dalam dan pertulangan janin. Satu hewan bias jadi punya 11-13 janin, maka harus dilakukan pengamatan kecacadan organ pada semua janin, melakukan histopatologi semua organ semua janin.

Hasil : keamanan/ketidakamanan senyawa bagi ibu hamil dan janin.

Uji preklinim lain yg harus dialami obat adl : Uji FARMAKOKINETIK.

Sesuai dg nama yg diberikan pada uji ini, obat diberikan pada dosis terapi utk dilihat kinetika obat (jumlah dan kecepatan obat) dalam saluran sistemik/peredaran darah umum. Dilakukan sampling darah kemungkinan juga urin dan beberapa obat butuh sample saliva utk menentukan profil obat baik terjadinya absorpsi, distribusi. Metabolisme dan ekskresi=ADME obat=nasib obat dalam tubuh. Sampling dilakukan sesering mungkin sejak obat diberikan, lamanya sekitar 5-10x T1/2 obat, atau jika belum tahu t1/2 maka harus dilakukan selama mungkin bias sampai 12 jam, dilakukan sampling awal tiap 5 menit, diikuti sampling tiap jam. Muncul hasil berupa Cmak (kadar obat maksimal dalam badan), waktu terjadinya Cmak disebut Tmak, jumlah obat dalam badan AUC dan waktu paro ekskresi=T1/2 obat yang menunjukkan berapa lama obat berada dalam tubuh dan kapan akan diekskresikan hamper 100% dr dosis awal. T1/2 menjadi dasar penentuan regimen dosis obat (berapa kali dalam sehari obat bisa diberikan dan aman).

Itulah uji preklinik yg dilalui obat, selain tentunya uji sebelumnya spt uji kemurnian senyawa, uji kelarutan obat dll di bidang teman2 Kimia Farmasi dan Teknologi Farmasi jika obat telah dibuat dalam bentuk sediaan obat (tablet, injeksi, dll).

Obat copy hanya diwajibkan melakukan uji klinik ini sblm dipasarkan, sementara obat NCE harus menjalani baik uji preklinik maupun klinik ini. Contoh obat copy adalah : semua obat generic, penisilin yang sudah lama habis masa patennya jika akan dipasarkan oleh industri mana pun, semua obat dengan nama patent namun bukan merupakan senyawa baru contoh parasetamol dengan nama Pamol, Panadol, Sanmol, dll. Namun kebijakan baru menyebutkan utk obat spt obat copy yg sudah terbukti aman dg indeks terapi lebar spt parasetamol, penisilin G, penisilin V, dll tdk diminta melakukan clinical trial bahkan uji preklinik. Kecuali jika kemudian ada modifikasi struktur senyawa asli spt amoksisilin, ampisilin, asam klavulanant, imipenem yg semua ini hasil rekayasa struktur kimia dg perubahan rantai samping, bukan rantai utama beta-laktam penisilin, maka perlu dilakukan uji preklinik dan clinical trial.



Bahkan obat yg sudah ada copynya namun diubah bentuk sediaanya contoh amoksisilin tablet kemudian akan dipasarkan dry syrup, amka harus melakukan minimal uji klinik fase I pada sukarelawan sehat.

Obat generik berlogo (OGB) di Indonesia diwajibkan melakukan uji klinik fase I dengan 12 sukarelawan sehat di RS. Uji ini disebut uji bioavailability dan bioefficacy obat =BABE. Subyek uji diberi 2 macam obat, yakni OGB dan setelah masa wash out (10x t1/2 obat) diberi obat pembanding yg sudah terpercaya. Uji BABE sesungguhnya adalah dan sama persis dg uji Farmakokinetik, bedanya dilakukan pada manusia sehat. Sejauh uji yg pernah kami lakukan maka banyak OGB bikinan pabrik Farmasi dalam negri yg besar memiliki profil farmakokinetik setara secara statistic dg obat competitor. Contoh OGB Nifedipin sama dg Adalat (Bayer)amoksisilin OGb sama dg amoksan, allopurinol OGB setara dg Zyloric, natrium diklofenak OGb setara dg Voltaren, dll masih banyak yang telah dilakukan oleh pabrik Farmasi di tanah air utk menjamin khasiat dan keamanan OGB. Sayangnya, pemerintah tdk pernah merilis secara resmi data BABE dari OBG di tanah air yg sesungguhnya akan memberikan persepsi yang berbeda kepada masyarakat yg kritis dan tenaga kesehatan agar obyektif dalam meberikan OGb kepada pasien yg memerlukan (miskin) tanpa kuatir akan khasiat dan keamanan OGB dibandingkan dg janji2 manis/iming2 yg disampaikan para distributor dan marketing pabrik Farmasi.
tentang wash out, kalo ibu njelasin 5x t 1/2

biopharmaceutics classification system (BCS), maka kelarutan dan permeabilitas suatu obat/new chemical entity (NCE) dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas

Kelas I : Kelarutan tinggi – permeabilitas tinggi..

Kelas II : Kelarutan rendah – permeabilitas tinggi

Kelas III:Kelarutan tinggi – permeabilitas rendah

Kelas IV: Kelarutan rendah – permeabilitas rendah

Sekarang ini 40% obat/ new chemical entity (NCE) masuk dalam katagori kelas II dan kelas IV. Obat-obat yang mempunyai kelarutan tinggi (mudah larut) maka rate-limiting step bukan pada kecepatan disolusi (seperti pada kelas I dan III). Pada kasus kelas II yaitu obat yang mempunyai kelarutan rendah-permabilitas tinggi maka kecepatan absorbsi obat tersebut ditentukan/dibatasi oleh tahapan kecepatan disolusi obat tersebut dalam cairan ditempat obat diabsorpsi. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi formulator untuk dapat mencari cara/teknik yang tepat dalam rangka meningkatkan kelarutan senyawa obat tersebut. Dengan adanya peningkatan kecepatan disolusi/kelarutan, diharapkan bioavailabilitas obat tersebut juga meningkat.

Ada sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan Kecepatan disolusi/kelarutan dari suatu obat, diantaranya:

1. Pendekatan Pro-drug (Pro-drug approach)

2. Sintesis bentuk garam (Salt synthesis)

3. Pengecilan ukuran partikel (Particle size reduction)

4. Pembentukan komplek (Complexation)

5. Perubahan bentuk fisik (Change in physical form)

6. Dispersi padat (Solid dispersions)

7. Pengeringan semprot (Spray dryng)

8. Hot-melt extrusion

Peningkatan bioavailabilitas suatu zat aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat bermacam-macam teknik untuk peningkatan kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat harus mempertimbangkan banyak faktor seperti sifat fisika-kimia bahan obat/zat aktif, stabilitas/shelf-life, kemudahan dalam pemprosesan/penanganan, serta besarnya kelarutan yang diinginkankan


No comments:

Post a Comment